Omah Dhuwur, Alih Fungsi Bangunan Berumur 150 Tahun

Kotagede- Terletak di Kotagede yang merupakan pusat budaya di Yogyakarta, bangunan berusia 150 tahun ini kini memiliki fungsi yang baru.

Nama Omah Dhuwur—yang khas daerah Yogyakarta—dipilih karena bagunan ini secara geografis ada pada tanah yang lebih tinggi dari bangunan lainnya di sekitarnya. Setelah mengalami renovasi, bangunan yang awalnya berfungsi sebagai rumah tinggal ini, pada bulan April 2002 resmi menjadi sebuah restoran.

Omah Dhuwur yang terletak pada tanah seluas kurang lebih 3.800 m2 dan luas bangunan kurang lebih 2.800 m2 ini, direnovasi oleh pengembang Maxinary Puspitakarya. Mengenai siapakah sebenarnya arsitek yang merancangnya, sayangnya sampai saat ini masih belum diketahui, dan masih diusut oleh Yayasan Kantil, yayasan yang menangani seluk beluk Kotagede.

Banyak legenda dan mitos yang mengelilingi Omah Dhuwur, dari pemiliknya hingga asal muasal bangunan ini. Setiap orang yang memasuki bangunan ini akan langsung dapat melihat kekhasan karya yang sudah berdiri selama 150 tahun. Meski sekarang sudah dibuat menjadi lebih modern, tapi perubahan ini tidak terlalu signifikan, sehingga tidak merusak arsitektur awal bangunan ini.

Tentang Kotagede
Kotagede, terpisah dari pusat kota Yogyakarta, merupakan sebuah daerah yang begitu mengundang untuk didatangi. Menyusuri jalan-jalan sempit di Kotagede, akan membawa pikiran kita ke kebudayaan Mataram Kuno, sekitar abad 16 Masehi, saat Panembahan Senopati berkuasa. Kotagede memulai sejarahnya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, kehidupan masyarakatnya begitu religius dan majemuk, melalui pemerintahan Sultan Agung dan berakhir di masa kolonialisme Belanda.

Masyarakat yang tinggal di Kotagede pada jaman dahulu adalah perpaduan antara pedagang serta pengrajin perak dan batik. Karena banyaknya pengrajin perak yang ada, maka sampai sekarang Kotagede juga dikenal sebagai pusat kerajinan perak. Akses utama untuk menuju pusat Kotagede adalah jalan yang melintang dari sebelah barat sungai Gadjah Wong (sekarang jalan Tegal Gendu) hingga ke arah timur, dan pasar (sekarang jalan Mondorakan). Jalan utama ini dari jaman dahulu saat pusat pemerintahan Mataram Kuno masih di daerah kampung Ndalem, sampai sekarang.

Bentuk bangunan pada Kotagede, agak sedikit berbeda pada rumah tradisional Jawa pada umumnya. Bentuk rumah yang besar-besar, dengan pagar tembok yang mengelilinginya, mengingatka kita pada bentuk pertahanan Kerajaan Mataram jaman dulu.

Asal Muasal Omah Dhuwur
Seperti tempat bersejarah lainnya, Kotagede juga mempunyai kisah tersendiri, yang turun temurun diceritakan. Contohnya, kisah tentang Rumah Kantil, yaitu rumah yang dipercaya mempunyai kekuatan mistis yang sampai sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat Kotagede. Kemudian, ada Watu Gatheng, yaitu batu seukuran tiga kepalan tangan orang dewasa yang dipercaya merupakan mainan Ki Ageng Mangir, keponakan Pangeran Senopati yang sekaligus menjadi musuhnya.

Dari semuanya itu, ada legenda yang hingga saat ini dianggap paling terkenal, yakni legenda mengenai Orang Kalang. Menurut berbagai sumber, Orang Kalang adalah bekas pasukan Sultan Agung yang mengalami kekalahan ketika mereka menyerbu Bali, sekitar tahun 1800-an, untuk memperluas daerah kekuasaan.

Oleh karena kebiasaan hidup Orang Kalang yang berpindah-pindah dan mencoba untuk mandiri, Sultan Agung akhirnya memberikan kebebasan bagi mereka untuk menempati daerah barat Kotagede (sekarang jalan Tegal Gendu dan Mondoraka). Dan di masa kolonial, karena kepiawaian mereka dalam berdagang, membuat pemerintah Belanda memberikan wewenang untuk memonopoli perdagangan perhiasan.

Orang Kalang menunjukkan keberadaan mereka pada masyarakat Yogya dengan membangun rumah yang berbeda sama sekali dengan bangunan Jawa pada umumnya. Bentuknya biasanya tinggi bertembok sangat tebal, dan dihiasi kaca-kaca Art Deco. Bangunan semacam ini masih bisa ditemui di Yogya sampai saat ini.

Di antara rumah-rumah Kalang tersebut, ada satu rumah yang paling besar, milik Pak Tembong, seorang saudagar yang sangat kaya. Rumah megah ini berdiri tepat di pintu masuk Kotagede. Sejak dihuni oleh keluarga Pak Tembong, fungsi rumah ini sering berubah-ubah, sempat digunakan sebagai pabrik tenun, hingga sekarang ini menjadi sebuah restoran. Rumah yang seakan menjadi pajangan mewah di pintu masuk Kotagede ini sekarang dikenal dengan nama Omah Dhuwur.

Konsep Desain Omah Dhuwur
Restoran yang menempati bangunan berumur 150 tahun ini dimiliki oleh Pak Gani, yang juga adalah pemilik HS Silver. Dia adalah salah satu orang yang sangat paham dan paling menguasai bangunan ini. Berdirinya Omah Dhuwur ini sebenarnya bermula dari alasan perdagangan, yaitu untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi pengunjung HS Silver. Namun ternyata desain bangunan tua ini juga sangat cocok untuk dijadikan sebuah restoran yang bernuansa alam.

Kekhasan Omah Dhuwur tidak hanya terletak pada menu makanannya saja, melainkan juga terletak pada sebuah galeri yang terdapat di dalamnya. Galeri ini memajang beberapa artefak dan kerajinan perak.

Konsep desain bangunan ini adalah perpaduan antara beberapa gaya internasional dan tradisional jawa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari Red Bar, sebuah bar bernuansa merah dengan gaya Jepang, sebuah teras yang bernuansa western, dan gasebo-gasebo yang dibuat dengan nuansa Cina. Sedangkan arsitektur Jawa diperlihatkan pada sebuah pendopo yang bernuansa Jawa kuno.

Beberapa Bagian Bangunan
Ruangan-ruangan restoran ini bisa dikatakan khas dan multifungsi. Resto terdiri dari tiga ruang makan yang multifungsi, biasa digunakan untuk jamuan makan khusus, jamuan makan biasa, dan meeting room. Selain itu ada sebuah bar dan teras—juga multifungsi—yang bisa dipergunakan untuk perayaan ulang tahun, atau rapat. Ada lagi galeri-galeri yang dipakai untuk pameran. Gasebo yang ada disediakan untuk candle light dinner, sedangkan pendoponya biasa dipakai untuk pesta. (lia/www.tabloidrumah.com)

Sumber: www.kompas.com (25 September 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts