Islam Dua Budaya

Peresensi: Abimardha Kurniawan*

Judul : Islam Melayu vs Jawa Islam, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara
Penulis : Dr. Maharsi Resi
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : viii + 207 halaman.

Sekilas, judul buku ini terlihat provokatif, karena seolah-olah menampilkan dua kultur yang saling berhadapan dan beroposisi, yakni Islam Melayu dan Jawa Islam, kendati ada unsur Islam pada keduanya. Memang, Islam yang berkembang di masing-masing kultur punya wajah kontras. Namun, keduanya tak saling serang laiknya dua lelaki gempal yang saling adu jotos di arena tinju. Keduanya tumbuh dalam lingkup masing-masing.

Penulis buku ini, Maharsi Resi, menjabarkan perbedaan tersebut dalam domain sastra sejarah yang dihasilkan masing-masing kultur: Melayu dengan Sejarah Melayu (SM), dan Jawa dengan Babad Tanah Jawa (BTJ). Kedua teks berasal dari masa ketika pengaruh Islam sudah mengakar hingga ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Islam punya peran sebagai pencetus lahirnya genre sastra sejarah di Nusantara, walau sebenarnya pendapat ini cukup bias.

Di Jawa, pada masa sebelum Islam berkembang sedemikian rupa, telah ada genre semacam ini. Sebutlah karya-karya seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, Kidung Sorandaka, Rangga Lawe, sekedar menyebut beberapa, punya muatan historis karena merupakan representasi simbolis kehidupan di lingkungan kraton Majapahit. Kakawin Desawarnana (Nagarakr?tagama) gubahan Prapañca, walaupun oleh pengarangnya sendiri tidak dimaksudkan sebagai karya sastra (sejarah), melaikan cuma deskripsi wilayah, oleh para sarjana yang hidup berabad-abad setelahnya dicap punya nilai sejarah yang tinggi. Juga Pararaton yang sering dijadikan rujukan untuk telaah kritis seputar sejarah kerajaan Jawa, mulai berdirinya dinasti Rajasa (Ken Angrok) hingga zaman Majapahit. Sedangkan di Melayu, sangat jarang ditemukan peninggalan pra-Islam semacam itu, meski jejaknya bisa ditemukan dalam teks-teks yang dihasilkan dan berkembang di masa Islam.

Pedekatan yang dilakukan penulis terhadap karya sastra sejarah sebenarnya bukan pendekatan baru. Ada indikasi, asumsi penulis telah terarahkan untuk menganggap karya sastra sejarah sebagai mitos. Ini juga berkaitan dengan latar belakang penulis sebagai sarjana sastra. SM dan BJT didekati sebagai karya sastra, bukan karya sejarah. Sikap semacam ini juga jadi prasaran A. Teeuw kepada para sejarawan ketika menghadapi karya historiografi tradisonal.

Teori mitos Levi-Strauss diterapkan dalam telaahnya. Kedua teks dianalisis untuk menguak makna cerita mitos dalam kaitannya dengan kultur masyarakat yang melahirkannya. Teori mitos Levi-Strauss tidak dimanfaatkan secara utuh di sini, terutama ketika menyangkut pemaknaan mitos oleh masyarakat pendukung. Bagi Levi-Strauss, mitos tidak punya makna tertentu, kecuali ditempatkan pada hubungan dengan mitos lain yang tidak harus berasal dari kultur yang sama.

Dalam hal tersebut, penulis kurang sependapat dengan Levi-Strauss dan condong kepada keyakinan Rassers, antropolog Belanda yang pernah menelaah cerita-cerita Pañji, dan lantas menghasilkan disertasi yang berjudul Het Pañji Romanche, bahwa ada kesatuan yang fundamental antara mitos dengan struktur masyarakat pendukungnya. Mitos lahir dan dimaknai secara eksklusif oleh suatu masyarakat. Mitos merupakan bentuk komunikasi yang melibatkan kode-kode tertentu yang (setidaknya) harus dipahami pihak penyampai dan penerima. Selain itu, penulis juga memanfaatkan pedekatan semiotik untuk membongkar simbol-simbol yang beroperasi secara signifikan di dalam teks.

***

Mula-mula, sinopsis SM dan BTJ dijabarkan, dan ini menghabiskan hampir separuh isi buku. Lantas, unit-unit naratif masing-masing teks dibedah dengan mengambil fokus pada identitas tokoh, pengalaman hidup tokoh, dan akhir riwayat hidup tokoh. Dengan begitu, pola pikir kolektif di masing-masing kultur yang terepresentasikan lewat teks bisa diungkap.

Penulis beranggapan bahwa pengalaman hidup tokoh dalam teks SM berlangsung dinamis, melalui beberapa tahapan: (1) mitos lokal Melayu, (2) mitos Islam, dan (3) Islam rasional. Selain menunjukkan dinamika berpikir masyarakat melayu pada masa itu, tahapan ini juga merupakan bentuk penyempurnaan dakwah Islam. Islam tidak hanya menjadi legitimasi kuasa raja, namun telah menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan riil untuk mencapai kesempurnaan (hal.117). Sedangkan dalam BTJ, seorang tokoh bisa mengalami pergeseran derajat kehidupan yang melibatkan nafsu-nafsu dasar manusia. Seorang Raja Jawa yang telah memiliki kedudukan kosmologis tertinggi, bisa tergelincir oleh goda nafsu dan jatuh pada kenistaan. Ia akan kembali memperoleh derajatnya apabila ia bertobat dan berbuat darma (hal.148).

Variabel pembeda lain yang disoroti penulis adalah sistem penanggalan yang diterapkan pada masing-masing teks. Teks SM mencantumkan tanggal penulisannya, yakni hari Kamis, 12 Rabiulawwal 1021 H. Penggunaan sistem penanggalan ini dibaca penulis sebagai penanda bahwa kultur Melayu mengalami islamisasi hampir menyeluruh. Sementara di Jawa? Tarikh Jawa, sebagaimana yang dipakai dalam BTJ, terbentuk secara hibrida dengan menggabungkan tarikh Hijirah dan Saka. Sistem penanggalan semcam ini dicetuskan Sultan Agung tatkala menduduki tahta tertinggi Mataram Islam. Penanggalan ini dimulai pada 1554 Saka (1666 Masehi), dengan sistem perhitungan Hijriah.

Selain itu, Sultan Agung ingin mendirikan supremasi posisi raja yang bertuah dan punya kuasa politis mutlak. Ia memupuskan peran Sunan Giri (sebagai representasi Islam) dalam tradisi pentahbisan raja Jawa. Sultan Agung tak butuh itu. Baginya, seorang raja adalah penguasa tertinggi bidang politik dan agama, sebagaimana yang juga tercermin dalam gelar raja Jawa—Senapati ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatulah. Secara sosio-politik-kultural, sikap Sultan Agung ini juga merupakan bentuk upaya revivalisasi budaya Jawa di lingkungan Mataram Islam. Fakta-fakta tersebut mempertegas pendapat bahwa yang terjadi di Jawa bukan “Islamisasi-Jawa”, melainkan “Jawanisasi-Islam”, berbeda dengan Melayu.

Setidaknya, fenomena ini merepresentasikan pola pikir dan sikap budaya Jawa dalam menerima pengaruh dari luar. Atau meminjam ungkapan C.C. Berg: orang Jawa adalah muslim berdasarkan sahadatnya, namun secara tidak resmi mereka menyebut agamanya sebagai agama Jawa. Itulah, Jawa cenderung mempertahankan identitas, kendati kerap “berganti baju” mengikuti alur zaman yang berubah-ubah.

Dalam simpulannya, penulis menambahkan catatan akhir yang mewakili sikap dan posisi buku ini dalam mata rantai teori tentang kedatangan Islam di Nusantara. Setelah bertungkuslumus menguliti rangkaian simbolisasi mitos dalam teks, dan ini memang cukup melelahkan pembaca karena cenderung berbelit dan berulang, penulis menyimpulkan bahwa islamisasi di Nusantara digerakkan para pendakwah profesional, bukan oleh para pedagang sebagaimana yang diwacanakan salah satunya oleh Van Leur.

Kendati mungkin pandangan genetik (karya sastra merupakan rekaman tata cara zamannya) begitu dominan dalam analisis dua karya ini, ada nuansa reduksionisme di sini. Antara SM dan BJT, keduanya merupakan produk istana. Narasi mitos-sejarah dalam teks melibatkan tokoh-tokoh dari kelas sosial yang berkutat di lingkungan istana. Agak janggal bila dikatakan bahwa sistem simbol dalam SM maupun BTJ mewakili pandangan masyarakat Melayu maupun Jawa yang luas dan plural pada masa teks digubah. Memang, dalam perkembangannya, hegemoni istana tersebar secara sentrifugal, namun akan lebih pas bila dikatakan bahwa konstruksi pemahaman itu ada pada domain sastra istana.

Kemandirian dan resistensi kultural tentunya sangat dimungkinkan untuk muncul dari masyarakat non-istana. Sangat mungkin pula muncul karya sastra dalam genre lain, bukan sastra sejarah atau babad, yang merepresentasikan sikap mandiri dan (mungkin) resisten itu. Untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang pola pikir Jawa di zaman Islam karya-karya non-istana dari genre apapun juga perlu dipertimbangkan, meski karya-karya semacam SM dan BJT (terlanjur) menjadi kanon di masyarakatnya. Agaknya ini menjadi tugas para sarjana di masa mendatang, sehingga tabir misteri yang membungkus proses islamisasi Nusantara sedikit demi sedikit bisa nganga tersibak seiring ditemukannya data-data baru mengenai hal itu. (*)

* Abimardha Kurniawan, penikmat buku, tinggal di Yogyakarta.

-

Arsip Blog

Recent Posts