FTZ dan Pariwisata Kepualuan Riau

Riau - Begitu Perppu No 1 tahun 2007 tentang kawasan ekonomi khusus Indonesia (KEKI) atau special economic zone (SEZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK) dan PP No.46,47 dan 48 tentang FTZ BBK dikeluarkan serta ditandatangani Presiden, semua pihak menyongsong sebuah harapan akan terbitnya terang baru di Kepri khususnya BBK, lewat kehadiran area ekonomi khusus SEZ di bumi Melayu Kepri.

Sayang, DPR sampai sekarang masih ”bergulat” dan ”menelaah” dengan begitu seksama, alasan dan argumentasi pemerintah menyetujui terbit dan keluarnya Perppu No 1 2007 tersebut. DPR merasa perlu mengundang para pakar hukum tata negara dalam rapat dengar pendapat di Senayan (5 September 2007), untuk memperoleh masukan dari pihak yang berkompeten memberikannya. Sehingga, para anggota dewan mempunyai bekal penting memutuskan apakah sang Perppu layak disetujui menjadi sebuah UU. Sesuai dengan aturan yang berlaku di bumi pertiwi, sebuah Perppu dikeluarkan pemerintah jika ada keadaan yang memaksa atau keadaan yang genting semacam force majeure.

Dewan menilai, tidak ada keadaan yang memaksa atau keadaan darurat yang memungkinkan dikeluarkan Perppu di atas. Di balik keadaan dan kondisi yang sepertinya masih belum ”pasti” itu, kehadiran Perppu KEKI ataupun PP FTZ BBK sudah menyembulkan ”sedikit” asa dan secercah harapan, serta membangkitkan kembali semangat akan hadirnya investasi modal serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di BBK yang sudah mulai ”loyo”. Walaupun memang masih membutuhkan kerja keras menjadikan BBK menjadi daerah yang ”mempesona” bagaikan magnit untuk berinvestasi.

Peraturan sebagus apapun, akan tinggal menjadi aturan semata jika tidak dibarengi kerja keras dan implementasi di lapangan lewat perencanaan dan kerjasama yang komprehensif, melibatkan semua unsur lapisan masyarakat. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, sebagai daerah yang didominasi lautan dan diperkaya khasanah budaya yang heterogen dengan budaya Melayu sebagai akarnya, maka Kepri terlebih lagi BBK adalah basisnya pengembangan pariwisata nasional. Dalam artian, hiruk-pikuk FTZ ataupun SEZ di negeri Melayu Kepri tidak boleh melupakan atau menenggelamkan bahkan menyepelekan akan arti pentingya kehadiran sektor pariwisata.

Dalam beberapa tulisan terdahulu, penulis sedikit banyak sudah memberikan gambaran akan arti penti pariwisata dalam kancah perekonomian nasional dan regional, serta sebagai penggerak utama penyediaan lapangan kerja secara luas. Di banyak negara maju (develop country), kemajuan industri dan perdagangan serta perekonomian secara luas yang terwujud dengan tingginya pendapatan perkapita penduduk, tetap dibarengi perhatian yang sangat besar kemajuan sektor pariwisata. Bahkan, tidak sedikit negara karena keterbatasan lahan dan sumber daya, akhirnya menjadikan turisme sebagai sektor utama perekonomian wilayah atau negaranya.
Perekenomian yang hanya mengandalkan satu sektor industri saja, tidak akan dapat menampung jutaan orang penduduk usia kerja sekaligus. Diperlukan ada sektor dominan kedua mengantisipasi jika terjadi kelesuan dan stagnasi ekonomi dunia. Namun, tidak sedikit juga negara berkembang (developing country) yang sekalipun memiliki kekayaan alam melimpah ruah, tapi tidak mengembangkan dunia turisme tetap menjadi negara dunia ketiga yang sangat sulit melepaskan diri dari jurang kemiskinan.

Banyak negara di Afrika memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi, gas dan mineral lainya dengan persediaan melimpah ruah, tidak dapat membangun dan merestorasi negaranya, akibat peperangan yang tak berkesudahan. Mereka lupa bahwa kekayaan alam tidak dapat diperbaharui, bahkan meraka memerangi saudara sendiri memperebutkan kekayaan yang diberikan Tuhan YME, yang sejatinya mereka pergunakan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Pariwisata jauh lebih berharga dari seberapapun kekayaan alam yang mempunyai daya tahan terbatas. Di tengah kelesuan pariwisata secara nasional, yang dipicu meledaknya bom di Pulau Dewata, membutuhkan suntikan moral memulihkannya kembali. Sama seperti layaknya BBK memerlukan FTZ untuk bisa kembali bangkit menjadi tempat yang ”menggiurkan” para pemodal untuk berinvestasi. Kepri secara khusus dan Indonesia secara umum, membutuhkan sebuah pemicu (trigger) untuk menggairahkan turisme nasional ke tingkat yang lebih baik dari sekarang.
Sudah sewajarnya ketika kita begitu bersemangat menyongsong dan menyambut sang ”tamu agung” FTZ, semangat yang sama harus kita tularkan juga untuk mengembangkan dan memajukan pariwisata Kepri. Kita bisa lihat Guangdong, Shenzhen, Zhuhai, Shantou, Xiamen dan Fujian di Tiongkok dengan perkembangan dan kemajuannya yang luar biasa oleh karena industrialisasi dan pemberlakuan SEZ, malah bisa menjadi daerah tujuan wisata andalan negeri Tiongkok untuk menjaring dolar, rupiah, yuan, yen, euro, poundsterling dari para wisatawan. Daerah-daerah di atas selain disiapkan pemerintah menjadi daerah ekonomi dan perdagangan bebas, juga disiapkan menjadi daya tarik wisata tingkat dunia.

Pada akhirnya pemerintah dan masyarakat memperoleh manfaat ganda, selain peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan kemajuan industri, daerah yang diberlakukan menjadi kawasasn ekonomi khusus atau kawasan perdagangan khusus itu juga menjadi daerah tujuan wisata utama di Tiongkok.

Begitu juga dengan Kepri khususnya daerah BBK, tidak boleh tidak harus tetap dikembangkan menjadi sentra wisata nasional, bukan sekadar ”pekerjaan” sampingan. Salah satu alasan barangkali kita belum mendapat devisa atau ”manfaat” besar dari pariwisata karena kita belum menanganinya maksimal. Jika saja semangat luar biasa yang sama-sama kita tunjukkan ketika menunggu realisasi FTZ/ SEZ kita tularkan dalam penanganan dan pengembangan pariwisata, niscaya pariwisata Kepri akan dapat menopang perekonomian kita sebagai provinsi otonom. Puluhan hotel bagus dan representatif sudah dibangun dan berdiri di Kepri, bahkan tidak sedikit hotel-resort yang dioperatori nama-nama beken ”dunia hospitality” tingkat dunia, tapi itu hanya sangat terbatas di Kota Batam dan Lagoi.

Padahal kalau mau jujur, ”nirwana-nya” pariwisata kita terletak di daerah-daerah yang belum banyak berdiri hotel-resort kelas dunia. Natuna misalnya, atau lebih khusus Kepulauan Anambas bisa jadi contoh sederhana. Kita sama-sama setuju bahwa ketika Batam masih ”hutan rimba” di tahun 1960, ketika sarana transportasi masih sulit, jangankan mencari hotel mewah penginapan sederhana yang layak-pun masih terhitung dengan jari. Ketika infrastruktur belum sehebat sekarang, Batam tak ada apa-apanya di kancah pariwisata nasional. Tapi, ketika kerja keras dipadu dengan dukungan luar biasa dari pemeritah pusat dan daerah, Batam kemudian menjadi seperti apa yang kita bisa lihat sekarang. Hotel menjamur, walaupun sarana pariwisata ”sedikit” lupa kita benahi. Banyak pengunjung yang datang ke Batam di kemudian hari hanya untuk ”sekadar” melintas atau transit, kemudian melanjutkan kunjungan wisatanya ke negara tetangga kita yang memang adalah tujuan utama mereka.

Sering kita masih ”bangga” menyebut dan mempromosikan daerah kita sebagai ”daerah” yang sangat dekat dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Kenapa kita tidak cari identitas sendiri tanpa harus menempel kedua tetangga kita? Atau barangkali kita tidak `pede` dengan keunikan dan keindahan pesona wisata kita sendiri? Menyebut mereka dalam promosi dan iklan kita, adalah promosi gratis bagi mereka? Tidak dapat dipungkiri memang, bahwa kita sangat tergantung dengan mereka. Tapi sudah selayaknya kita melepaskan diri dari bayang-bayang mereka dan menemukan jati diri daerah kita sendiri.

Sumber: batampos.co.id (23 September 2007)
-

Arsip Blog

Recent Posts