Mengintip Sudut Islam Bali Tempo Dulu

Oleh Remmy Silado

Ekspedisi Islam dengan maksud menyiarkan agama di Bali dilakukan oleh orang Jawa untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel yang memerintah pada tahun 1460-1550. Sejak itu komunitas Muslim mulai ada di Bali dan dari waktu ke waktu terus berkembang, walau tidak sepesat di Jawa. Betapa pun kecilnya, masyarakat Islam turut pula mewarnai khazanah kebudayaan Bali.

Pengakuan eksistensi masyarakat Islam oleh masyarakat Bali (Hindu) ada yang teraktualisasikan dalam wujun pendirian tempat pemujaan (pesimpangan betara di Mekah) pada beberapa pura di Bali (Mengwi, Badung, dan Bangli). Jejak interaksi masyarakat Islam di Bali dapat pula dilihat lewat beberapa karya sastra yang mengandung kebudayaan Islam.

Beberapa di antaranya dapat disebutkan antara lain: krama selam (witaning selam), tatwa berawa, Seh Umbul Brahim (Kitab Tasaup Cara Bali), Sejarah Jawa lan Sejarah Arab, Jajaluk Selam ing Mekah, Ana Kidung, Geguritan Amad Muhammad Raden Saputra, Geguritan Siti Badariah. Fenomena ini menarik untuk dikaji.

Beberapa teks sastra Islam yang terdapat di Bali juga memiliki fungsi religius sebagaimana khazanah sastra yang mengandung ajaran Hindu. Teks Ana Kidung dibacakan semalam suntuk oleh masyarakat beragama Hindu secara bergantian dalam upacara kepus pungsed (lepasnya tali pusar) seorang bayi.

Di daerah Jawa dan Bali yang kena pengaruh Hindu secara mendalam, maka perkembangan masyarakat Islam banyak dipengaruhi unsur-unsur setempat. Berbeda dengan di daerah Sumatra tidak terpengaruh hindu secara mendalam. Islam jelas muncul sebagai ”tanaga” perubahan yang memberi kesadaran akan kesatuan agama yang lebih besar dari penganutnya.

Kita ambil contoh masuknya Islam di daerah Badung. Sebuah penelitian A.A.B. Wirawan dan Dian Ariegalung menunjukkan pemukiman orang-orang Islam di Badung berkembang dengan pesat diperkirakan sekitar tahun 1891, setelah jatuhnya kerajaan Mengwi ke tangan Kerajaan Badung. Pada waktu itu pasukan Kerajaan Badung dibantu oleh Raden Sosroningrat, seorang Muslim yang kawin dengan putri Raja Pemecutan.

Apabila dilacak lebih awal lagi, ada yang menghubungkan dengan jatuhnya Kerajaan Makassar setelah tahun 1669. Setelah Perang Makassar tersebut, banyak pelaut Bugis-Makassar yang menyingkir keluar daerahnya, di antaranya ke Tuban dan Serangan melalui Lombok dan Sumbawa. Beberapa sumber asing kemudian menyebutkan bahwa di beberapa pantai di Bali Selatan seperti Tuban, Suwung, Serangan, Kuta, perkampungan Islam berkembang dengan pesat pada abad ke-19.

Menurut tradisi lisan yang didapat dari tradisi turun temurun di lapangan, bahwa masyarakat Islam Bugis di Serangan, Suwung, Tuban, dan juga di Angantiga memunyai hubungan yang erat dengan puri Pemecutan. Pada mulanya, pemukiman mereka merupakan hadiah dari raja kepada masyarakat Islam karena berjasa terhadap kerajaan Badung.

Tak jarang dilihat antara masyarakat Hindu dan Islam bergaul secara akrab dan tidak ada kesan yang membedakan mereka dari luar. Kondisi seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dan dapat dikatakan embrio integrasi sosial sudah terjadi sejak jaman kerajaan. Pendirian masjid Kalimanjing Serangan dan Suwung, Tuban dan Tanjung Benoa juga mendapat bantuan bahan, dana, disamping tempat dari raja Pemecutan.

Seperti banyak dimuat dalam beberapa karya historis, bahwa penyebaran Islam di beberapa tempat di Nusantara lebih dominan dilakukan melalui perdagangan. Tak terkecuali di Bali. Penyebaran melalui perdagangan ini lebih bersifat dinamis dan terbuka. Namun selain lewat perdagangan, penyebaran agman Islam juga dilakukan melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara orang-orang Bugis dan orang-orang Bali.

Orang-orang Bugis telah muncul di Selat Bali sekitar pertengahan abad ke-17, yang dalam sumber daerah disebut wong sunantara, wong duradesa, atau wong nusantara yang artinya ”orang asing” (Bugis, Cina, dan Arab). Pada waktu itu dikatakan bahwa orang-orang Bugis yang terbanyak jumlahnya.

Orang-orang Bugis yang datang ke Bali, tersebar di beberapa tempat seperti Jembrana, Bali Utara (Buleleng), dan Bali Selatan (Badung). Di Jembrana pada abad ke-17 orang-orang Bugis telah memegang peranan penting dalam proses integrasi kebudayaan, dengan adanya seorang keluarga raja I Gusti Ngurah Pancoran telah masuk Islam karena pergaulannya yang akrab dengan orang-orang Bugis yang bermukim di Loloan.

Sedangkan mulanya Islam di Angantiga, ada seorang Islam yang kaya di Pulau Serangan yang bernama Brahima yang memunyai anak gadis cantik. Raja Mengwi yang menguasai Serangan bermaksud mempersunting gadis itu. Namun Brahima tidak bersedia memenuhi permintaan raja. Dan Brahima sendiri melarikan dan mengasingkan anak gadisnya ke Angantiga. Anak gadis dengan orangtuanya diantar oleh tiga pendekar, yaitu Haji Jamaluddin, Daeng Mapilih, dan Daeng Mangeneng. Sejak itu untuk pertama kalinya orang Islam masuk ke Angantiga.

Tak hanya di beberapa daerah yang telah kami sebutkan di atas tadi, tapi lebih dari itu, keberadaan kampung-kampung Islam di Bali telah menyebar luas, di antara masyarakat Hindu Bali. Bahkan ada yang letaknya di antara balik-balik Bukit yang kita tidak mengetahuinya jika tidak memburunya. Namun saat ini, kampung-kampung itu dan masyarakat di dalamnya seolah tenggelam oleh hiruk-pikuk perkembangan zaman. Bahkan tidak ada yang tahu kalau mereka sebenarnya hidup dalam kesederhanaan dan kesepian cahaya Islam.

-

Arsip Blog

Recent Posts