Pameran Indonesia di Eropa Tengah dan Timur (IE CEE) di Warsawa 7-10 Mei 2008

Ogan Komering Ilir - Perkembangan kebudayaan Sumatera Selatan tak lepas dari pengaruh China di masa lampau, mulai dari bangunan, ukir-ukiran, kesenian, hingga makanan. Namun, saat ini serbuan produk China yang masuk ke Indonesia hingga pelosok desa justru menyebabkan kepunahan perahu kajang Kayu Agung, salah satu perahu kuno di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Perahu kajang biasanya dipakai sebagai alat transportasi untuk menjual kerajinan tembikar buatan warga Kayu Agung ke daerah-daerah lainnya di sepanjang Sungai Komering yang merupakan sungai besar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Perahu yang memiliki panjang delapan meter dan lebar dua meter tersebut kini tak pernah terlihat karena bisnis tembikar gulung tikar akibat munculnya produk China yang jauh lebih bagus dengan harga relatif terjangkau.

Satu kekhasan perahu yang diperkirakan berasal dari masa kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII masehi) tersebut adalah bagian atap yang terbuat dari daun nipah. Atap terdiri dari tiga bagian bersusun, bagian depan disebut kajang tarik, tengah disebut kajang tetap, dan belakang disebut tunjang karang. Dari namanya dapat ditebak bahwa bagian tengah dipasang permanen, sedangkan bagian depan dapat disorong sehingga pada saat hujan atau istirahat di siang hari akan melindungi penumpang dari terik matahari.

Perahu ini juga memiliki ciri khas pada buritan bagian depan karena terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut ”selungku”. Bagian ini mungkin untuk meredam guncangan saat perahu menabrak sesuatu.

Bahan yang biasa digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah jenis kayu rengas yang tidak ditemukan lagi di wilayah Kayu Agung. Namun, kepunahan kayu tersebut bukan penyebab perahu kajang punah karena bisa saja diganti bahan lain yang tak kalah kuat.

Manusia perahu
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti bahkan mengatakan, para pemilik perahu kajang disebut sebagai manusia perahu. Itu karena mereka lebih banyak berada di atas perahu untuk berdagang ketimbang hidup di darat.

”Mereka merupakan pedagang tembikar buatan warga setempat yang dipasarkan ke luar daerah, bahkan ke Palembang melalui Sungai Musi. Kadang kala, tembikar ditukar dengan beras atau barang kebutuhan warga desa penghasil tembikar,” ujar Rangkuti.

Namun, berjalan dengan perkembangan zaman, produk tembikar mulai kehilangan peminat karena muncul produk pabrik yang lebih menarik dengan harga bersaing. Meredupnya pasar usaha tembikar diikuti oleh lesunya pemasaran produk tersebut yang berbuntut punahnya perahu kajang.

Perahu kajang diperkirakan masih marak digunakan sampai tahun 1980-an. Satu per satu perahu kajang yang bertahan hilang karena kehilangan fungsi.

Menurut Rangkuti, dalam penelusuran yang dilakukan Balai Arkeologi Palembang beberapa waktu lalu di sepanjang Sungai Komering, hanya ditemukan satu perahu kajang yang sudah dimodifikasi menjadi kapal ketek dengan mesin dan kemudi seperti setir mobil.

”Tetapi kami masih menemukan beberapa nelayan yang menyimpan bagian kapal, di antaranya dayung sepanjang tiga meter dan kemudi sepanjang dua meter. Dayung ditempatkan di bagian depan dan kemudi di bagian belakang,” ujar Rangkuti.

Nasib perahu kajang memang berbeda dengan perahu sandeq yang digunakan etnis Mandar di Sulawesi Barat. Perahu layar tradisional khas Mandar tersebut tidak hanya lincah dan tangguh mengarungi laut lepas Selat Makassar, tetapi juga mampu bertahan hingga saat ini.

Bayangkan, sandeq mampu melaju dengan kecepatan 20 knot dengan mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Nelayan yang biasa mencari telur ikan terbang itu tidak pernah repot dan ribut soal kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

Mungkin Pemerintah Kabupaten OKI ataupun Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus belajar melestarikan perahu kajang dari orang-orang Mandar. Bukan hanya karena alasan ekonomi, melainkan mungkin perahu tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

Salah satu kearifan lokal adalah perahu-perahu yang merupakan hasil karya nenek moyang tersebut tidak perlu membakar (BBM). Perahu kuno itu juga ramah lingkungan dan membantu pemerintah menekan biaya subsidi BBM.

Sumber: www.kompas.co.id (29 Februari 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts