Jejak Pudar di Goa Tengkorak

Oleh Mohamad Final Daeng

Bumi Nusantara menyimpan demikian besar kekayaan arkeologis peradaban manusia dari masa ke masa, dari kedalaman lautan hingga pegunungan tinggi, di atas tanah maupun terkubur di perut bumi.

Peninggalan-peninggalan itu seakan menjadi kapsul waktu yang menyedot kita ke masa silam. Ia mengekalkan secuil kisah tentang mereka yang hidup jauh sebelum kita. Ia seolah menjadi batang agar pucuk pohon tertinggi tetap bisa memahami akarnya.

Jejak masa lalu itu pula yang banyak terhampar di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Salah satunya di situs goa prasejarah Wawontoaho di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Namun, masyarakat luar lebih mengenal situs itu dengan nama Goa Tengkorak.

Bukan tanpa alasan penyebutan nama angker itu. Di situs yang terletak di perbukitan karst tersebut banyak ditemukan tengkorak manusia. Nenek moyang suku Culambacu, salah satu suku asli Sultra yang sejak ribuan tahun lalu mendiami wilayah tersebut, memiliki tradisi penguburan jenazah di goa-goa, termasuk di Wawontoaho.

Situs Goa Tengkorak terletak 196 kilometer (km) dari Kota Kendari, ibu kota Sultra. Perbukitan Wawontoaho dilintasi Jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sultra dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Bukit itu dikepung perkebunan sawit warga dan PTPN XIV.

Kompas berkesempatan mengunjungi dua goa di Wawontoaho, Sabtu (12/3). Sebenarnya, dari penuturan Hasan Ilyas (17), pemandu yang juga warga setempat, terdapat setidaknya sepuluh mulut goa di Wawontoaho yang menyimpan peninggalan arkeologis.

Namun, tidak semuanya mudah diakses karena medan yang berat dan harus dibekali peralatan yang memadai. Sebagian goa-goa itu juga terhubung antara satu dengan yang lain melalui terowongan maupun celah-celah sempit dan gelap.

Salah satu goa yang didatangi berada pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Untuk mencapai goa itu diperlukan usaha ekstra dan kehati-hatian karena harus memanjat tebing tegak berbatu cadas.

Penjarahan
Dari penuturan Hasan yang diperolehnya dari cerita turun- temurun, awalnya goa itu dihuni manusia purba yang bertinggi 3 meter. Di goa berukuran sekitar 5 meter x 7 meter dengan tinggi lebih dari 4 meter itu masih bisa ditemukan dua tengkorak utuh dan tulang-belulang.

Belum diketahui pasti usia tengkorak dan tulang-belulang itu, tetapi diyakini sebagai jenazah suku Culambacu yang dikubur di sana ratusan atau ribuan tahun silam. Terdapat pula pecahan gerabah, guci, mangkuk, keramik berukir, lesung kayu, dan kaki patung.

”Waktu saya pertama kali masuk ke goa ini pada 2002, masih ada ratusan tengkorak dan banyak guci yang masih utuh. Sekarang tengkorak sudah banyak yang rusak dan guci-guci juga banyak yang hilang. Tinggal tersisa pecahan-pecahan ini,” kata Hasan.

Hal itu dibenarkan tetua adat Culambacu, Laende (72). Bahkan, ia menambahkan, dulu pernah ada warga yang menemukan tengkorak manusia seukuran baskom dan tulang betis sepanjang 1 meter di goa tersebut. Entah di mana kini temuan itu.

Laende mengatakan, penjarahan goa-goa marak dilakukan warga sekitar dan warga luar sekitar tahun 1980.

”Banyak yang ambil barang-barang di goa untuk dijual,” katanya. Selain barang pecah belah, Laende mengatakan, dulunya juga banyak perhiasan, keris, atau senjata tradisional berbahan logam lainnya di goa-goa itu. Kini, kedua jenis barang itu tak tersisa lagi.

Kaya purbakala
Laende menceritakan, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Culambacu memiliki tradisi menguburkan jenazah di goa-goa. Warga yang meninggal dibawa ke goa dan diletakkan di sana dalam sebuah lesung kayu berbentuk seperti sampan. Berbagai barang seperti guci, keramik, perhiasan, dan senjata tradisional juga disertakan sebagai bekal kubur.

Selain sebagai tempat penguburan, karena letaknya yang tinggi, perbukitan Wawontoaho pernah juga menjadi pos pengawasan pada zaman kerajaan. Bahkan, dari fungsi itulah nama Wawontoaho diambil, yang berarti ”melihat dari atas” dalam bahasa setempat.

”Karena itu, saya tidak setuju dengan penamaan Goa Tengkorak karena tidak sesuai dengan sejarah. Nama goa itu Wawontoaho,” tegas Laende. Setelah Islam masuk, tradisi penguburan di goa pun ditinggalkan dan beralih ke penguburan dalam tanah seperti sekarang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Makassar dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sultra pada 2009, goa itu diperkirakan mulai digunakan sebagai tempat penguburan pada sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi hingga abad ke-15 Masehi (taksiran usia keramik termuda bermotif naga yang diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Ming di China).

Dari penelitian itu pula diyakini goa-goa tersebut sebelumnya juga pernah dijadikan permukiman manusia purba. Beberapa bukti yang menguatkan dugaan itu adalah temuan fragmen kerang, alat-alat serpih berbahan batu dan gamping, beliung yang dipoles, fragmen gerabah, dan sisa-sisa pembakaran (arang) di permukaan maupun hasil penggalian.

Kemungkinan, Goa Wawontoaho pertama kali dihuni oleh kelompok manusia yang sudah mengenal tradisi melukis di dinding goa, seperti ditemukan di Goa Asera, wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Wiwirano. Tradisi lukisan goa itu diperkirakan berasal dari masa 10.000-40.000 tahun lalu.

Minim perlindungan
Saat dihubungi beberapa waktu lalu, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar Andi Muhammad Said, yang juga membawahi wilayah Sultra, mengatakan, situs goa prasejarah di Konawe Utara itu memiliki kaitan dengan goa-goa purbakala serupa yang berada di poros Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.

”Goa-goa itu diduga menjadi peninggalan peradaban manusia pertama yang menetap di Sulawesi. Kehidupan di goa-goa mengindikasikan sejarah awal manusia pada fase ke-2 setelah fase nomaden,” ujar Andi.

Namun, goa-goa itu saat ini minim pengawasan sehingga sangat rentan terhadap perusakan dan penjarahan. Salah satu goa bahkan sudah dicemari vandalisme berupa coret-coretan iseng. Goa Tengkorak juga belum mendapat status perlindungan dari pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat.

”Padahal, goa-goa tersebut belum dieksplorasi secara mendalam dari aspek arkeologisnya. Masih banyak hal yang seharusnya bisa diungkap tentang kehidupan prasejarah di sana,” ujar staf Teknis Arkeologi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sultra, La Ode Ali Ahmadi.

Sebagai tetua adat, Laende juga menyesalkan kondisi Wawontoaho saat ini. Ia menilai, pemerintah tidak serius melestarikan peninggalan tersebut. ”Buktinya, di sekitar goa sekarang penuh perkebunan sawit. Seharusnya, sebagai tempat bersejarah, perbukitan itu dilindungi,” ujarnya.

Jejak-jejak bernilai tinggi yang belum seluruhnya diungkap itu justru kini hampir pudar. Akankah untaian panjang lorong waktu itu terputus di generasi ini?

Sumber: kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts