Membaca Peradaban di Bukit Kapur Bandung

Oleh: Viddy AD Daery

Beberapa tahun lalu, sekelompok teman dari Bandung memperlihatkan kepada saya foto-foto susunan batu-batu megalit atau menhir yang amat tersusun rapi, berjumlah banyak dan menggetarkan. Untuk menyusunnya, mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun, mungkin malah puluhan tahun.

Situs susunan batu megalit itu terancam hancur, karena terletak di pegunungan kapur dekat Bandung yang kapurnya diambili secara terus menerus puluhan tahun oleh pengusaha-pengusaha kecil tanpa ada larangan dari pihak yang berwajib/pemerintah.

Melihat bentuk komposisi batu tersebut, mau tak mau kita pasti mempercayai bahwa itu adalah kompleks peribadatan agama Nusantara kuno, atau yang oleh buku-buku pelajaran sekolah, sering diistilahkan sebagai kepercayaan animisme-dinamisme.

Dengan melihat teori-teori migrasi Nusantara dari Taiwan ke Filipina lanjut ke Jawa, atau teori migrasi dari Jawa ke Nusa tenggara timur, lanjut ke Papua dan Lautan teduh, atau teori pelayaran dari Nusantara menuju Madagascar dan Afrika, maka kita tentu setuju saja bahwa kompleks peribadatan berbentuk menhir di bukit dekat Bandung tersebut, didirikan di zaman sebelum Masehi, karena bentuk menhir di Bandung dan sekitarnya itu, mirip-mirip dengan menhir-menhir di pedalaman Taiwan ( --suku Melayu Taiwan/Formosa sebelum Taiwan diserbu etnis China dari daratan Chiana-- ), juga sama dengan menhir Malayo-Polinesian di Nusa Tenggara Timur, di Papua, di pulau-pulau kecil di Lautan teduh,di Madagascar dan di pedalaman Zimbabwe, Afrika.

Zaman Bujangga Manik
Namun, kalau kita membaca kisah “Bujangga Manik” ( periksa buku J.Noorduyn & A. Teew “Tiga Pesona Sunda Kuno”. Penerbit : Pustaka Jaya, Jakarta, 2009 ), di mana kisah perjalanan ziarah Bujangga Manik, seorang agamawan Sunda, putra mahkota Pajajaran yang meninggalkan haknya untuk menjadi raja, lalu berkelana keliling Jawa itu diperkirakan berlangsung di kurun abad 15 M (-- karena oleh Bujangga Manik diceritakan bahwa sesekali dia naik perahu Malaka-- ), maka kompleks menhir itu juga bisa jadi dibangun pada abad 15 M.

Artinya, agama yang dianut oleh orang-orang Sunda pada abad 14-15 M itu,bisa jadi sudah Hindu atau Budha, namun budaya yang menyertainya masih lebih kuat beraroma Malayo-Polinesia atau Nusantara kuno, alias animisme-dinamisme.

Dalam beberapa kali, memang diceritakan bahwa Bujangga Manik selepas berkeliling daerah kekuasaan Majapahit di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali dimana -- tentunya saat itu sudah era Majapahit akhir--, dia beberapa kali menetap di beberapa tempat di tanah Jawa Barat lalu “bertapa”, mendirikan “candi” atau tempat peribadatan di beberapa lokasi wilayah gunung di Jawa barat, namun dia mendirikan peribadatan itu bukan berbentuk candi seperti yang kita kenal di Jawa Timur dan Jawa Tengah sekarang ini, melainkan berbentuk komposisi lingga atau “monumen” yang bisa disetarakan dengan dolmen dan menhir.

Misalnya, pada adegan “perhentian akhir” di Karang Garengcang di Gunung Ratu, dengan cara menyusuri lereng Gunung Patuha , separuh jalan ke Lingga Payung, di tempat suci ( kabuyutan ) yang dilengkapi dengan lingga yang bertatahkan permata.

Di situ Bujangga Manik membangun tempat tinggal lengkap dengan tempat peribadatan selama sembilan tahun, dan pada tahun ke sepuluh dia membaringkan raganya dan mati dengan tenang.

Dari adegan yang mengharukan ini, tampak bahwa dia mencari lokasi yang ada lingganya lalu membangun kompleks peribadatan, namun tak ada keterangan mengenai pembangunan bangunan yang rinci arsitekturnya. Dari situ dapat dirasakan, bahwa tempat tinggalnya mungkin tak lebih dari rumah kayu dan bambu artistik yang bisa kita lihat di permukiman kaum Baduy di Tasikmalaya maupun di Banten.

Sedang lingganya, meski disebutkan berhias permata, tak tampak berukir rinci seperti lingga yang terkena pengaruh Hindu-India seperti yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan demikian, bisa kita simpulkan, bahwa pengaruh Hindu dan Budha dari India, hanya berbekas sedikit pada manusia Tatar Sunda, dibandingkan dengan manusia Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali, karena budaya Malayo-Polinesia alias Nusantara kuno alias animisme-dinamisme mereka lebih kuat menyatu dengan kearifan-lokal mereka.Sekali lagi, buktinya adalah tempat peribadatan mereka hanya berbentuk susunan batu-batu sederhana.

Dan bahkan, kaum Baduy yang notabene adalah sisa-sisa “manusia Sunda kuno” yang masih tersisa di abad modern ini, meski mereka “mengaku” telah beragama Islam, sesungguhnya budaya mereka masih budaya Nusantara kuno alias Malayo-Polinesia alias animisme-dinamisme.Buktinya, di perkampungan-perkampungan Baduy masih banyak terdapat dolmen atau menhir atau susunan batu type Malayo-Polinesian.

Kekayaan batu menhir yang disia-siakan
Kekayaan budaya Malayo-Polinesian yang berbentuk batu sederhana itu, seringkali mengecoh orang Indonesia yang “bego”, sehingga mereka menganggap batu menhir itu “tidak ada harganya” , dan karena itu banyak tragedi penghancuran dolmen karena dianggap tidak berharga.

Yang paling tragis dan ironis adalah dicolongnya “batu dolmen/menhir bernama kuya” yang beratnya 60 ton, lalu diheret dengan truk kontainer super besar, dijalan raya siang bolong di depan mata banyak orang Indonesia,anehnya semua diam saja, bagai “orang disihir” atau laksana “bedhes ditulup”…dan sampai kini….hilang tanpa ada yang meributkan !!!! Ajaiiiiiib!!!! Itu semua karena banyak yang tidak tahu, bahwa batu-batu “kuya” itu adalah produk budaya “Malayo-Polinesian” alias budaya Nusantara kuno asli pribumi. ( Ini belum menginjak “Teori Surga adalah di Nusantara” dari Stepphen Oppenheimer dan “TeoriAtlantis itu di Nusantara” dari Arysio Santos de Nunes lhooo!!!!-kalau mengacu teori itu, justru akan lebih ajaib lagi Nusantara kita ini !!!! )

Karena terlalu “sederhananya” bentuk “seni-budaya” Nusantara kuno alias Malayo-Polinesia itu, yang lebih mementingkan bentuk simbolisme daripada ukir-ukiran yang rumit, maka prasasti-prasasti Tatar Sundapun sederhana, tidak dipenuhi huruf dan keterangan seperti prasasti-prasasti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prasasti di Tatar Sunda lebih banyak berupa batu dengan tulisan sederhana dan simbol, misalnya jejak kaki atau tangan atau simbol gambar sederhana lainnya.

Risikonya ialah,sejarah Sunda kuno bisa terancam gelap, tidak seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali yang sejarahnya dengan resmi tercatat di batu-batu prasasti, maupun prasasti tembaga.

Namun untungnya, Tatar Sunda mempunyai tradisi tulisan naskah lontar dan daluwang yang cukup kaya, sehingga sejarah Sunda bisa dilacak pada naskah lontar dan daluwang. Namun sayangnya pula, pemerintah Indonesia maupun pemerintah Jawa Barat sampai kini belum tertarik menyewa pakar yang bisa membaca dan menerbitkan transliterasi naskah-naskah Sunda kuno tersebut, kecuali sedikit naskah yang sudah dibaca oleh beberapa pakar Barat atas biaya lembaga kebudayaan Belanda.

Jadi, uang manusia Indonesia kaya yang sangat banyak itu—sehingga sering ditipu dengan mudah dalam jumlah milyaran rupiah oleh orang-orang licik seperti Gayus, Selly dan Malinda Dee—dikemanain? Masak sih, disisihkan satu persen aja untuk membiayai penelitian prasasti dan lontar-lontar, tidak rela ?

Masak kalah sama rakyat kecil yang sering dengan bersemangat, mengumpulkan “koin” untuk membiayai berbagai peristiwa yang memprihatinkan bangsa.

-

Arsip Blog

Recent Posts