Paguyuban Moka Jabar Adakan Mukernas

Cirebon - Paguyuban Mojang- Jajaka, Jawa Barat menyelenggarakan musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Hotel Trisula Indramayu. Mukernas dibuka oleh Istri Wagub Jabar, hari ini (5/10).

Panitia Mukernas, Metha mengatakan Mukernas diselenggarakan untuk melegaliasi paguyuban Moka Jabar yakni dengan membentuk anggaran dasar dan rumah tangga yang lengkap.

"Paguyuban Moka harus bisa berdiri sendiri dan lebih profesional sehingga dibentuklah Ad dan Art," katanya kepada Beritacerbon.com.

Mukernas juga dilakukan untuk mempersiapkan sistem pemilihan Moka Jabar yang baru. Biasanya ajang pemilihan Moka Jabar diselenggarakan oleh Depbudpar Jabar namun selanjutnya harus diselenggarakan oleh paguyuban.

"Menginat pentingnya Moka sebagai sosok idela generasi muda maka paguyuban lah yang nantinya akan menyelenggarakan pemilihan," kata Metha.

Dia menyatakan selanjutnya paguyuban akan lebih berkiprah dimasyarakat agar semakin jelas potensi generasi muda di Jabar. (BC-11)

Sumber: http://www.beritacerbon.com

800 Kembang Api Meriahkan Imlek di Klenteng Talang

Cirebon - Semburan 800 kembang api beraneka warna menghiasi langit Klenteng Talang Kota Cirebon tepat pukul 00.00 WIB sebagai tanda pergantian tahun baru Cina ke-2561 atau disebut sebagai tahun Macan.

Tampak ribuan warga Thionghoa dan masyarakat pribumi sekitar kelenteng tampak antusias menyaksikan keindahan warna-warni kembang api yang memecah kegelapan malam Kota Cirebon yang sejak sore sempat tertutup awan mendung disertai hujan.

Diakui Sucipto Chandra Wakil Ketua Majelis Konghucu Indonesia (Makin) Cirebon perayaan Imlek tahun ini lebih meriah dibandingkan tahun sebelumnya karena selain memeriahkan perayaan Imlek juga sebagai pernyataan syukur tahun ini di Klenteng Talang telah berdiri kantor sekretariat Makin Cirebon yang baru.

"Kemeriahan ini sebagai rasa syukur kami menyambut tahun baru Macan sekaligus mengharapkan peruntungan kami lebih baik dibandingkan tahun lalu. Selain itu juga sebagai wujud kebahagiaan kami karena di kelenteng ini sudah berdiri kantor sekretariat Makin Cirebon yang baru," kata Sucipto setelah pesta kembang api usai, Minggu (14/2).

Berdasar pantauan, kemeriahan menyambut tahun baru Cina ini sudah terlihat sejak pukul 20.00WIB. Ratusan warga Thionghoa Kota Cirebon memadati kelenteng yang dikenal dengan nama klenteng Kongcu Bio tersebut untuk berdoa sambi membakar hio dan menyalakan lilin berukuran besar sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta atas nikmat yang telah diberikan selama satu tahun. Sedangkan di luar kelenteng, warga Thionghoa ini dihibur dengan atraksi barongsan dan liong yang diiringi musik tambur, gong, dan cymbal yang menghentak.

Sementara itu di Kelenteng Dewi Welas Asih kemeriahan penyambutan Hari Raya Imlek ini ditandai dengan ditabuhnya beduk dan genta secara bersahut-sahutan.

"Sudah menjadi tradisi setiap perayaan Hari Raya Imlek di sini ditandai dengan ditabuhnya beduk dan genta bersahut-sahutan. Ini sebagai cara kami menyambut tahun baru dengan penuh semangat dan harapan baru mendapatkan peruntungan lebih baik dari tahun lalu," kata Songkono, pengurus Klenteng Desi Welas Asih. (BC-211)

Sumber: http://www.beritacerbon.com

Menunggu Keseriusan Pemerintah Mengelola Wisata Budaya

Oleh Teguh
(Jurnalis/ pemerhati Cirebon)

Setiap tahun, pada bulan Mulud, selalu ribuan orang selama satu bulan penuh berbondong-bondong mendatangi tiga keraton di Kota Cirebon dan Makam Sunan Gunung Jati di Kabupaten Cirebon. Kedatangan masyarakat untuk menyaksikan jalannya rangkaian upacara muludan berdampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat Cirebon khususnya.

Pendapatan pedagang dan hotel naik selama peringatan Muludan di Kota Cirebon. Tradisi Muludan atau memperingati Maulid Nabi SAW ternyata bukan sekedar sebuah ritual budaya namun sudah menjadi potensi penambah pendapatan masyarakat Cirebon dan luar kota.

Prosesi peringatan Muludan ini berlangsung satu bulan penuh, dan berakhir pada malam hari saat peringatan Maulid Nabi. Puncak peringatan Muludan ini berupa upacara Panjang Jimat, sebuah prosesi pembersihan benda pusaka keraton.

Panjang jimat dilakukan di tiga keraton, yaitu Kasepuhan, Kacirebonan dan Kanoman. Serta satu peringatan lainnya dilakukan di Makam Sunan Gunung Jati. Puncak peringatan ini dihadiri oleh seribu lebih warga Cirebon dan sekitarnya dan tentunya menjadi magnet bagi para pedagang. Mereka ingin menyaksikan upacara dan tentunya berharap berkah dari air hasil penyucian benda-benda pusaka tersebut.

Di Alun-alun Keraton Kasepuhan contohnya, ratusan pedagang kecil mengais rejeki dan ditengah lapangan sebuah hiburan rakyat juga menambang uang.

Pengelola hiburan rakyat mengaku selama satu bulan penuh membuka usaha komedi putar dan berbagai permainan lain rutin dilakukan setiap tahun. Jika dihitung untuk satu permainan paling murah tiket yang harus dibayar Rp2.000 pengelola komedi putar tersebut bisa meraih omzet Rp500.000-Rp1 juta dalam sehari.

Peredaran uang selama satu bulan selama peringatan Muludan ini diperkirakan mencapai puluhan hingga seratus juta lebih perharinya. Atau bahkan sudah mencapai angka miliaran rupiah, belum pernah ada yang mendatanya.

Pedagang makanan khas seperti docang, tahu gejrot, nasi jamblang atau empal gentong merasakan berkah tersendiri dari peringatan muludan ini.

Alun-alun Kasepuhan merupakan lokasi perdagangan Muludan yang paling ramai karena lokasinya yang luas. Namun lokasi peringatan Muludan lainnya juga tak kalah penting dalam meningkatkan perekonomian warga Cirebon seperti di Keraton Kanoman, Kacirebonan dan makam Sunan gunung Jati.

Pengunjung yang datang tidak hanya dari warga sekitar namun juga banyak yang datang dari luar kota. Tamu luar daerah ini tentunya harus menginap semalam untuk bisa menyaksikan peringatan Muludan tersebut.

Seorang manager operasional hotel berbintang di Cirebon mengatakan tamu luar kota dengan tujuan khusus untuk menyaksikan puncak peringatan muludan di Cirebon banyak yang menginap dihotelnya.

Tamu-tamu tersebut tentunya ikut menambah omzet hotel di Cirebon.Karena selain hotel berbintang, tamu-tamu tersebut juga ingin menginap di hotel kelas melati dengan lokasi tidak jauh dari keraton.

Tingginya tamu yang datang ke Cirebon juga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penumpang KA selama peringatan puncak Muludan. Okupansi KA Argojati dan Cirebon Ekspres diatas 100%. "Sebagian dari mereka sengaja datang Minggu untuk melihat Muludan di Cirebon," kata Rudy, Humas PT KA Cirebon.

Ketua DPRD Kota Cirebon Dahrin Syahrir mengatakan peringatan Muludan merupakan sebuah potensi perekonomian yang sebenarnya bisa mengangkat pendapatan warga Kota Cirebon.

"Semua ikut terlibat, pedagang, hotel bahkan biro perjalanan mendapatkan pemasukan dari peringatan ini," katanya.

Dia berharap pemerintah kota dapat bekerjasama dengan para keraton untuk mengelola peringatan Muludan tersebut sebagai sebuah event pariwisata penting tahunan yang menarik wisatawan.

Bukti bahwa tidak adanya keseriusan pemerintah setempat dapat dilihat usai peringatan Muludan tersebut. Sampah bertebaran dimana-mana, serta sejumlah kerusakan kecil bangunan masjid dan keraton. Tidak terlihat tim khusus yang sinergis antara pihak penyelenggara dengan pemkot.

Muludan di Cirebon sama saja dengan di Jogja yang dinamakan Sekaten. Tapi Jogja mengemasnya lebih bagus sehingga menjadi salah satu event pariwisata. Cirebon juga harus bisa.

Sumber: http://www.beritacerbon.com

Musim Hujan Wisatawan tetap Kunjungi Grojogan Sewu

Semarang - Musim hujan tidak mengurangi minat wisatawan mengunjungi objek wisata Grojogan Sewu di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

"Walaupun musim hujan terus mengguyur daerah ini, minat wisatawan ternyata masih cukup tinggi," kata Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi (KIK) Kabupaten Karanganyar Iskandar, di Semarang. Pada libur panjang Lebaran 2008 pengunjung Grojogan Sewu sebanyak 150.000 wisatawan.

Kunjungan wisatawan terus meningkat jika dibandingkan pada musim libur panjang Lebaran tahun 2006, yang jumlahnya tercatat 90.000 orang dan Lebaran 2007 meningkat di atas 100.000 orang. "Yang menggembirakan, jumlah kunjungan wisatawan baik asing maupun nusantara selama 2008 di atas 1,2 juta orang. Jumlah ini melebihi target 900 ribu orang," katanya.

Lokasi objek wisata itu mudah dijangkau wisatawan, katanya, sehingga tidak mengherankan jika banyak wisatawan mancanegara maupun nusantara mengunjunginya. Selain Grojogan Sewu, Candi Sukuh di Kabupaten Karanganya, sampai saat ini tetap dijadikan andalan.

Kabupaten Karanganyar yakin bahwa Grojogan Sewu, Tawangmangu, yang merupakan perpaduan serasi antara hutan dan air terjun 81 meter, mampu menarik wisatawan mancanegara maupun nusantara.

Setiap libur biasa dan libur panjang, seperti libur Lebaran, wisatawan yang mengunjungi objek wisata yang terletak sekitar 37 km arah timur Kota Solo ini cukup banyak.

Bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara yang ingin berkunjung ke Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah tidak perlu khawatir, karena jalan menuju candi tersebut aman dari longsor.

Candi yang diperkirakan dibangun menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit dan bentuk bangunannya mirip dengan peninggalan kebudayaan Maya di Mexico atau situs-situs purbakala sejenis di Peru, Amerika Latin, merupakan candi erotis di Pulau Jawa.

Wisatawan yang berkunjung ke candi ini, selain dapat melihat kemegahan candi, juga dapat melihat keindahan pemandangan alam pegunungan dan turunnya matahari secara perlahan. Posisi candi ini menghadap ke barat, melambangkan matahari terbenam, identik dengan candi yang ada di Jawa Timur. Posisi itu memperlihatkan kesakralan bangunan tersebut.

Candi itu terletak di lereng barat kaki Gunung Lawu pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut, di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, sekitar 20 km dari Kota Kabupaten Karanganyar. (Ant/OL-01)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com

Surga untuk Turis Bukan untuk Warga

Oleh Anton Muhajir

Dua penghargaan penting diperoleh Bali pada dua bulan terakhir. Pertama adalah sebagai Pulau Wisata Terbaik se-Asia Pasifik versi majalah pariwisata Destinasia. Majalah yang berpusat di Hongkong itu memilih Bali sebagai pulau terbaik berdasarkan polling pembaca di Hongkong, Singapura, Thailand, India, Malaysia, Australia, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah.

Kedua, pada Maret lalu, Bali juga dinyatakan sebagai Pulau Spa terbaik di dunia. Pemberi penghargaan kali ini adalah majalah kebugaran Senses. Penghargaan ini meneguhkan bahwa Bali adalah pulau wisata dengan pelayanan spa terbaik di dunia.

Penghargaan-penghargaan itu makin meneguhkan citra Bali adalah surga. Tapi surga untuk siapa?

Dua penghargaan di atas diperoleh karena Bali dianggap memberikan pelayanan terbaik pada turis. Yap, pada turis. Tapi sudahkah Bali memberikan pelayanan terbaik untuk warganya. Sepertinya belum.

Kita bisa memeriksanya pada fasilitas publik. Fasilitas yang paling banyak digunakan warga adalah jalan raya. Masih banyak jalan raya rusak parah di Bali.

Dua contohnya adalah jalan Gatsu I di daerah Denpasar Utara dan jalan Tukad Sempol di Denpasar Selatan. Dua jalan ini sering aku lewati. Kalau jalan Gatsu I malah hampir tiap hari. Jalan sepanjang sekitar 1 km ini hancur bukan kepalang. Di banyak tempat, jalan ini penuh lubang.

Seingetku baru awal tahun lalu jalan ini diperbaiki dengan aspal baru. Tapi dalam hitungan bulan, jalan ini sudah rusak lagi. Ketika sisa pembakaran aspal saja masih ada di salah satu sisi, jalan ini sudah hancur lagi.

Aku tidak tahu pasti penyebabnya. Tapi sepertinya karena terlalu banyaknya truk pengangkut masuk di jalan ini. Di sepanjang jalan ini ada belasan gudang barang dagangan seperti sabun, snack, makanan, dan lain-lain. Truk-truk besar dengan jalur Jawa – Bali ini beratnya sampai 20 ton. Ini aku lihat dari keterangan di samping baknya.

Dengan berat sampai 20 ton, truk-truk itu melewati jalan dengan kualitas pas-pasan hampir tiap hari Setahuku tiap jalan kan ada jatah penggunaannya sendiri. Tapi di sini tidak. Maka truk-truk itu dengan seenaknya keluar masuk jalan yang sebenarnya hanya untuk perumahan tersebut. Fasilitas publik pun jadi hancur.

Jalan lain yang rusak adalah jalan Tukad Sempol di Denpasar Selatan. Aku sering lewat jalan ini kalau dari jalan Kerta Dalem ke jalan Tukad Badung. Sudah sejak sekitar tiga tahun lalu aku lewat jalan ini tapi ternyata tetap saja hancur.

Sepertinya jalan inilah yang paling hancur dari sekian jalan di Denpasar. Lubangnya tak lagi hanya sekadar hancur tapi sudah seperti lembah.  Makanya kalau naik motor lewat jalan ini sudah kayak lewat jalur off road. Atau kalau naik mobil akan terasa seperti naik kapal kena gelombang. Bergoyang terus sepanjang jalan.

Fasilitas publik lain yang bisa dilihat adalah trotoar. Aku lihat di beberapa jalan besar di Denpasar, trotoar di Bali rusak parah. Ini sih terlalu banyak contoh. Sebut saja nama jalan besar lalu cek trotoarnya. Bisa dipastikan kalau tidak berlubang, maka trotoar itu akan bergelombang. Trotoar yang seharusnya membuat nyaman pejalan kaki belum berfungsi sebagai mana layaknya.

Parahnya lagi, trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki itu malah dipakai untuk parkir mobil, parkir motor, atau tempat jualan dagangan. Di Kuta misalnya kita sebagai pejalan kaki harus mengalah sama pedagang yang sudah mengkapling trotoar itu.

Soal trotoar ini aku baca di Bali Post dan Denpost beberapa hari lalu sampai dipersoalkan sama anggota Dewan. Syukurlah kalau mereka mempersoalkannya.

Kalau dicek lagi, masih banyak lagi fasilitas publik di Bali yang belum ramah sama warganya. Transportasi publik, ruang terbuka, lampu jalan, pembuangan sampah, dan buaaanyak lagi yang lain. Fasilitas publik di Bali masih banyak yang amburadul.

Sumber: http://www.rumahtulisan.com

Membangkitkan Pariwisata Sumut

Oleh: Evin H Bakara

Katakan saja Bali! Dunia sangat mengenal pulau di timur Pulau Jawa itu sebagai satu tempat wisata eksotis. Sebuah provinsi seluas 5.561 km persegi berjuluk "Pulau Dewata" yang paling berhasil membangun sektor pariwisatanya di Indonesia.

Lalu coba lihat Sumatera Utara (Sumut). Provinsi seluas 72.981 km persegi ini dikenal dengan Danau Toba-nya yang menjadi salah satu danau air tawar terbesar di dunia. Namun Sumut sangat kalah jauh ketimbang Bali sebagai satu daerah tujuan wisata. Mengapa?

Bali, berhasil menata, menjaga dan melestarikan semua aset alam dan budaya. Ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat Bali bahwa budaya dan alam adalah sesuatu yang harus lestari. Pemerintah Provinsi Bali paham betul bahwa kondisi geografis pulau itu sangat potensial untuk mendukung sektor pariwisata dengan pemandangan pantai yang yahud, pegunungan yang memukau, desa-desa yang bersahaja dan citra sosial budaya lokal yang menarik perhatian para turis. Inilah yang terus dijaga dan dilestarikan hingga akhirnya berkembang sebagai satu destinasi wisata utama di Indonesia dan alternatif eksotis bagi turis mancanegara. Intinya, harmonisasi alam, lingkungan geografis dan aspek adat budaya.

Sementara Sumatera Utara, walau punya semua aspek itu dalam dimensi wisata yang berbeda, belum tertata, terjaga, apa lagi lestari. Inilah pembeda utama sekaligus faktor yang membuat pariwisata Sumut belum bisa "menandingi" Bali. Faktor yang juga paling menentukan adalah belum munculnya kesadaran yang kuat akan semua aspek potensi daerah ini yang bisa "dijual" sebagai satu daerah yang kaya akan panorama alam, budaya lokal, dan kelestarian lingkungannya.

Padahal coba bayangkan betapa potensi alam dan budaya Sumut begitu kaya jika dibandingkan sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk Bali sendiri. Sumut punya deretan pegunungan dan perbukitan memukau di jalur Bukit Barisan, punya hutan hujan tropis yang khas, punya Orangutan sebagai satwa endemik yang hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia, markisa yang terkenal sebagai buah tropis khas Berastagi, juga punya Pulau Nias yang eksotis, Danau Toba sebagai sisa aktivitas super vulkano di masa purba, tanah yang subur, ragam adat budaya (terutama Batak, Nias dan Melayu), potensi pantai Timur (ke Selat Malaka) dan barat (ke Samudra Hindia), sungai-sungai dan jeram-jeram menantang, air terjun, bahkan punya setidaknya 419 pulau-pulau besar dan kecil.

Semua potensi ini semestinya menjadi aset yang sangat penting untuk pengembangan ragam sektor wisata. Dari wisata sejarah dan budaya, agrowisata, wisata alam, wisata bahari, sampai ekoturisme… Namun sayangnya kesadaran akan semua potensi, aspek, dan manfaat ini belum tergali seutuhnya. Masih banyak hal yang terabaikan seperti penataan yang sembrono, ketidakadaan perawatan berkelanjutan, ketidakpedulian pada potensi yang sudah tergali, pembiaran, dan tindakan setengah hati untuk pengembangan, pemeliharaan, dan membangkitkan semua aset potensial tersebut.

Lihat saja wisata di sekitar Danau Toba, penataannya sangat sembrono dan tidak mencerminkan kesadaran masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian alam dan budayanya. Masalah sampah dan kebersihan masih sangat mengganggu, perusakan alam asri dengan beton-beton buatan berlebihan, aspek transportasi yang mengecewakan, perilaku masyarakat lokal yang masih terkesan agresif oportunis dengan menaikkan harga jual yang tinggi dan desakan pemaksaan bagi pendatang untuk membeli kerajinan lokal, ini akan membuat turis jera dan berpikir ulang untuk kembali berkunjung ke sana.

Padahal jika pemeritah provinsi dan jajaran pemerintah daerah kabupaten mau lebih mencurahkan perhatian pada sektor wisata daerah di Sumut, bukan tidak mungkin Sumut akan menjadi destinasi khusus wisatawan mancanegara.

Jika saja kita mau, tak sulit untuk mengubah perilaku masyarakat lokal terhadap para wisatawan. Hanya perlu penjelasan dan sosialisasi serta ajakan peran serta aktif yang terbina rapi, sistem standardisasi harga terkendali yang wajar, pembinaan kerajinan daerah lokal, pengembangan budaya lokal, bantuan bagi pemeliharaan fasilitas publik (wisata) dari pemerintah yang dikelola bersama penduduk setempat, perawatan lestari berkesimbambungan, dan membangun kesadaran bersama akan fungsi peruntukan lokasi wisata di daerahnya masing-masing.

Untuk mendongkrak devisa dari sektor pariwisata di Sumut memang perlu kerja keras. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan dibenahi secepat dan seefektif mungkin. Amat disayangkan jika aset yang ada dan belum tergali sempurna itu tidak diiringi tindakan nyata untuk menggali, memperbaiki, menata ulang, dan rawatan lestari atas semua potensi yang ada. Padahal ia bisa menjadi sumber devisa dan meningkatkan pendapatan asli daerah selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Walaupun wisatawan yang mampir ke Sumut mungkin lebih banyak kaum backpaker (saat ini) dengan tingkat kemampuan belanja yang rendah, itu bukan berarti kita pesimis. Bukan tidak mungkin potensi dari wisatawan golongan ini justru menjadi suatu promosi yang baik di satu sisi. Tinggal bagaimana manajemen wisata Sumut bisa menjaring semua level wisatawan dan meningkatkan kepuasan level tertentu yang sudah "suka" ke Sumut.

Keaslian, eksotisme, kenyamanan dan kemanan di daerah wisata justru menjadi hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Mengingat potensi Sumut, masih ada peluang provinsi ini menjadi menjadi satu destinasi wisata dunia setara Safari Afrika atau Cruising Karibia misalnya. Dibutuhkan sebuah komitmen, tekad, dan tindakan nyata! Kita bisa jika kita mau!*
Penulis adalah pemerhati sosial, geografi dan lingkungan

Sumber: http://www.harian-global.com

Rumah Warga Siap Tampung Peserta Sail Banda

Ambon - Sedikitnya 62 unit rumah warga Kota Ambon disiapkan untuk sebagai rumah sewa (home stay) guna menampung peserta pelayaran Internasional Sail Banda Juni-Agustus 2010.

Kabid Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Ambon, Jemmy Tohata, di Ambon, Senin, membenarkan 62 rumah warga itu telah didaftarkan untuk dijadikan rumah sewa bagi peserta even pelayaran internasional itu.

"Kami telah melakukan cek ulang di setiap kecamatan. Saat ini sudah 62 warga yang bersedia menyewakan rumahnya sebagai home stay untuk menampung peserta Sail Banda," ujarnya.

62 rumah tersebut diantaranya 17 unit di Kecamatan Nusaniwe dan 45 unit lainnya di Kecamatan Sirimau.

Selain itu, 11 warga di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) juga telah mendaftarkan rumahnya untuk dijadikan home stay bagi peserta pesta bahari internasional itu.

Ia mengakui Desa Suli yang terletak di luar pusat Kota Ambon memang memiliki keunikan tersendiri, terutama keindahan panorama alam dan wisata pantainya yang menjanjikan bagi wisatawan.

Dalam waktu dekat ini Dinas pariwisata Kota Ambon akan kembali melakukan pengecekan ulang, terutama melihat kelayakan rumah tersebut untuk menjadi home stay, berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan serta pembinaan.

Syarat-syarat rumah warga yang akan dijadikan home stay yakni setiap kamar yang akan disewakan harus dilengkapi kamar mandi dan WC di dalamnya, kondisi rumah yang asri dan tidak ribut, sebagian pemiliknya harus fasih menggunakan bahasa asing serta memiliki keramah tamahan.

Tohata menambahkan, Dinas pariwisata setempat akan terus melakukan kordinasi dengan camat di lima kecamatan di Ambon untuk terus melakukan pendataan rumah warga yang dianggap layak layak dan nyaman untuk ditempati oleh para tamu.

Dikatakannya, daya tampung hotel dan penginapan di Ambon hanya sebanyak 1.600 kamar saja.

Ia mengharapkan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat menyukseskan kegiatan Sail Banda 2010 yang merupakan "entri point" untuk mengembalikan citra Kota Ambon dan Maluku sebagai daerah yang aman untuk dikunjungi wisatawan maupun investasi skala besar. (JA/K004)

Sumber: http://www.antaranews.com

Forum Film Bandung Putar Film Lawas

Bandung - Seiring Hari Film Nasional, yang diperingati setiap 30 Maret, Forum Film Bandung, Selasa, memutar dua film lawas, yaitu Macan Kemayoran dan Pareh.

Menurut undangan yang dikirimkan ke redaksi ANTARA biro Bandung, dua film lawas tersebut diputar di Studio 3 dan Studio 1 Bioskop Regent, Bandung, 09.00-12.00 WIB.

Nonton bareng film tempo dulu itu akan dilanjutkan dengan diskusi film yang menampilkan pembicara Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dan Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Gatot Prakoso.

Keesokan harinya, Forum Film Bandung kembali menggelar diskusi dan pemutaran film sebelum mereka mengumumkan nominasi film dan narasi film terpuji Festival Film Bandung 2010.

Pemutaran film di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran itu akan mengetengahkan film "Get Married" dan dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan Rektor Unpad Ganjar Kurnia, sutradara Hanung Bramantyo, Ketua Forum Film Bandung Eddy D Iskandar, dan produser Chand Parwez. (T.KR-ASJ/R009)

Sumber: http://www.antaranews.com

Sail Banda 2010 Diramaikan Konser Gratis NAIF

Ambon - Grup band beraliran pop 1970-an, NAIF akan menggelar konser kedua di kota Ambon saat berlangsungnya acara pelayaran internasional Sail Banda pada Juli-Agustus 2010.

Manajer NAIF, Syafril, saat ditemui ANTARA News di Ambon mengatakan, grup band yang digawangi oleh David (vocalis), Jarwo (gitaris), Emil (bassis) dan Pepeng (drumer) akan kembali lagi ke kota Ambon menggelar konsernya yang kedua pada saat berlangsungnya Sail Banda 2010.

"NAIF pasti manggung saat Sail Banda," katanya.

Syafril menyatakan, pihak mananajemen sudah ditawari oleh salah satu penyelenggara actra musik di ibu kota provinsi Maluku agar band yang berdiri pada tanggal 22 Oktober 1995 di Jakarta turut memeriahkan acara bahari bertaraf internasional tersebut.

"Kami baru saja dikabari agar NAIF bisa ikut tampil saat Sail Banda berlangsung nanti, tapi jadwalnya belum pasti," katanya.

Khusus untuk acara pelayaran internasional Sail Banda 2010, grup band retro itu akan tampil gratis untuk menghibur warga kota Ambon, apabila pihak penyelenggara menjadwalkan penampilan mereka di kota itu.

"Khusus untuk Sail Banda, NAIF akan tampil tanpa dibayar," kata Syafril.

Vokali NAIF, David, mengatakan, grup band mereka ingin sekali kembali lagi ke kota Ambon untuk menggelar pertunjukan musik yang kedua setelah konser eksklusif As You Like It yang berlangsung di Hotel Aston Natsepa, Ambon pada Sabtu malam (27/3) .

"Kami ingin sekali kalau ditawari lagi konser saat Sail Banda, karena penonton disini luar biasa sekali," katanya.

Gitaris NAIF, Jarwo, menambahkan, band yang sudah memproduksi sembilan album akan berkunjung ke kota itu apabila mereka diundang untuk menunjukan kepiawaian mereka dalam bermusik.

"Semoga kita bisa kembali lagi saat Sail Banda. NAIF pasti tampil lagi kalau diundang datang lagi kesini, apalagi penonton di Ambon seru sekali," katanya menambahkan.(T.KR-IVA/A011/P003)

Sumber: http://www.antaranews.com

Restorasi Benteng di Maluku Utara Terkendala

Ternate - Minimnya data sejarah menyebabkan restorasi 37 benteng peninggalan Belanda, Spanyol, dan Portugis di Provinsi Maluku Utara sulit dilakukan. Data sejarah diperlukan agar pembangunan kembali benteng tidak berubah dari bentuk aslinya.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Ternate Laode Muhammad Aksa di Ternate, Senin (29/3), mengatakan, pengumpulan data sejarah sekarang sedang dilakukan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. ”Pencarian data tidak hanya di arsip nasional, tetapi juga mencari ke Belanda dan Portugis,” ujarnya.

BP3 Ternate saat ini sedang menginventarisasi semua benteng di Maluku Utara untuk melihat kondisi benteng-benteng itu. ”Jika nanti data sejarah terkumpul dan proses inventarisasi tuntas, barulah ditentukan benteng akan dibangun kembali, dipugar, atau dibiarkan seperti kondisi yang ada sekarang, tetapi dirawat dan dijaga,” katanya.

Penentuan itu tergantung dari seberapa lengkap data historis yang diperoleh. ”Kalau datanya minim, kami tidak bisa merestorasi karena bisa-bisa melenceng dari wujud benteng yang aslinya,” ujar Laode.

Berdasarkan pendataan BP3 Ternate, tidak sedikit benteng di Maluku Utara yang konstruksinya sekarang rusak. Bahkan, menurut Laode, ada benteng yang menyisakan fondasinya saja atau tembok batu yang panjangnya tinggal beberapa meter.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya upaya perawatan benteng-benteng tersebut, seperti yang terlihat di Benteng Torre, benteng di Tidore.

Berdasarkan pengamatan Kompas, Minggu (28/3), rumput liar dibiarkan memanjang di benteng tersebut. Bahkan, lahan di dalam benteng dipakai sebagai lokasi berkebun oleh warga setempat.

Laode mengatakan, selain menginventarisasi benteng-benteng di Maluku Utara, pihaknya juga berupaya mengajak warga untuk terlibat merawat bangunan-bangunan bersejarah tersebut. ”Juru pelihara di setiap benteng juga kami tekankan agar lebih menjaga kebersihan benteng,” ujarnya.

Benteng di Maluku Utara yang tersebar di 37 lokasi yang dibangun mulai abad ke-15 Masehi oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda menunjukkan pentingnya kawasan itu, terutama Ternate dan Tidore, di mata dunia internasional pada masa itu karena hasil rempah-rempahnya. (APA)

Sumber: http://cetak.kompas.com

Gayus, Selamat Datang di Tanah Air!

Jakarta - Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, yang melarikan diri ke Singapura berhasil ditangkap di Hotel Mandarin Meritus di Orchad Road, Singapura, dan akan diterbangkan ke Jakarta melalui Bandara Changi, Singapura, Rabu (31/3/2010) siang.

Menurut Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana di Singapura, Rabu dini hari, Gayus ditangkap oleh tim gabungan dari Mabes Polri dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Hotel Mandarin Meritus di Orchard Road, Singapura, Selasa (30/3/2010) malam.

Ia menjelaskan, tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yakni Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa, ketika sedang makan malam di Asian Food Mall, Lucky Plaza, Orchard Road, Singapura, sekitar pukul 20.30 (waktu Singapura), secara kebetulan melihat Gayus Tambunan yang juga akan makan malam di tempat yang sama.

"Tim Satgas segera menghubungi Kabareskrim Polri Komjen Ito Sumardi yang sudah lebih dulu tiba di Singapura, memberitahukan keberadaan Gayus," kata Denny Indrayana.

Dikatakannya, anggota Satgas dan Kombes M Iriawan dari Mabes Polri membujuk serta meyakinkan Gayus untuk bersikap kooperatif agar mau kembali ke Tanah Air menghadapi proses hukum.

Melalui dialog sekitar dua jam, katanya, akhirnya Gayus berhasil diyakinkan bahwa pilihan kembali ke Tanah Air adalah pilihan terbaik daripada terus-menerus bersembunyi di Singapura.

Sekitar pukul 22.30, anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta Kombes M Iriawan mengantarkan Gayus Tambunan kembali ke Hotel Mandarin Meritus kamar 2105 untuk berunding dengan istrinya, Milana Anggraeni, yang mendampingi Gayus di Singapura.

Setelah istri Gayus juga berhasil diyakinkan, katanya, anggota Satgas, Kombes M Iriawan, dan Gayus bertemu Kabareskrim.

Staf Konjen RI di Singapura dan pejabat kepolisian Singapura hadir juga dalam pertemuan itu untuk mempersiapkan dokumen keimigrasian agar yang bersangkutan dapat kembali ke Indonesia. "Persiapan dokumen imigrasi tersebut perlu dilakukan karena paspor yang digunakan Gayus telah dicabut," katanya.

Dalam pertemuan tersebut, Kabareskrim dan anggota Satgas kembali meyakinkan Gayus untuk kembali ke Indonesia menghadapi proses hukum.

Gayus direncanakan diterbangkan menggunakan pesawat komersial dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Rabu siang, melalui terminal kedatangan luar negeri. (XVD)

Sumber: http://nasional.kompas.com

Randai Kuantan Bertahan di Tengah Gempuran

Malam semakin larut ketika sayatan dawai biola memecah keheningan malam, disusul tabuhan gendang bertalu-talu, dan tiupan serunai. Gabungan tiga alat musik tersebut menghasilkan irama khas Melayu daratan.

Dua puluh lelaki yang pada mulanya duduk melingkar, beranjak berdiri dan mulai menghentakkan kaki ke bumi. Mereka berjoget bersama. Raut muka ceria dan gelak tawa menghiasi wajah mereka. Tak lama kemudian, satu per satu penonton memasuki panggung dan turut berjoget bersama.

Yah, itu merupakan salah satu bagian pembuka dari Randai Kuantan yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, yang dipertontonkan di Taman Budaya Riau, Sabtu malam (27/3).

Selama ini Randai identik dengan seni tradisional Sumatra Barat, namun hal tersebut dipatahkan dengan adanya Randai Kuantan yang berasal dari Riau.

Randai tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yang dipertontonkan pada acara pesta perkawinan, sunatan, kenduri kampung dan acara lainnya.

Berbeda dengan Randai Sumatra Barat yang lebih kompleks dalam penyampaian pesan dengan airmata, kebencian, kekerasan, maupun suka cita, randai Kuantan lebih komunikatif dan penuh dengan gelak tawa.

Pelakonnya pun mayoritas generasi muda sehingga kadang dikenal dengan randai "Bujang Gadi" atau lelaki dan perempuan muda. Sedangkan Randai Sumatera Barat umumnya dilakonkan oleh sesepuh atau tokoh masyarakat.

Menurut Hamsirman MS, pembina dari kelompok Randai Kuantan Pitunang Grup, Randai Kuantan membawakan cerita rakyat yang sudah disusun dengan dialog dan pantun logat Melayu Kuantan, disertai lagu-lagu Melayu Kuantan sebagai paningkah babak-babak cerita.

Biasanya pertunjukan ini dimulai pukul 20.00 WIB hingga menjelang subuh, dan dimainkan 40 orang. "Uniknya, dalam pertunjukan Randai Kuantan ini, tokoh wanita atau "gadi" dilakonkan oleh laki-laki yang berpakaian perempuan. Hal ini disebabkan keluar malam bagi perempuan Melayu adalah sesuatu yang tabu atau dilarang," ujar Hamsir.

Dikatakannya, selama pementasan, pelakon atau yang dikenal dengan sebutan ’Anak Randai’ membentuk lingkaran dan menari sambil mengelilingi lingkaran.

Hamsir mengatakan bahwa hal tersebut mempunyai makna yakni simbol persatuan dan kesatuan pemuda setempat. "Menonton pertunjukan randai ini sama seperti menyaksikan kehidupan kampung di Kuantan Singingi, seperti bermain di antara rimbunan kebun karet, gurauan dan sorak sorai," ujarnya.

Hamsir menambahkan, walaupun saat ini gempuran budaya asing tak henti-hentinya masuk ke Kuantan Singingi, namun Randai Kuantan tetap berada di hati masyarakat.

Hal itu antara lain terbukti dengan keberadaan 25 grup randai di kabupaten hasil pemekaran tersebut. Begitu juga dengan generasi muda yang merupakan generasi "Facebook", tetap mencintai randai. "Randai sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, sampai kapan pun randai tidak akan pernah lepas dari tiap sendi kehidupan masyarakat Kuantan Singingi," kata Hamsir yang juga Kepala Seksi Pengembangan dan Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuantan Singingi.

Kepala Taman Budaya Riau, OK Pulsiahmitra, mengakui Randai Kuantan memang tak sepopuler Randai Sumatra Barat, maupun Lenong dalam kesenian khas Betawi. Padahal, inti dari randai ini memberikan petuah pada masyarakat dengan cara yang lebih komunikatif.

Menurut dia, hal ini wajar mengingat gaungnya hanya ada di wilayah Riau. "Itu akan menjadi tugas kita ke depan untuk memperkenalkan budaya-budaya Melayu Riau ke pentas nasional. Tak hanya randai, tetapi juga masih ada budaya lainnya seperti Joget Pesisir maupun Zapin. Ke depan kita harapkan untuk dapat berkembang," kata OK Pulsiahmitra yang akrab disapa Ipul ini.

Fahrul Hidayat (30), salah seorang penonton yang ditemui Antara, mengatakan dirinya tetap mencintai randai.

Menonton randai, katanya, mengingatkan dirinya pada masa kecilnya di sebuah kampung di Kabupaten Singingi. "Saya jadi terkenang dengan masa kecil saya," katanya.
Menurut dia, walaupun dirinya merantau ke Pekanbaru, yang notabene masih berbudaya Melayu, namun ia tetap merindukan randai Kuantan, seni tradisional setempat yang tak lekang digempur budaya asing. (Indriani)

Sumber: http://oase.kompas.com

Topeng Monyet

Cerpen Tandi Skober
Dimuat di Pikiran Rakyat

SUDILAH kiranya pembaca maklumi bahwa saya ini memiliki profesi sebagai dalang topeng monyet. Berkat profesi ini, hidupku penuh berkah. Saya jadi terkenal, disebut The Real King, dan luar biasa. "Tandi, hebat!"

Kenapa saya disebut sebagai sosok yang hebat? Pertama, diriku ini selalu memainkan topeng monyet di sepanjang tahun, bertahun-tahun, terus-menerus, tak putus-putusnya. Kedua, lokasi plus sektor atraksi topeng monyetku bertebaran di semua ruang, di segala waktu, menclok dari abad-abad yang berlari liar. Sekali tempo, misalnya, di ruang-ruang peradilan, tetapi pada detik lain di ruang gedung parlemen, di kantor-kantor, mal, siskamling, lapangan terbang, terminal kereta api, hutan hantu, ladang cengkih, pabrik tebu, pabrik tepung terigu, rumah sakit, monumen-monumen dan lain-lain. Dan kapan saja di mana saja, saya ini selalu berteriak, "Hole, hole, hole...aku ini dalang topeng monyet."

Dapat ditambahkan bahwa monyetku ini ternyata mirip saya.

Aneh? Nggak juga, tuh. Lagi pula saya tidak malu melihat kunyukku serupa dan sama dengan diriku. Biarin, wong lagi in yang namanya manusia mirip binatang. Bangsat dan Bank Ciantury kan lagi top! Meski begitu, ada juga bedanya antara saya dan monyetku ini. Bila monyet punya ekor, maka saya suka mengekor di belakang petinggi negeri sembari sembah sungkem dan berkata, "Hal ini kepatutan yang layak dipedomani."

Itulah sebabnya saya dan monyetku sering saling pandang seraya saling-silang tanya, "Siapa sih yang sebenarnya layak disebut monyet?" Tak ada jawaban. Yang pasti, ujung dari tukar pandang itu, biasanya kami saling bertukar senyum, tepuk tangan "pok ame-ame belalang kupu-kupu", dan melepas tawa berkepanjangan.

Pada suatu malam, misalnya, saya telanjang bulat menjadi seekor monyet. Akan halnya di sudut kamar, kulihat monyetku menjadi diri saya. Ah, ternyata asyik juga jadi monyet. Leherku diberi tali komando dan monyetku memerintah begini dan begitu. Bahkan monyetku mengajak aku berdialog.

"Hak-huk, hak-huk, hak-huk," ucap monyet.

"Ham, ham, ham," balasku.

"Hum pim pah, wala jahum, ham-ham," ucap kami. Seusai itu, aku dan kunyuk tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa, monyetku itu kembali berhak-huk, hak-huk, yang artinya,"Tandi pergi ke pasar. Di pasar, beli segala aking. Hidup Indramayu! Hole, hole, hole..hole, hole. Tandi pergi ke Jakarta... "

Itu saya turuti. Saya nikmati dengan sepenuh hati. Juga amat membahagiakan saat kunyukku kembali memerintah, "Tandi pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Antasari divonis 18 tahun! Hole, hole, hole...hole, hole."

Maka beruntunglah diri hamba yang layak disebut sang topeng monyet, topeng manusia, topeng dari segala wajah-wajah bopeng. Saya tertawa riang setiap jerat-jerat nasib melingkari leherku, setiap kali saya telanjang bulat ditelanjangi realitas muram, setiap kali Caligula jadi gula-gula politik, setiap kali saya sadari bahwa saya dan monyet adalah realitas humanisme universial.

Disebabkan hal ini, kiranya pembaca memaklumi manakala dalam gempita girangku, saya panjat piramida republik dan berteriak, "Hidup topeng monyet!" Tak cuma itu. Juga selalu aku ciumi telapak kaki monyet hingga dari ujung jemarinya ada darah yang mengalir yang kelak menjadi anggur penyubur pembangunan.

Tentu saja alih eksitensi itu terjadi bila malam hari. Bila siang hari, di sektor-sektor atraksi, mustahil pula saya bugil menjadi topeng monyet. Bisa-bisa ini disebut gila bugil amenanging zaman yang tak nyaman. Lagi pula monyetku mengerti apa yang disebut fenomena posisional yang kondusif. Artinya, malam tak akan melampui siang dan kewarasan tak akan melibas kesintingan.

Sebenarnya soal topeng monyet ini tidak akan saya jadikan cerita pendek, tetapi masalahnya jadi lain ketika monyetku ini pada suatu malam ajukan rencana mogok atraksi.

"Tidak, Kang Tandi," ucapnya," Aku tak ingin jadi Topeng Monyet. Aku ingin jadi lurah, camat, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden!"

"Ngaco kamu, Nyet. Ini mustahil!" ucap saya, "Kerbau lebih mutualistis simbolis ketimbang monyet."

"Mengapa tidak?" kilahnya," Inti dari demokratisasi adalah kerakyatan. Artinya seorang pemimpin berjiwa demokrat itu kudu memiliki komitmen kerakyatan. Yang bisa merakyat tentu saja sang kera alias monyet. Lagi pula orang tak pernah bilang kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmah `kebijaksanaan`, tapi `kerakyatan` yang memimpin hikmah `kebijaksanaan`. Dus, kerakyatan bisa disebut kondusif substansional signifikan apabila semua pemimpin negeri berasal dari etnis monyet!"

Edan! Analisis monyetku ini jelas nyeleneh. "Kata dasar kerakyatan itu adalah rakyat! Bila diberi awalan /ke/ dan akhiran /an/ maka jadilah kerakyatan," ucapku.

"Salah itu!" teriak Monyet, "Kerakyatan adalah kera ya, Tan?"

"Ha,ha,ha."Aku tertawa, "Endasmu, Nyuk. Panjenengan itu gimana sih. Yang pasti, kau adalah topeng monyet dan aku adalah sang dalang. Ini realitas sosial. Saya tak bisa menerima hak-hakmu bahwa seorang elite negeri kudu berjiwa kera. Ini sulit aku mengerti."

"Tapi bisa kau rasakan," potong monyetku," Elite negeri bahkan juga pemimpin dan pengetua negeri, lihatlah mirip topeng monyet. Leher mereka dilingkari network, internet, sistem, ideologi, mimpi-mimpi, proyeksi projek, ikatan-ikatan sektarian. Apa artinya? Inilah jerat-jerat nasib primordial. Tali buhul yang melingkar-lingkar involutif di arena hiruk-pikuk global."

