Khawatir Visit Indonesia Year Jadi Finish Indonesia Year 2008

Jakarta - Setiap hari kita melihat baliho super jumbo berdiri tegak di depan Bundaran Hotel Indonesia yang sedang direnovasi lengkap dengan foto Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Gubernur DKI Jakarta serta tentu saja Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata yang memuat pesan untuk kita semua bahwa tahun ini kita mempunyai program besar yang bernama: Visit Indonesia Year 2008 (VIY). Sebuah event yang maha penting di sektor pariwisata.

Melalui program VIY 2008 diharapkan sektor pariwisata akan meningkat cukup signifikan, sehingga diharapkan bisa menambah kocek negara yang bernama devisa. Benarkah?

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah wisatawan asing yang merapat atau mengunjungi Indonesia per Desember 2007 berjumlah kurang lebih 5,5 juta orang atau naik sekitar 30,02% dibanding dengan tahun 2006 yang berjumlah 4,87 juta orang.

Masih menurut BPS, jumlah devisa yang diterima negara dari wisatawan asing berjumlah sekitar 5,3 miliar dollar Amerika atau sekitar Rp 48 triliun. Ini meningkat dibanding dengan penerimaan tahun 2006 yang berjumlah sekitar 4,4 miliar dollar Amerika atau sekitar Rp 39,8 triliun. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit dan semua berharap agar jumlah ini meningkat hingga 7 juta orang di tahun 2008 dengan adanya program VIY 2008. Mungkinkah?

Secara pribadi, saya khawatir bahwa angka 7 juta akan tercapai, mengingat kondisi infrastruktur di Indonesia belum tampak membaik. Bahkan di awal tahun hingga hari ini sepertinya bencana tak kunjung habis, seperti banjir, cuaca buruk hampir di semua perairan Indonesia.

Belum lagi awal Februari 2008 ini muncul kejadian sangat buruk menimpa Indonesia, yaitu akses ke Ibu Kota negara lumpuh selama 3 hari karena akses jalan dari dan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta banjir. Belum lagi buruknya pelayanan maskapai penerbangan dan terbatasnya kemampuan daya tampung Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Sudah Tepatkah Pelaksanaan VIY 2008?
Berkaitan dengan semangat meningkatkan jumlah wisatawan asing datang ke Indonesia, pada tanggal 26 Desember 2008, Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, menetapkan program VIY 2008. Saya terkejut dan saya pikir banyak orang pun akan terkejut.

Tepatkah program ini dicanangkan sekarang? Adakah kajian atau studi yang melatarbelakangi bahwa VIY harus dilaksanakan pada tahun 2008 ini? Atau ada desakan politik kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata? Atau hanya ikut-ikutan negara tetangga Malaysia?

Beberapa pertanyaan ini muncul di benak saya sesaat setelah hampir 2 bulan ini mengamati jalannya VIY 2008 dan berdiskusi beberapa kali dengan banyak pihak termasuk pejabat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).

Saya sempat bertanya tentang latar belakang studi yang dipakai sebagai dasar diputuskannya VIY 2008 dan seperti yang saya sudah duga, ternyata Depbudpar memang tidak mempunyai dasar ilmiah yang mendasari dilaksanakannya program VIY. Artinya Depbudpar belum siap.

Pejabat tersebut bahkan mengatakan pada saya bahwa Menteri Budpar mencanangkan program ini karena didesak oleh DPR-RI kala Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X beberapa waktu lalu.

Namun ketika saya tanyakan langsung kepada beberapa teman yang kebetulan menjadi anggota Komisi X DPR-RI, mereka menyangkalnya. Mereka bilang itu ide Menteri Budpar sendiri. Teman itu bahkan mengatakan bahwa Komisi X juga sudah menanyakan kepada Menbudpar agar pelaksanaan VIY 2008 ini diundur saja jika Pemerintah belum siap.

Ketidaksiapan ini menyedihkan karena Pemerintah tidak pernah mau belajar dari kesalahan di masa lalu. Sulit bisa saya terima dengan akal sehat kalau sebuah kebijakan publik terkait dengan program nasional diputuskan oleh Menteri teknis mungkin sambil “ngopi” atau baca koran atau melamun. Bagaimana VIY 2008 bisa diumumkan resmi dimuka publik tanpa kesiapan yang matang?

Ketika saya bertanya lagi pada salah satu pejabat Depbudpar: “Apakah Depbudpar mempunyai data tentang keunggulan lokasi wisata di Malaysia, Thailand dan Vietnam-Kamboja-Laos sehingga bisa kita gunakan sebagai pembanding jika unggulan yang ditawarkan sama? Apakah ada daerah pariwisata khusus yang ditawarkan dalam VIY 2008, kalau ada di mana saja?”

Mau tahu apa jawaban beliau? Tidak ada studi khusus dan daerah khusus yang dipromosikan. Sama seperti kalau tidak ada VIY 2008. Bukan main dah!

Seharusnya Depbudpar mempunyai data: Apa kelebihan Mu Ko Hong yang berlaut bening dan indah (sebagai bagian dari Taman Nasional Bokkhorani) di Provinsi Krabi, Thailand dibanding dengan Taman Nasional Bunaken atau sebaliknya? Apa kelebihan Teluk Tomini dibanding dengan Halong Bay di Vietnam? Atau apa kelebihan Taman Mini Indonesia Indah, di Timur Jakarta dengan Taman Mini Malaysia di Ayer Keroh, Melaka? Dan lain sebagainya.

Jika data-data ini kita punyai, maka dengan mudah kita dapat merencanakan daerah mana yang akan kita jual dalam rangka VIY 2008. Tanpa data tersebut, sama artinya kita berjalan di tengah kegelapan. Betapa bodohnya kita. Pantas tertinggal terus.

Mendapatkan data-data tersebut sangatlah mudah, hanya buka mesin pencari Google di internet dan booom! Dapat semua data yang kita cari dan buat matriksnya sehingga keputusan yang diambil ada latar belakang ilmiahnya. Tidak perlu menghabiskan waktu studi banding atau studi piknik yang menghabiskan uang rakyat di APBN dan uang swasta yang diajak serta (karena harus menanggung biaya petinggi negara yang studi banding, meskipun para petinggi tersebut sudah dibiayai APBN).

Itu masalah studi yang seharusnya dipunyai oleh Pemerintah sebelum memutuskan pelaksanaan VIY 2008. Lalu bagaimana dengan informasi yang bisa diperoleh para calon pelancong tentang VIY 2008? Masya Allah, sangat minim dan hampir tidak ada bedanya dengan sebelum dicanangkannya VIY 2008.

Coba pembaca buka website Depbudpar atau cari VIY 2008. Bandingkan dengan website Visit Malaysia Year 2007 atau website Department of Tourism Thailand atau bahkan Department of Tourismnya Vietnam. Beda banget!

Di website Depbudpar, sangat “garing” dan sangat tidak menarik untuk dibuka oleh calon pelancong atau turis mancanegara. Tidak ada informasi yang jelas apa yang mau kita jual kecuali akan ada 100 event yang tidak jelas di mana dan rasanya tanpa VIY 2008 pun event tersebut sudah ada. Jadi apa dong yang akan dijual oleh Indonesia dalam VIY 2008? Gelap karena tidak jelas. Artinya kita tidak siap membuat VIY 2008.

Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Dari beberapa diskusi saya dengan berbagai pihak, patut diduga pembuatan logo VIY 2008 dan lain-lain sudah menghabiskan dana sebesar Rp 20 miliar dari anggaran yang diberikan oleh APBN sebesar Rp 150 miliar.

Sudah hampir 2 bulan berjalan tetapi tidak tampak promosi yang jelas, baik di media cetak maupun media elektronik kecuali logo VIY 2008 di badan pesawat Garuda Indonesia, tetapi tidak di inflight infotainment yang ada di kabin pesawat serta baliho besar di bundaran HI.

Saya sempat berkunjung ke KBRI di Washington DC pertengahan Januari 2008 lalu, tidak tampak ada brosur atau informasi mengenai VIY 2008 dan pasti begitu pula dengan KBRI-KBRI lain di penjuru dunia. Staf KBRI pun minim info tentang VIY 2008.

Jadi sebaiknya Presiden SBY bisa menegur atau menanyakan perihal implementasi VIY 2008 ini kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Sebagai publik saya cenderung minta kepada Pemerintah untuk menghentikan VIY 2008 dan mengkaji ulang VIY dengan lebih baik.

Jangan hanya ikut-ikutan namun tanpa konsep dan perencanaan yang jelas. Kalau tidak dihentikan saya khawatir Visit Indonesia Year 2008 akan menjadi Finish Indonesia Year 2008.

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)

Sumber: Detik.com (1 Maret 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts