I La Galigo ke Layar Lebar

Makassar, Sulsel - Karya sastra terpanjang di dunia, I La Galigo, dimungkinkan tidak hanya terhampar di panggung teater. Epik mitos penciptaan peradaban Bugis itu direncanakan diangkat ke layar lebar. Rencana pengalihan I La Galigo dari pentas teater ke film layar lebar mencuat dalam tudang sipulung puluhan budayawan dan akademisi bertema “I La Galigo sebagai Sumber Nilai-Nilai Luhur Pembentuk Karakter Bangsa” di Gedung Iptek Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (21/4).

“I La Galigo perlu diangkat ke layar lebar agar generasi muda lebih memahami pesan yang ada dalam karya sastra terpanjang di dunia tersebut,” ungkap Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) Mukhlis Paeni dalam acara tersebut. Menurut Mukhlis, saat ini merupakan era industri kreatif, industri budaya, serta era ekonomi kreatif. Masyarakat dihadapkan dengan apa yang harus dieksploitasi. Kebudayaan harus dikelola sehingga bermanfaat dan dapat dinikmati orang banyak.

“Naskah I La Galigo yang dulu hanya bisa dibaca kalangan istana kerajaan nanti bisa dinikmati banyak orang,” katanya. Karena itu, lanjut dia, saatnya I La Galigo dihidupkan dalam wadah yang baru dan dibuat lebih komunikatif. Mukhlis menambahkan, jika I La Galigo dialihmediakan ke film layar lebar, hasilnya pasti luar biasa. Dua produser film Haris Simon dan Riza dalam kesempatan itu menyatakan akan melakukan riset I La Galigo untuk merealisasikan rencana itu.

“Masih rangkaian observasi, apakah sanggup atau tidak karena ini butuh biaya yang mahal. Kita juga masih akan melihat karakter masing-masing pemeran dalam I La Galigo. Kita tentu sangat berhati-hati, jangan sampai salah tafsir,” kata Haris Simon. Dia mengaku tertarik dengan naskah sastra berbahasa Bugis Kuno tersebut. Haris sebelumnya pernah membuat film yang bertemakan kebudayaan lokal yakni Antonio Blanco, pelukis terkenal di Bali.

Dalam kesempatan sama, peneliti dari Universitas Hasanuddin, Nurhayati Rahman mengingatkan, I La Galigo bukanlah milik etnis tertentu. Jika masyarakat Sulawesi Selatan mengklaim sebagai pemilik tunggal, hal itu justru akan menghilangkan integrasi perekat Nusantara dalam karya lisan I La Galigo.“Karya sastra ini adalah perekat semua etnis di Nusantara. Bahkan sudah menjadi warisan budaya dunia,” ungkapnya. Menurut dia, I La Galigo dipandang dalam dua perspektif, yakni sebagai karya tulis dan sebagai karya lisan.

Sebagai karya tulis karena naskah ini tertulis seperti yang disalin oleh Colliq Pujie sebanyak 12 jilid yang kini ada di Laiden, Belanda. “Itu hanya sepertiga dari seluruh naskah I La Galigo,” katanya. Pertunjukan perdana teater, tari, dan musik I La Galigo di Benteng Rotterdam, Makassar, tadi malam, tidak berlangsung sesuai skenario. Pertunjukan yang sedianya selama 2,5 jam hanya dipentaskan 40 menit atau adegan satu saja dari 10 adegan.

Sutradara Robert Wilson menghentikan pertunjukan dengan alasan latihan belum maksimal. Selain itu, tata cahaya dan suara yang menjadi kekuatan pertunjukan ini tidak bisa berfungsi maksimal. “Kami minta maaf karena tidak bisa menyelesaikan. Terima kasih atas kedatangannya,” kataWilson. Sebagian penonton tidak bisa menerima alasan penghentian itu. “Saya beli tiket Rp250.000, tapi tidak bisa menyaksikan sampai akhir pertunjukan,” ucap Suriani, guru kesenian di salah satu sekolah swasta di Makassar ini.

Inti cerita dari 12 adegan yang ditampilkan dalam pementasan I La Galigo selama tiga hari (Jumat–Minggu) menggambarkan kisah cinta terlarang tokoh utama, Sawerigading, dengan saudari kembarnya, We Tenriabeng. Pembaca naskah I La Galigo, Saidi bin Rudding, menceritakan, I La Galigo menggambarkan suatu kisah perjalanan keturunan para dewa saat menembus rangkaian tiga dunia yang mencakup dunia atas dan dunia bawah, jagat dewa, dan dunia tengah.

-

Arsip Blog

Recent Posts