Saya diam. Saya tidak meyakini bahwa sebuah sistem budaya sistem politik bahkan juga ideologi adalah tali kendali antara sang dalang dan sang topeng monyet. Adalah tali komando yang membuat manusia membungkuk-bungkuk penuh hormat atawa cengar-cengir mirip topeng monyet.
**
GEDUNG parlemen suatu hari. Orang-orang tepuk tangan. Manusia memadati ruang, sementara matahari seperti mata waktu yang menyelinap di antara sorak-sorak histeria Indonesia yang cemas. Di sini, saya dan monyetku akan bikin atraksi. Akan tetapi, atraksi kali ini tidak seperti biasanya. Monyetku meminta agar diriku yang menjadi topeng monyet, sementara monyetku menjadi dalang pemegang tali komando alias juru perintah.

Pinta monyet itu saya setuju. Saya bugil. Saya pasrah ketika leherku dilingkari tali takdir. Sementara monyet tolak pinggang seraya sesekali menabuh gendang kecil, "Bandung bampak, Bandung bampak, plak, plak, plak." Suara ini ditimpali suara hentakan kaki di atas kecrek tua, "Crek, crek, crek." Tak pelak bebunyian pun jadi penuh nuansa kreatif, "Bandung bampak, crek, crek, crek. Bandung bampak, crek, crek, crek."

Orang-orang girang. "Hole,hole,hole." Monyetku sumringah, bugilku menggeliat-geliat. Gendang pun ditabuh bertalu-talu, kecrek dihentak berkecrek-kecrek. Dan ada suara senggak alias koor di antara desah resah rakyat, kecrek, dan gendang, "U lili wa lili wa u waing."

Monyetku kini memerintah, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham, ham."

"Saya turuti perintahnya. Kuambil bedil, kutembak langit. Dor, dor,dor! Orang-orang girang, "Hole, hole, hole...hole, hole."

Monyetku berkata, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham, ham."

Saya setubuhi sejarah hingga berdarah dan lahirlah anak-anak haram jadah berbau harum. Orang-orang garang, "Hole, hole, hole."

Monyetku terus unjuk perintah, begini dan begitu. Dan histeria massa kian berkeringat. Suara gendang tetap bertalu-talu, dibarengi genderang, terompet, petasan, dan ingar-bingar tangis yang diakses menjadi suara tawa terbahak-bahak.

Atraksi topeng monyet ini kian beringas. Hingga di puncak ekstase atraksi, saya sempoyongan. Bugilku menggigil. Saya tertatih-tatih di antara perintah monyet dan kecemasan purba yang gagap. Akan tetapi, saya berusaha agar tetap mengorbit pada komitmen nasionalisme mensturasi. Saya satukan integritas jagad gede dan jagad cilik. Celakanya, saya gagal. Kekalahan kian melelahkan. Letihku tertatih-tatih. Hingga saya ambruk di tengah hiruk-pikuk pesta emas itu.

Kini monyetku mendekat dan berbisik, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham." Suara ini mengingatkan suara yang rapuh di lorong pembingungan-pembingungan. Entah suara siapa. Bisa jadi suara saya dari ruang awang-uwung, atau suara dari pengembaraan asketisme. Itu tak penting. Yang pasti ada dealektika tentang substansi kemanusiaan bersifat otonom eksistensional. Adalah manusia layak disebut manusia saat ia memiliki otoritas humanisme universal yang tidak terkotak-kotak panggung sektarian maupun geografi nasionalisme. Sebab, manusia bukan sejenis monyet yang jati dirinya dijerat tali komando. Sebab, manusia bukan seekor kunyuk yang menari, menyanyi, memobilisasi atas perintah sang dalang.

Suara itu mungkin benar. Akan tetapi, kadang rakyat tak lebih baik dari sekumpulan topeng monyet. Lihatlah tak cuma jasadi yang dilingkari tali komando, juga ruang pikir pun kudu diparkir pada otoritas pemikiran penguasa. Maka apa sih bedanya antara kera dengan kerakyatan yang dikomandoi depolitisasi?

Sumber: http://www.sriti.com

Balada Sang Putri di Gubuk Hamba

Cerpen Sunarta, Wayan
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 03/21/2010

Senja warna kencana ketika putri jelita itu tiba di pesanggrahan hamba. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya.

Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di puri. Selalu ingin mengikutiku ke mana pergi,” ucapnya.

Harum cempaka merekah dari langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah delima. Angin cemburu tak mampu mengurai hitam rambutnya. Hamba terpana pesona di hadapan hamba. Gerimis merah muda mengurai cuaca di kesunyian pesanggrahan.

Hamba tuntun sang putri masuk gubuk. Langkahnya pasti menjejak lantai tanah. Mulus betisnya memancarkan cahaya surgawi. Hamba menenteramkan riak-riak ombak di hati.

Sang putri duduk anggun di balai-balai bambu. Dia mengulum senyum. Seakan hendak menerka rahasia dari lontar-lontar kusam masa silam, yang hamba susun rapi di peti tua berukir bunga padma.

”Lautan dan topan sejatinya sepasang kekasih yang ingin menembangkan kidung-kidung dewa di cangkang-cangkang kerang,” lirihnya.

Hamba merasa malu pada hati hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita matanya. Buru-buru hamba nyalakan pelita minyak kelapa. Malam telah membutakan jarak di pesanggrahan.

Remang cahaya pelita menggurat dua bayang di dinding kayu. Bayang yang saling termangu merunut silsilah dan sejarah, yang mengasingkan kami sejauh tahun-tahun kepedihan, sepanjang jarak dua belahan bumi.

”Angin apa kiranya yang membawamu ke sini, Putri? Hamba telah asingkan diri dari segala kenangan meski parasmu masih membekas di hati. Cahaya apa menuntun langkahmu, menyusuri jejak sunyi tak terperi, hingga tiba di gubuk hamba?”

Mata sekilau purnama menatap hamba tajam. Menembus remang ruang, remang jiwa. Bibir seindah mirah membuka sabda: ”masih ingatkah kau pada sebilah daun lontar di mana tertatah syair, yang kau gurat dari lubuk jiwamu?”

Hamba merasa darah hangat dari jantung yang berdegup malu, mengalir perlahan memenuhi wajah hamba. Sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Ketika usia kami masih ranum, begitu hijau. Agaknya waktu telah membekukan syair itu di sebuah gua rahasia di hatinya.

”Meski bilah lontar itu telah kusam, tinta hitam dari kemiri dan jelaga hampir luntur, tapi syair itu tak henti menitiskan rindu dan mengalir hangat di nadiku. Kini tiba saatnya bagiku melunasi karma,” ucap Sang Putri.

Hamba terpana, menerka-nerka arah kerumunan kata yang berhamburan bagai kunang-kunang dari bibir rekah yang dulu hamba rindui. Di luar gubuk, angsa-angsa bercengkerama dengan malam, dengan halimun. Lengking suaranya melengkapi hening

”Jangan ragu. Aku tiba di sini untukmu. Aku akan berkisah. Dan hanya kau yang kupercayai menggurat kisah-kisahku ini di bilah-bilah lontarmu. Karena kau pujangga istana di mana dulu hatiku pernah bahagia….”

Hamba terkesiap, jiwa hamba berdesir, serupa angin subuh mengelus lembut kulit ari. Sudah lama sekali hamba tak mampu menggurat syair. Tiba-tiba hamba terkenang, saat hamba tinggalkan istana, diam-diam di tengah sunyi malam. Demi janji hamba pada keheningan dan pengembaraan.

Pantai demi pantai hamba susuri. Gunung demi gunung menjulang hamba daki. Rimba demi rimba rahasia hamba jelajahi. Lembah demi lembah misteri hamba hayati. Hingga tiba hamba di pesisir timur ini.

Tak ada yang mengenali hamba. Kecuali sunyi, kawan sejati seperjalanan. Bukankah manusia dilahirkan demi merayakan kesunyian? Dan ketika tiba saat kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi yang itu-itu juga….

Suatu waktu angin pegunungan mengabarkan warta. Putri jelita sangat bersedih hati tak menemukan hamba di istana. Dia pun pergi membawa duka lara menyeberangi lautan seorang diri, menetap di negeri asing, demi menemukan kesejatian.

Hamba memahami kesedihannya. Hamba terlanjur tergoda kesunyian. Lebih memilih mengasingkan diri, ketimbang mendampingi sang putri melewati hari-harinya di puri. Hamba merasa tak leluasa berada di istana, mengabdi pada raja.

Hamba hanya ingin kembali pada alam dan kaum jelata. Belajar bertani, memahami nyanyian jengkrik dan kodok hijau. Berbaur dengan kuli, petani ladang garam dan nelayan. Mendengar siul angin di pucuk-pucuk bambu. Belajar mengurai makna sabda cicak di dinding kayu.

”Tak perlu disesali. Waktu begitu jauh berpacu. Namun wajah dan hatimu masih seperti dulu. Hanya beberapa helai uban tumbuh di sela-sela hitam rambutmu. Ketahuilah, kau masih selalu pujanggaku.”

Hamba tak pernah tahu, apa wajah dan hati bisa tidak berubah. Hanya waktu yang abadi, dan sekelumit rasa yang berupaya kekal dalam fana.

Remang jadi makin nyalang. Cahaya pelita bergoyang. Mengaburkan bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali melengking. Halimun melingkupi pesanggrahan. Dua ekor cicak di dinding kayu sedari tadi menerka-nerka arah jiwa kami. Menerawang sesuatu yang makin sawang.

”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan sejatinya putri istana. Aku hanya anak jadah. Meski ayahku turunan raja, yang sungguh kasip kuketahui. Namun tak pernah kutahu rupa ibuku. Sedari janin aku telah mencecap getir. Tangis pertamaku menyayat rahim ibu. Hatinya memang telah lama luka. Tak diakui, malu dengan aib sendiri. Aku dibuangnya begitu saja, seperti membilas daki di kelamin…,” keluh Sang Putri.

Hamba tercekat, sungguh terperanjat. Kata-kata berasa duri menyumbat kerongkongan. Nyeri seperti mengalir di sumsum nadi. Hamba hanya mampu terdiam. Sang putri tak henti berkeluh kesah.

Kisah miris ini makin meyakinkan hamba, betapa manusia sejatinya ditakdirkan mengalami kesunyian dan kesepian. Hamba merasa sepasang cicak di dinding kayu sedari tadi tertawa. Dan, lengking angsa menggenapi sunyi kami.

Letih dengan jiwa sendiri, sang putri terlelap di bale-bale bambu, tanpa kelambu. Di bilah-bilah daun lontar hamba mulai menggurat syair. Di remang cahaya pelita, terbayang wajah sang putri, sedang mengutuki dirinya….***
(Karangasem, Bali, Januari 2010)

Sumber: http://www.sriti.com

785 CPNS Kab. Bandung Mendapat SK

Soreang - Sebanyak 434 calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kab. Bandung mendapatkan surat keputusan (SK) pengangkatan mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Aula Bersama Pemkab Bandung di Soreang, Senin (19/1).

SK pengangkatan PNS itu diberikan kepada para tenaga kerja kontrak (371 orang), sekretaris desa (63 orang) di lingkungan Pemkab Bandung. Pada saat yang sama, SK pengangkatan CPNS juga diberikan kepada 351 orang yang lolos seleksi CPNS Pemkab Bandung.

Pemberian SK pengangkatan itu diberikan secara simbolik dalam apel kesadaran nasional di Lapangan Upakarti oleh Bupati Bandung Obar Sobarna.

Menurut Obar, pengangkatan status ini diharapkan akan diikuti oleh peningkatan kualitas kerja dan kesejahteraan masyarakat. Bupati juga meminta para pegawai yang baru saja diangkat menjadi PNS ini memperlihatkan semangat dalam bekerja hingga hasil pekerjaan menjadi optimal. (A-124/A-147)

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com

Tenaga Kontrak Daerah Persoalkan Pengangkatan CPNS

Kuningan - Para tenaga kontrak daerah di Kab. Kuningan mempersoalkan pengangkatan dua orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan (Disdik) Kab. Kuningan. Para tenaga kontrak melihat ada keganjilan dalam proses pengangkatan tersebut. Keduanya adalah Rah dan Hol yang diangkat sesuai petikan SK Bupati Kuningan Nomor 813/KPTS.272-BKD/2008 tertanggal 28 Juli 2008.

Menurut aktivis Forum Telaah Kebijakan dan Kinerja Daerah (F-Tekkad) Kuningan Ewo Sujarwo, petikan SK tersebut wajar-wajar saja apabila menimbulkan kecemburuan para tenaga kontrak daerah yang belum direkrut menjadi CPNS dan mempertanyakan keabsahan dari putusan SK Bupati itu tentang pengangkatan tenaga honorer usia kritis menjadi CPNS karena keluarnya SK itu pada tanggal 28 Juli 2008.

"Kondisi itu di luar kebiasaan sebab, SK CPNS biasanya keluar bulan April atau Oktober," katanya, Jumat (15/8).

Ewo mengaku mendapat keluhan dari sejumlah tenaga kontrak daerah di Kuningan. Dia menyebutkan, apabila munculnya SK dimaksud mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 yang merupakan hasil revisi Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 seharusnya hal tersebut disosialisasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar tidak menimbulkan prasangka buruk.

Terkait dengan permasalahan tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kab. Kuningan Yedi Chandra didampingi Kepala Bidang Mutasi dan Pengadaan Pegawai, Drs. Nurahim mengatakan, pengangkatan dua CPNS usia kritis tersebut dilatarbelakangi karena, sebelumnya mereka yang sudah tercatat di database Badan Kepegawaian Nasional (BKN) diusulkan menjadi CPNS tetapi terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005. Di dalam peraturan itu, diterangkan bahwa, persyaratannya adalah selain tenaga honorer yang sudah usia kritis, juga masa kerjanya harus di atas 10 tahun.

Sedangkan keduanya, lanjut Yedi, kalau dilihat dari segi usia sudah memenuhi, tetapi tidak pada persyaratan masa kerja. Oleh karena itu, ketika ada surat dari BKN Nomor K.26-30/V.129-4/99 tentang tenaga honorer usia kritis untuk formasi tahun 2005 tertanggal 29 Agustus 2007 yang di dalamnya menerangkan mengenai telah ditetapkannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 menjadi Pertauran Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang pengangkatan CPNS dari komponen honorer usia kritis yang sebelumnya telah masuk database BKN, mereka langsung diusulkan.

Pada persyaratan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007, disebutkan, daftar normatif tenaga honorer usia kritis adalah yang memiliki masa kerja kurang dari 10 tahun dan usia maksimal 46 tahun tertanggal 1 Januari 2006 dan akhirnya direkrut sebagai CPNS sehingga tenaga honorer usia kritis di Kab. Kuningan sudah habis, kecuali tenaga-tenaga lainnya.(A-146/C-35/A-147)

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com

Para Korban Trafficking Kapok Kerja di Riau

Bandung - Berdasarkan pemantauan "PRLM", Kamis (25/3), keempat belas korban trafficking yang diselamatkan semalam oleh Tim Gugus Tugas, berada dalam kondisi tenang. Mereka ditempatkan di sejumlah kamar yang berada di gedung RP3A, dan dijaga sejumlah pedamping. Tanpa mau disebutkan namanya, beberapa korban mengungkapkan kapok untuk kembali bekerja di Riau.

"Saya memang butuh pekerjaan, tetapi untuk kembali kesana, saya tidak mau," demikian sejumlah korban mengungkapkan.

Adapun nama keempat belas korban, berdasarkan daftar nama yang diberikan Tim Gugus Tugas kepada "PR" , adalah: Sel (26), Ev (14), Ek (22), Ki (26), Han (25) , Nur (17), U (28), An (28), Ri (30), It (30),Va (25), Rim (21), Des (21), dan Yen (23). Para korban rata-rata masih baru tinggal di Kepulauan Riau, sepuluh hari sampai dengan enam bulan.

Di samping menjalani pemeriksaan kesehatan, keempat belas korban juga akan diberikan sejumlah pelatihan singkat, yang tujuannya memotivasi para korban untuk kembali bangkit dari keterpurukan.

Dihubungi terpisah, Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang Pemerintah Provinsi Jabar Pery Soeparman mengatakan, sesuai dengan proses penyelamatan koban trafficking sebelumnya, pada
proses kali ini pun mengikuti standar operasional yang sama, diantaranya cek kesehatan dan konseling.

"Kita sudah punya SOP penyelamatan korban trafficking. Jadi, Gugus Tugas mengacu pada prosedur baku tersebut," ujarnya. (A-133/kur)

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com

Lembang Miliki Wisata Andalan Baru

Bandung - Wisata kebun strawbery petik sendiri di Kec.Lembang, Kab.Bandung Barat menjadi salah satu wisata andalan baru di kawasan tersebut. Hal itu diungkapkan oleh salah seorang pengelola wisata di Jln. Raya Lembang, Kampung Cihideung, Desa Gudang Kahuripan, Kec.Lembang, Kab.Bandung Barat, Wahyu (30), yang ditemui di sela-sela pembuatan kebunnya, Jumat (26/3).

"Sekarang banyak wisatawan yang datang ke Lembang untuk mencari suasana berbeda, yaitu menikmati buah segar langsung memetik sendiri dari kebunnya", katanya.

Dia mengaku menawarkan buah Strawbery Rp. 60.000, 00/ kilo lebih mahal dari harga pasaran sekitar Rp. 40.000,00 karena selain dapat menikmati buah, tempat tersebut juga menawarkan suasana yang berbeda.

"Kalo disini kan pengunjung bisa makan buah segar langsung dari pohonnya, beda sama Strawbery yang dijual dipasaran, jadi harganya lebih mahal", tambahnya.

Dijelaskan Wahyu, sekarang kualitas strawbery sedikit menurun karena musim hujan, buah jadi busuk." Tapi kalo kita pinter ngerawatnya sih, itu bisa diatasi," ujarnya. (A-189/kur)

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com

Arsitektur Tradisional Rumah Adat Bangsa Melayu-Bengkulu

Oleh Presty Larasati

Dalam bahasa Melayu-Bengkulu, rumah tempat tinggal dinamakan juga rumah. Rumah tradisional Bengkulu termasuk tipe rumah panggung. Rumah panggung ini dirancang untuk melindungi penghuninya dari banjir. Di samping itu, kolong rumah panggung juga dapat dipergunakan untuk menyimpan gerobak, hasil panen, alat-alat pertanian, kayu api, dan juga berfungsi sebagai kandang hewan ternak. Bentuk rumah panggung Melayu ini terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain:

Bagian Atas
Bagian atas rumah adat Melayu Bengkulu ini terdiri dari:
1. atap, terbuat dari ijuk, bambu, atau seng;
2. bubungan, ada beberapa bentuk;
3. pacu, plafon dari papan atau pelupuh;
4. peran, balok-balok bagian atas yang menghubungkan;
5. tiang-tiang bagian atas;
6. kap, kerangka untuk menempel kasau;
7. kasau, untuk mendasi reng;
8. reng, untuk menempel atap;
9. listplang, suyuk, penyunting.

Bentuk bagian atas ini akan terlihat pada bubungan yang dibuat. Beberapa jenis bubungan antara lain:

* bubungan lima
* bubungan limas
* bubungan haji (bubungan sembilan)
* bubungan jembatan
* bubungan gabungan lima dan jembatan

Bagian Tengah
Bagian tengah rumah adat Melayu Bengkulu ini terdiri dari:
1. kusen, kerangka untuk pintu dan jendela;
2. dinding, terbuat dari papan atau pelupuh;
3. jendela, bentuk biasa dan bentuk ram;
4. pintu, bentuk biasa dan bentuk ram;
5. tulusi (lubang angin), sebagai ventilasi, biasanya di atas pintu dan jendela, dibuat dengan berbagai ragam hias;
6. tiang penjuru;
7. piabung, tiang penjuru hal;
8. tiang tengah;
9. bendu, balok melintang sepanjang dinding.

Bagian Bawah
Bagian bawah rumah adat Melayu Bengkulu ini terdiri dari:
1. lantai, dari papan, bambu, atau pelupuh;
2. geladak, dari papan 8 dim dengan lebar 50cm dipasang sepanjang dinding luar di atas balok;
3. kijing, penutup balok pinggir dari luar, sepanjang keliling dinding;
4. balok (besar), kerangka untuk lantai yang memanjang ke depan;
5. tailan, balok sedang yang berfungsi sebagai tempat menempelkan lantai;
6. blandar, penahan talian, melintang;
7. bedu, balok diatas sebagai tempat meletakkan rel;
8. bidai, bambu tebal yang dipasang melintang dari papan lantai, untuk mempertahankan dari tusukan musuh dari bawah rumah;
9. pelupuh kamar tidur, sejajar dengan papan lantai (di atas bidai);
10. lapik tiang, batu pondasi tiang-tiang rumah;
11. tangga depan dan belakang.

