Kegalauan Identitas Pasca-Orde Baru

Oleh Dyah Sulistyorini

Proses dan teknologi juridifikasi dalam berbagai ruang dan tingkatan adalah tema sentral yang ingin diangkat dalam buku Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru."

Buku setebal 222 halaman yang ditulis oleh sembilan peneliti dalam dan luar negeri untuk kasus di Minangkabau, Bali, Papua, Lombok, Ambon, Minahasa itu adalah hasil kerjasama Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI), Max Planck Institut for Social Anthropology dan Penerbit Grasindo.

Para peneliti mencatat ada dua ruang juridifikasi yang menjadi penting pasca-Orde Baru yakni ruang politik identitas terkait identifikasi kelompok etnisitas dan ruang politik agama dimana proses juridifikasi terkait dinamika identifikasi kelompok agama.

Tampaknya revitalisasi terhadap Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika mendesak dilakukan melihat beberapa hasil studi menunjukkan peningkatan identitas kesukuan yang cenderung melakukan etno-nasionalism, seperti misalnya penguatan identitas ke-Kristenan yang terlihat pada rencana mengeluarkan Perda yang menetapkan Manokwari, Papua Barat sebagai Kota Injil (halaman-81) juga di Minahasa (halaman 159). Selain itu juga ada kasus pertarungan di antara dua kelompok etnis Sasak dan etnis Bima yang meningkat di musim-musim Pilkada (halaman 103), bahkan sentimen etnis dapat tumpang tindih dengan semangat keagamaan, seperti muncul di Bali dalam bentuk keinginan kuat membentuk pengadilan adat-agama Hindu (hal 59).

Gagasan revitalisasi ini sesuai dengan paparan Profesor Azyumardi Azra, Mantan Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah yang menjadi pembicara kunci bedah buku di Gedung Widyagraha LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta pertengahan Maret lalu.

"Membaca buku ini saya turut galau," ujarnya, namun dia memaparkan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah disintegrasi karena galaunya identitas adalah dengan merevitalisasi pemaknaan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Menurut Azyumardi ada yang mengatakan Indonesia hampir pasti mendekati indikator negara gagal, negara yang tidak mampu menegakkan hukum selain tidak berhasil membuat warganya sejahtera.

"Indonesia ada di lampu kuning, ambang Pakistanisasi atau sektarianisme, kita di tengah kegalauan identitas, nah harusnya pemerintah dengan pemimpin agama saling bahu membahu," ujarnya.

Data dari Wikipedia menunjukkan tentang Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) yang dikeluarkan oleh Majalah Foreign Policy bekerja sama dengan yayasan Fund for Peace dan menempatkan Indonesia dengan indeks kumulatif 83,1, atau berada di "bibir jurang" menuju negara gagal.

Data itu menunjukkan dari 177 negara, Indonesia menempati peringkat ke-61 atau turun satu tingkat dari tahun sebelumnya (2009) di mana Indonesia berada pada peringkat 62 dengan indeks kumulatif 84,1.

Meskipun tidak termasuk kategori "in danger" (gawat), namun Indonesia berada pada zona yang "tidak aman". Indonesia dinilai masih berpotensi menjadi negara gagal, terutama dalam enam aspek: arah pembangunan, aparat keamanan, hijrah manusia, tekanan jumlah penduduk, perseteruan elite dan kewibawaan negara.

"Oleh karenanya Pancasila tetap relevan," kata peraih anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat dan peraih gelar "Commander of the Order of British Empire (CBE)" dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban.

Pandangan multikultural secara substantif bukanlah hal baru bagi Indonesia. Prinsip negara "Bhineka Tunggal Ika" mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multi-kultural namun tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan, yang menjadi dasar bagi wawaan kebangsaan danintegrasi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Azas ke-Bhineka Tunggal Ika-an bermuara pada penyelesaian berbagai perbedaan melalui kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi.

Dia menambahkan bahwa keragaman tidak diinterpretasikan secara tunggal. Komitmen untuk mengakui keragaman tidak berarti mencabut identitas, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab juga terdapat berbagai simbol, nilai struktur dan lembaga yang mengikat keragaman tadi.

"Lembaga-lembaga, struktur bahkan pola tingkah laku (patterns of behaviour) tersebut memiliki fokus tertentu terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan," katanya.

Diskusi juga dihadiri oleh dua orang editornya yakni Dr. Martin Ramstedt, peneliti senior Max Planck Institut for Social Anthropology di Halle/Saale, Jerman dan Dr. Fadjar Ibnu Thufail, antropolog dan peneliti senior di Research Center for Regional Resources Indonesian Institute of Sciences (P2SDR - LIPI).

"Buku ini adalah Hasil penelitian Max Planck Institut, lembaga penelitian Jerman yang memiliki kepedulian terhadap disiplin ilmu Sosial Anthropology dengan teman-teman LIPI lalu dirangkum dan diterbitkan dalam beberapa seri," kata Fadjar Thufail.

Peraih gelar Ph.D dari University of Wisconsin-Madison AS tahun 2007 itu juga menambahkan bahwa karya ini adalah tindak lanjut dari sebuah seminar di Lembang, Bandung dua tahu lalu yang diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia, nanti juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Sementara Martin mengatakan "Indonesia adalah laboratorium kemajemukan itu sendiri, ada masalah-masalah desentralisasi, ada studi tentang bagaimana hukum dipermainkan untuk membentengi identitas, jadi hukum adalah alat untuk membentengi idenditas."

Sedangkan Dr. Ignas Kleden yang menjadi pembicara mengatakan bahwa fokus dari buku ini adalah masalah juridifikasi, bukan pada kegalauan itu sendiri. Juridifikasi adalah strategi yang rasional untuk dapat menjamin kepentingan-kepentingannya seseorang atau kelompok bisa dicapai.

"Juridifikasi sebagai sosial cosnstruction of law, identitas itu bukan menimbulkan kegalauan tetapi a very good strategy of identity yang terkait social construction of law," ujarnya.

Di akhir acara moderator bedah buku Dr. Abdul Malik Gismar mengatakan bahwa buku ini hadir ketika persoalan identitas tampaknya mengemuka di seluruh dunia. Di Indonesia, persoalan identitas tidak pernah selesai entah itu identitas keagamaan, identitas kewarganegaran dan kitalah aktor anak-anak Orde Baru yang tidak demokratis itu.

"Memang buku ini mengangkat Isue hangat, aktual dan relevan dengan konteks Indonesia dan di tengah kondisi sosial yang memang galau, ada sumbangan yang bermanaaft untuk komunitas keilmuan dan komunitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan," kata Abdul Malik Gismar.

Kalau yg disasar adalah segmen akademisi, buku ini memang pas karena penuh dengan idiom dan kosakata ilmiah dengan kalimat majemuk yang bagi orang awan terkesan berat. Namun buku ini memang pantas dibaca oleh penggiat interfaith dialog dan pemuka agama yang kritis.

-

Arsip Blog

Recent Posts