Bahasa Indonesia, Siapa yang Seharusnya Belajar?

Oleh Wieke Gur.

Lïlïkïnsï de kara son hap de zini sa zaho ta gwibin zini in hap talusublula. Zëre mo domba zahona hen zëno ola man tame nul gwenan. Zëno mae mo bosem-sena kim gubirida gwenda, dekam zep wet noso gweblanan.

Bahasa apakah di atas? Yang pasti bukan bahasa Klingon dari film Star Trek. Tulisan di atas adalah bahasa Orya. Bahasa lokal yang digunakan oleh saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di Papua. Penggunanya hanya sekitar 2000 orang namun hingga kini bahasa tersebut masih digunakan. Juga dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke bahasa Orya.

Bahasa Orya hanyalah salah satu dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa lokal di wilayah timur Indonesia umumnya tidak berasal dari bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu sehingga jarang sekali ditemukan kata-kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Tapi untunglah ada bahasa Indonesia sehingga jika kita misalnya harus pergi ke Papua kita tidak perlu belajar bahasa Orya dulu. Dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan penduduk di Papua.

Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh pimpinan terdahulu mungkin tidak akan terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau Anda menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri mungkin baru akan terasa bahwa bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.

Dr. Tom Boellstorff , ahli anthropologi dari University Of California, Irvine, Amerika pernah melakukan penelitian tentang bahasa gay atau bahasa banci di Indonesia – bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi kaum homoseksual di Indonesia. Dalam artikelnya “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging” yang dimuat di Journal Of Linguistic Anthropology terbitan American Anthropological Association, Dr. Boellstorff menulis bahwa bahasa gay atau bahasa banci adalah salah satu bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa persatuan Indonesia dalam pembentukan bahasa gay. Kemanapun kita pergi, tidak akan ada perbedaan yang berarti antara bahasa banci yang digunakan di Jakarta, Makasar atau Bali. Yang ada hanya bahasa banci Indonesia atau bahasa gay Indonesia. Seperti ada rasa kesatuan dan nasionalisme di kalangan homoseksual di seluruh Indonesia yang terbentuk lewat bahasa. Keberadaan bahasa banci walaupun ada kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali, pada proses transformasinya selalu mengacu pada tata bahasa Indonesia. Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi dari posisi unik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang memegang peranan penting dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa banci inilah yang akhirnya menjadi bahasa gaul.

Bahasa Indonesia juga mempengaruhi pembentukan bahasa informal di Indonesia secara nasional. Seorang konsultan Amerika yang pernah selama enam belas tahun tinggal di Papua menyatakan ketakjubannya ketika mendapati bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Jakarta dan pulau Jawa ternyata tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Papua.

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Tanpa kita sadari kita telah tumbuh menjadi bangsa yang menghargai persatuan. Toleransi kita terhadap perbedaan suku, ras, agama dan bahasa daerah sangat tinggi. Tidak ada bangsa Jawa, bangsa Papua atau bangsa Bali. Yang ada satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Tahukah Anda, bahwa bahasa persatuan Indonesia yang kita anggap biasa-biasa saja ini diidamkan oleh negara tetangga? Di bawah ini adalah lontaran pemikiran yang dikutip dari www.malaysia.youthsays.com, sebuah wadah tempat generasi muda Malaysia bertukar pikiran, pendapat dan melontarkan pertanyaan,

Kenapa rakyat Malaysia tak suka berbahasa Melayu? Kita lihat ramai rakyat Malaysia yang tak suka berbahasa Melayu/Malaysia. Malahan laman web untuk generasi muda Malaysia sendiri tidak menggunakan bahasa kebangsaan atau sekurang-kurangnya dwibahasa. Sedangkan rakyat Indonesia yang berbilang bangsa membawa bahasa mereka ke serata dunia. Sila beri pendapat anda.

Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. (Data bulan Juli 2009: CIA The World Fact Book). Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Sejak bulan Maret 2009 situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.

Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?

Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga.

Pada kenyataannya bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.

Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).

Seiichi Okawa, koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun tajam. Bangkitnya perekonomian Cina dan juga tingginya pengaruh sinetron-sinetron Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan bahasa Inggris, Perancis dan bahasa lainnya.

Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007 penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen). Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Australia.

Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah Australia setelah peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.

Dr. James Sneddon, associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.

Selain itu kemahiran perdana menteri Australia, Kevin Rudd, berbahasa Mandarin kini ikut mempengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina.

Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Diglosia di dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan, kata mereka.

Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaannya di Indonesia? Ternyata meski digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Indonesia. Diantara 6 mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.

Banyak guru menyayangkan bahwa selama ini pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah hanya menjadi semacam syarat. Murid tidak memahami secara mendalam tentang tata cara dalam berbahasa yang sesungguhnya. Padahal bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak dilatih dan dibina secara serius. Idealnya para siswa harus dibiasakan membaca koran, karya-karya sastra, menulis esei dan menganalisa tulisan serta menonton siaran berita televisi.

Namun hal ini juga belum tentu menyelesaikan persoalan. Karena saat ini tidak semua media memiliki acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah sehingga terjadi ketidakseragaman istilah yang pada gilirannya merusak bahasa Indonesia dan membingungkan penuturnya.

Pemerintah Daerah pun umumnya kurang perduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Ketidaktertiban dalam berbahasa banyak sekali ditemukan di ruang publik.

Ketika presiden Amerika Barack Obama mengunjungi Departemen Luar Negeri AS pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam bahasa Indonesia, peristiwa itu diberitakan ramai – ramai di Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang presiden Amerika bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Walaupun yang diucapkannya hanya “Terima kasih. Apa kabar?”.

Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang

Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting bahasa Indonesia. Sebaliknya kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.

Dr. Anton M. Moelyono pernah berkata:. “Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa”

Jadi sebetulnya siapakah yang seharusnya belajar bahasa Indonesia?

-

Arsip Blog

Recent Posts