Susunan Ruang
Rumah tempat tinggal memilki fungsi dalam kehidupan. Ada pun susunan dan fungsi ruang pada rumah adat Melayu Bengkulu ini adalah:

1. Berendo
Tempat menerima tamu yang belum dikenal, atau tamu yang hanya menyampaikan suatu pesan (sebentar). Selain itu juga dipergunakan untuk relaks pada pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo juga sering dipergunakan untuk bermain congkak, karet, dan lain-lain.
2. Hal
Ruang untuk menerima tamu yang sudah dikenal baik, keluarga dekat, atau orang yang disegani. Ruangan ini juga digunakan untuk tempat cengkrama keluarga pada malam hari, ruangan belajar bagi anak-anak, dan sewaktu-waktu ruang ini digunakan untuk selamatan atau mufakat sanak famili.
3. Bilik gedang
Bilik gedang atau bilik induk merupakan kamar tidur bagi kepala keluarga (suami-istri) serta anak-anak yang masih kecil.
4. Bilik gadis
Biasanya terdapat pada keluarga yang memiliki anak gadis, merupakan kamar bagi si anak gadis. Selain untuk tidur juga digunakan untuk bersolak. Bilik gadis biasanya berdampingan dengan bilik gedang, demi keamanan dan kemudahan pengawasan terhadap anak gadis mereka.
5. Ruang tengah
Biasanya dikosongkan dari perabot rumah, dan di sudutnya disediakan beberapa helai tikar bergulung karena fungsi utamanya adalah untuk menerima tamu bagi ibu rumah tangga atau keluarga dekat bagi si gadis. Di samping itu, ruang tengah sering dipakai sebagai tempat belajar mengaji. Bagi keluarga yang tidak memilki kamar bujang tersendiri, kadang-kadang dipakai untuk tempat tidur anak bujang.
6. Ruang makan
Tempat makan keluarga. Pada rumah kecil biasanya tidak terdapat ruang makan, mereka makan di ruang tengah. Bila ada tamu bukan keluarga dekat, maka untuk mengajak tamu makan bersama digunakan hal, bukan di ruang makan.
7. Garang
Tempat penyimpanan tempayan air atau gerigik atau tempat air lainnya, juga dipakai untuk tempat mencuci piring dan mencuci kaki sebelum masuk rumah atau dapur.
8. Dapur.
Ruangan untuk memasak.
9. Berendo belakang
Serambi belakang, tempat relaks bagi kaum wanita pada siang atau sore hari, melepas lelah setelah mengerjakan tugas, tempat mengobrol sambil mencari kutu.

Sebenarnya, selain rumah adat Melayu-Bengkulu, di Bengkulu juga terdapat rumah adat yang lain seperti rumah Umeak Potong Jang (Rumah Buatan Rejang) yang merupakan umeakan (rumah kuno) asli Rejang (salah satu suku di Bengkulu), rumah Kubung Beranak milik bangsawan Rejang Pesisir, rumah Patah Sembilan yang merupakan rumah tradisional rakyat biasa suku bangsa Rejang Pesisir.

Referensi
Achmad, Ramli, dkk. 1992. Koleksi Miniatur Rumah Tradisional Suku Bangsa Rejang dan Melayu Bengkulu Museum Negeri Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Depdikbud Propinsi Bengkulu.

Museum Negeri Propinsi Bengkulu , 1993. Koleksi miniatur rumah tradisional suku bangsa Rejang dan Melayu Bengkulu, Museum Negeri Provinsi Bengkulu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Pembinaan Permuseuman Bengkulu, Bengkulu,

Sumber Tulisan: http://prestylarasati.wordpress.com

Arsitektur Tradisional Bali

Oleh Wisnu Budiarso

Abstract
Traditional architecture in Bali originates from two sources. One is the great Hindu tradition brought to Bali from India via Java. The second is an indigenous architecture pre-dating the Hindu epic and in many ways reminiscent of Polynesian building. There is a developed Balinese science of geomancy written in the ancient palm leaf manuscripts. This is known as Kosala-kosali. The science of building is held to be a sacred knowledge and traditional Balinese architects who might also be rice farmers were known by the distinguished title of undagi. Using such natural materials as thatch roofing, bamboo poles, woven bamboo, coconut wood, mud and stone they are organic statements in complete harmony with the environment. Many of these are temporary such as the offering houses set up before harvest in the rice fields. Others use trees that will actually keep on growing as the bamboo rots and returns to the mother earth.

Pendahuluan
Manusia , Arsitektur, dan Alam Semesta
Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin kaja-kelod, kauh-kangin, dan kaidah Sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.

Makrokosmos dan Mikrokosmos
Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untuk selamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Bali membuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dan keselarasan kehidupan.

Kosmologi Bali merupakan suatu hierarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut:

1. Bhur, alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme.
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Nawa Sanga
Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara-selatan yang disebut kaja-kelod, dan timur-barat yang disebut kangin-kauh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya. Utara melambangkan Dewa Wisnu, selatan Dewa Brahma, timur Dewa Iswara, dan barat Dewa Mahadewa.
Metodologi Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala-kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang memunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.

Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Arsitektur dan Status Sosial

Arsitektur tradisonal Bali tidak dapat dilepaskan dari kondisi status sosial asyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali sangat erat hubungan kekerabatannya terutama pada masyarakat Bali tradisional.

Masyarakat Bali sangat menghormati model hierarki kasta yang merupakan sikap hidup mereka sesuai dengan agama yang mereka anut. Dan hal ini berpengaruh pada pola ruang dan arsitektur tradisional Bali. Pembagian kasta sebagai tingkatan hierarki dalam status sosial masyarakat Bali dimulai dari yang paling bawah yaitu Sudra, sebagai masyarakat umum biasa yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani, abdi, pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam kemasyarakatan. Masyarakat sudra umumnya hidup sedehana karena mereka tidak memunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu pengetahuan, ilmu dagang, dan ilmu pemerintahan.

Kemudian Weisya yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Masyarakat kelas ini cukup mapan karena usahanya dan pengetahuannya tentang perdagangan dan ilmu hitung, sehingga kehidupannya tercukupi.

Satria adalah strata yang cukup terhormat dengan profesi sebagai prajurit kerajaan atau pegawai pemerintahan. Mereka cukup berpendidikan karenanya mereka memunyai cukup ilmu keprajuritan atau pemerintahan, sehingga mereka juga termasuk kaum berpendidikan cukup, atau setidaknya dapat mempelajari tata kenegaraan. Kehidupan kaum satria cukup mapan karena posisinya dalam masyarakat yang cukup terhormat.

Kasta yang paling tinggi adalah Brahmana, sebuah penghormatan paling tinggi masyarakat Bali bagi seorang pemimpin agama atau orang yang dianggap mumpuni dalam agama, atau juga yang disebut Pedande.

Orang suci yang telah mencapai pencerahan Sang Hyang Widhi sehingga titahnya merupakan wahyu yang dibawa dari Mahadewa. Sistem hierarki ini bahkan tertranformasi dalam sistem pola ruang pada bangunan-bangunan rumah, umum mau pun pura. Seperti istilah jaba untuk bagian paling luar bangunan, kebudian jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Dan kebudian jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.
Teknik Konstruksi dan Material

Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hierarki dari mulai nista, madya, dan utama.

Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.

Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela, dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.


Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom.

Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.
Hierarki Pola Ruang Rumah Tinggal

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu Gunung Agung.

Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini, haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur, dan barat.

Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali.

1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod.
2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil kebun lainnya.

Kesimpulan
Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.

Kepustakaan
Budihardjo, Eko. 1986. Architecture Conservation in Bali. Yogyakarta:Gadjah Mada University.
Covvarubbias, Miguel. 1937. The Island of Bali. London: Oxford University Press.
Eisemen, Fred. 1999. Bali Skala and Niskala. Hongkong: Periplus.
Sweellengrebel, J.L.1947. Een Vorstenwijding of Bali. Leiden.

Penulis adalah akademisi Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Budi Luhur

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/368/arsitektur-tradisional-bali

Arsitektur Raja Naga

Oleh Tim Wacana Nusantara

Ular naga dalam arsitektur banguanan kuno umumnya dijadikan pola hias bentuk makara, yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik atau mutiara. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Dari tiga peran naga yang dicontohkan di atas fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan.

Menurut tradisi, ular naga termasuk hewan suci yang dipuja-puja oleh kelompok masyarakat Dravidia (1.500-600 SM) di India. Dalam pemujaan kepada kekuatan atau unsur alam dan hewan-hewan kekuatan air atau jiwa air diwujudkan dalam bentuk ulat, tetapi kemudian diwujudkan dalam bentuk badan manusia dengan kepala ular kobra (lihat Benjamin Rowland: The Art and Architecture of India, 1970: 49). Karena kepercayaan ini maka pada awal kebangkitannya kesenian yang bercorak Buddhis semua bangunannya dihias dengan naga dan juga yaksha yaitu raksasa sebagai penjaga candi. Bangunan candi yang dihias dengan banyak naga ialah Candi Sanchi yang dibangun oleh Dinasti Maurya (322-185 SM) dan Candi Amarawati (lihat James Ferguson: Tree and Serpent Worship in India. Delhi, 1868: 68 foto no. 4; 187 plate LXVIII – LXX.LXXVI – LXXVII.XCI – XCII).

Kepustakaan
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/94/arsitektur-raja-naga

Pelajar Karimun Direkam Lagi Mesum

Pergaulan bebas di kalangan pelajar Karimun semakin meresahkan. Hal ini diketahui setelah beredarnya rekaman video porno yang aktornya merupakan pelajar Karimun. Dari rekaman video dengan format 3gp itu, kedua sejoli melakukan hubungan layaknya suami istri.

Rekaman yang berdurasi sekitar 8 menit 8 detik ini, diambil di salah satu gubuk berdinding seng yang diperkirakan lokasinya berada tak jauh dari Stadion Badang Perkasa. Dalam rekaman yang diperoleh Batam Pos, kemungkinan kedua aktor belia ini tidak menyadari kalau perbuatan mereka diketahui orang lain dan direkam menggunakan kamera.

Gambar ini diambil melalui salah satu lubang seng yang ada di sebelah kiri mereka.

Informasi yang diperoleh Batam Pos, pemeran wanita merupakan salah satu pelajar di sekolah Karimun. Sedangkan aktor pria yang merupakan pacarnya baru saja lulus SMA tahun lalu.

Dalam rekaman, awalnya, remaja ini hanya saling berpelukan. Di mana si pria yang menggunakan jaket warna biru tua dan baju kaos warna merah duduk di salah satu tempat yang ada di gubuk. Sedangkan aktor wanita yang mengunakan sweater warna hijau dan baju kaos warna biru terlihat berdiri sambil memeluk kepala si abang berjaket biru tua.

Menurut informasi yang dirangkum Batam Pos, beredarnya video porno ini sudah berlangsung sejak dua minggu lalu. Film amatir ini sudah beredar di tengah masyarakat Karimun dari ponsel ke ponsel.
“Saya sudah melihat rekamannya, dua hari yang lalu,” kata Rizal salah seorang warga Karimun.

Rekamannya diperoleh dari salah seorang temannya yang mendapatkan dari salah seorang pelajar di Karimun. “Betul bang, mereka pelajar Karimun, bahkan kami pernah melihat wajah mereka, hari minggu lalu,” ujar warga lain. (bni)

Sumber: http://www.harianbatampos.com

Bolos, Tujuh Pelajar Ditangkap Satpol PP

Tanjungpinang - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mengamankan tujuh pelajar yang bolos di jam sekolah, Rabu (27/1). Ketujuh pelajar ini terdiri dari tiga pelajar SMP dan empat SMU, diamankan di tepi laut lengkap dengan seragam sekolahnya.

Saat diamankan, para pelajar tersebut sempat mengelak dan berusaha memberi alasan kepada petugas Satpol PP. ”Kami disuruh guru latihan sepak takraw mewakili sekolah,” ujar salah satu pelajar SMP berusaha mengelak saat petugas meminta mereka naik ke mobil petugas.

Sedangkan seorang anak lainnya, juga berusaha memastikan petugas Satpol PP kalau mereka sudah pulang sekolah. Tapi tentu saja berbagai alasan tersebut tidak menyurutkan niat petugas untuk mengamankan mereka.

Berbagai alasan yang diberikan pelajar tersebut diyakini Komandan Regu Satpol PP, Sumati untuk mengamankan para pelajar itu ke mobil Satpol. Menurutnya, para pelajar yang diamankan tersebut berbohong. Hal ini diyakini Suamati, karena asalan yang dikemukakan tidak sesuai dengan tindakan. ”Kalau main takraw atau sudah pulang sekolah kenapa berkeliaran di sini,” ujarnya.

Apa yang diyakini Sumati-pun terbukti ketika Satpol PP melakukan pemeriksaan ke sekolah masing-masing. ‘’Setelah kami cek, tidak ada arahan dari sekolah untuk pulang cepat,’’ ujar Suamati menegaskan.

Para pelajar yang berhasil diamankan petugas Satpol PP, setelah diambil datanya, mereka diberi pengarahan dan pembinaan oleh anggota dan selanjutnya, setelah pihak sekolah masing-masing menjemput, mereka diserahkan ke sekolah masing-masing. Dijelaskan Sumati, mendukung himbauan Diknas dalam menertibkan pelajar di jam sekolah, Satpol PP rutin melakukan razia. (dew)

Sumber: http://www.harianbatampos.com

Masjid Sultan Riau Dibangun dengan Putih Telur?

Oleh Wahyu Satriani Ari

Sebagai umat yang taat, sejumlah cara dapat dilakukan untuk mengagungkan Kebesaran Sang Pencipta, termasuk di antaranya mendirikan tempat ibadah yang seindah mungkin. Sebut saja, masjid Kubah Emas Dian Al Mahri di Depok yang kesohor atau Masjid Al Akbar di Surabaya.

Namun, ada pula masjid yang dibangun dengan keunikan tersendiri sehingga membuat tempat ini menjadi luar biasa. Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, adalah salah satunya. Konon, bangunan masjid ini dibuat dengan putih telur sebagai perekat.

Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman Sultan Kerajaan Riau pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.

Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.

Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.

Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.

Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India.

Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari.

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Al Quran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M.

Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Al Quran tulisan tangan yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada pengunjung lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Pengunjung juga dilarang untuk mengambil foto di dalam masjid.

Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik.

Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Mekkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.

Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.

Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh, bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin, pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.

Masjid Raya Sultan Riau terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Dari dermaga Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, pengunjung dapat menaiki pompong untuk mencapai pulau ini. Untuk memasuki lokasi ini, pengunjung tidak dipungut biaya. Namun, bagi pengunjung yang ingin beramal, di pintu utama masjid terdapat kotak amal, atau dapat diberikan langsung kepada pengurus masjid.

Di Pulau Penyengat, pengunjung juga dapat menjumpai cukup banyak rumah makan yang menjajakan masakan khas Melayu dan rumah penginapan yang dikelola penduduk setempat.

Sumber: http://travel.kompas.com

Menggagas Membaca Sebagai Rekreasi

Oleh Ari Satoto

Tidak Sedikit kita mendengar keluhan dan keprihatinan terhadap generasi penerus kita. Salah satu keprihatinan kita adalah bila melihat anak-anak dan remaja yang enggan menyentuh buku. Keengganan membaca buku terutama di kalangan remaja memang sangat memprihatinkan terutama di Riau tercinta ini. Jangankan buku ilmiah, buku fiksi bahkan yang populer seperti novelpun banyak yang enggan membaca.

Pergeseran minat generasi muda dalam mencari sumber informasi dan ilmu mungkin sudah terjadi. Dulu di saat program dan jumlah stasiun televisi belum sebanyak ini jumlah pembaca buku bisa dikatakan banyak. Sementara saat ini televisi berlomba-lomba memberikan program acara yang bagus dan bermutu, meski sekarang jumlah program acara yang bermutu tersebut makin berkurang saja.

Hal yang tidak diketahui oleh generasi muda kita adalah program-program televisi dan film sifatnya sudah mengarahkan karena menggambarkan sesuatu dengan jelas dan nyata. Buku bersifat mengajak pembacanya untuk berimajinasi sehingga otak kanan manusia berfungsi baik dan mengajarkan kita untuk kreatif.

Gagasan Membaca Sebagai Rekreasi bisa dikemukakan. Untuk keberhasilan menjalankan gagasan ini sebenarnya peran orang tua sangat dibutuhkan. Sebagai orang tua janganlah kita memaksakan anak-anak (terutama remaja) harus langsung membaca buku-buku ilmiah. Kita bisa mengajak mereka untuk membaca buku-buku ringan dan populer dulu. Liburan panjang atau sabtu dan minggu adalah saat yang tepat untuk memulai kegiatan ini.

Kalau gagasan ini bisa berjalan dengan baik, maka orang tua tidak perlu berpikir dan sibuk mencari informasi tempat liburan bahkan dana yang besar saat liburan panjang bagi anak-anaknya.

Bila anak-anak kita sudah mulai bosan dengan suasana membaca di rumah, kita bisa mengajak mereka ke Perpustakaan. Pada tahapan ini peran pengelola perpustakaan sangat dibutuhkan. Pihak perpustakaan perlu mengemas wilayahnya menjadi tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk penyaluran minat membaca yang baru tumbuh ini.

Dikatakan menyenangkan apabila koleksi buku-bukunya lengkap dan petugasnya ramah dan benar-benar membantu. Nyaman apabila perpustakaan bisa menghadirkan suasana yang tenang dengan tempat baca yang bersih dan teratur. Bila semua terpenuhi Perspustakaan akan menjadi Tempat Wisata Baca yang menarik dan harus dikunjungi.

Pemerintah Riau dalam mengembangkan Perpustakaan mungkin bisa melakukan studi banding dengan Singapore National Library. Tidak muluk-muluk kalau harus ke Singapore untuk pengembangan perpustakaan, karena bukankah kita mengharapkan hasil yang bagus di masa yang akan datang. Memasuki perpustakaan tersebut kita akan dibuat kagum oleh keramahan petugas-petugasnya, kelengkapan koleksi buku dan kenyamanan tempat baca.


Singapore National Library benar-benar ditangani serius bahkan masuk sebagai salah satu tempat tujuan yang ditawarkan oleh pariwisata Singapore.

Dengan gedung perpustakaan yang megah di Riau ditambah program Pemerintah yang mengajak masyarakatnya gemar membaca, bukan tidak mungkin Gagasan di atas dapat berjalan dengan baik. (Ari Satoto)

[/i]Ari Satoto
email: sangadi_pas@yahoo.com[/i]

Sumber: http://www.riauinfo.com

Seribu Satu Soal Minahasa di Museum Sulut

Oleh Maya Saputri

Dari desain dan struktur bangunannya, museum ini memiliki model rancang-bangun rumah adat Minahasa. Museum ini dibangun untuk mendokumentasikan segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan, sejarah dan seni wilayah Provinsi Sulawesi Utara.

Maka tak heran, cakupan koleksi museum ini cukup lengkap yakni 10 jenis koleksi di antaranya geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika, filologika, keramologika, seni rupa, dan teknologika.

Museum Provinsi Sulawesi Utara yang berstatus negeri ini diresmikan pada 9 Januari 1991 dan hingga kini telah mengumpulkan 2.810 koleksi. Dari total koleksi itu, sekitar 500-an koleksi dipamerkan di Gedung Pameran Tetap dan dapat dinikmati setiap hari kerja. Koleksi tersebut diperoleh dari daerah-daerah kabupaten atau kotamadya yang ada di Sulawesi Utara, seperti Manado, Minahasa, Sangihe Talaud, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.

Lokasi museum ini berada di pusat Kota Manado tepatnya di Jalan WR Supratman Nomor 72, Kota Manado, Sulawesi Utara. Selain itu, letaknya cukup strategis, biasanya bila naik angkutan umum, Anda bisa turun di depan SMP Negeri 1 Manado yang berada persis di depannya.

Museum ini cukup mudah dijangkau dengan angkutan umum dalam kota seperti mikrolet atau taksi. Tarif angkutan dalam kota hanya Rp 2.000 untuk setiap trayek. Museum ini buka dari Senin-Kamis pukul 08.30-09.00 Wita, Jumat pukul 08.30-11.30 Wita, Sabtu pukul 09.00-14.00 Wita, tetapi hari Minggu dan libur nasional tutup.

Jika Anda hanya memiliki waktu yang pendek untuk menjelajahi Sulawesi Utara, museum ini menjadi tempat wajib untuk dikunjungi. Meski hanya menampilkan sekilas sejarah dan benda-benda kebudayaan masyarakat daerah Sulut, museum berlantai tiga ini memiliki ruang-ruang ekshibisi yang memamerkan koleksi yang bisa dikatakan cukup lengkap.

Halamannya cukup luas dengan pintu masuk berupa tangga menanjak ke atas menuju Gedung Pameran Tetap. Alur perjalanan menikmati koleksi pun sudah tersedia dengan papan penunjuk tanda panah mulai dari lantai satu hingga lantai tiga.

Pengunjung dapat menyaksikan replika maupun benda-benda otentik, seperti replika waruga atau peti kubur batu masyarakat Minahasa, replika watu pinawetengan, dan sebagainya. Museum ini juga menyediakan guide berbahasa Inggris yang akan mengantar pengunjung, baik mancanegara maupun lokal.

Di museum ini, pengunjung dapat melihat benda-benda seperti sakapeti atau topi perang peninggalan Portugis di Minahasa, kabela atau tempat sirih pinang dari daerah Bolaang Mongondow, klarinet (alat musik tradisional yang dimainkan berkelompok asal Minahasa), dan masih banyak lagi.

Selain itu, pengunjung dapat menyaksikan display tata pelaminan beserta pakaian yang dikenakan dalam perkawinan adat orang Minahasa. Sementara itu, koleksi numismatika berupa uang kertas Rp 10 yang digunakan pada zaman Jepang juga dapat ditemukan di museum ini. Koleksi meriam peninggalan tentara Belanda dan Portugal serta keramik-keramik khas bangsa China di lantai tiga.

Yang menarik, benda-benda seperti sero gantung atau alat penangkap ikan tradisional daerah Minahasa yang digunakan di perairan dalam juga dapat dilihat di museum ini.

Bila Anda lelah setelah berkeliling bangunan ini, di halaman museum terdapat taman dengan tempat duduk dari batu dengan pohon-pohon yang cukup rindang. Tempat ini cukup nyaman untuk bersantai dan melihat secuil keindahan Kota Manado dari atas mengingat tempatnya cukup tinggi.

Sayangnya, kebersihan museum ini harus lebih diperhatikan lagi, karena bila tidak ada kunjungan besar, beberapa koleksinya justru penuh debu. Apalagi taman di depan museum terdapat kolam ikan, tetapi sayangnya tidak dimanfaatkan secara maksimal sehingga dibiarkan begitu saja tanpa diisi air atau ikan-ikan hias.

Seribu satu barang peninggalan suku-suku Minahasa dapat ditemukan di tempat ini. Tetapi bila tak dirawat dengan baik, animo pengunjung pun tak akan meningkat seperti yang dikeluhkan pegawai museum ini.

Sumber: http://travel.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts