Opera Istana Citerep

Resensi oleh: Viddy AD Daery
Judul Buku : Mayor Jantje, Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke 19.
Genre : Novel Sosiologis
Penulis : Johan Fabricius
Tambahan Esei Pengantar : DR Mona Lohanda
Penerbit : Masup Jakarta/Kobam Group,Depok,2008.

Orang yang sering pergi ke Bogor atau Puncak, dengan rute melewati jalan tol Jabodetabek,pasti banyak membaca papan-papan nama kota kecil seperti Citerep, Cileungsi, Cipamingkis, Cibarusah, Cibinong, Klapanunggal, Hambalang, Nanggewer dan sebagainya.

Nama-nama itu juga akan banyak muncul dalam novel sosiologis “Mayor Jantje” ini, sebuah novel “indo” yang bersetting kehidupan Hindia-Belanda di tahun 1800-an,dengan setting kebanyakan adalah di kota-kota kecil sekitar Bogor tersebut.

Tentunya zaman itu,nama-nama itu baru berupa desa kecil,hanyaBogor yang sudah kota besar dengan nama Buitenzorg.

Novel tersebut menceritakan mengenai Mayor Jantje,salah satu Tentara Papango dalam satuan tentara Kompeni / VOC Hindia Belanda.Kesatuan tentara lain yang mengabdi pada Penjajah Belanda adalah Moro yang merupakan orang-orang India-Bengala, Kesatuan Tentara Jawa dan Kesatuan Tentara Ambon,disamping Kesatuan Tentara asli Belanda.

Sedang Kesatuan Papango atau disebut juga orang-orang Mardijkers adalah orang pribumi Filipina yang sudah direkrut di zaman penjajah Spanyol di Filipina,lalu sebagian direkrut penjajah Portugis di Indonesia dan Malaka,Malaysia dan dibaptis menjadi orang Kristen Katolik dan diberi nama Portugis.

Mereka kebanyakan berdiam di wilayah Tugu dan Semper yang merupakan pinggiran Jakarta dan masih rawa-rawa waktu itu.Tentara Papango yang terkenal disiplin dan ganas ini setelah Portugis pergi,lalu direkrut oleh penjajah Belanda,dan setelah Belanda pergi dari Indonesia,mereka mengaku keturunan Portugis dan hingga kini terkenal dengan kesenian Keroncong Tugu.

Mayor Jantje adalah salah satu tentara Papango yang bernasib mujur karena mewarisi tanah-tanah yang sangat luas dari ayahnya.

Tanah-tanah luas itu pada mulanya milik Raden Saki,pangeran ningrat putra Sultan Ageng Banten.Tapi sebagaimana perilaku pribumi anak raja yang mewarisi kekayaan tanpa keringat,demi gaya hidup yang tak mau kerja keras, menjual tanah-tanah itu kepada VOC dengan harga relatif murah.

VOC yang korup menjual kembali tanah itu kepada seorang tuan tanah Belanda,Baron Hohendorff dengan harga agak menguntungkan.Ahli waris Baron tersebut lalu menjual tanah tersebut dengan harga murah kepada Agustijn Michiels.Agustijn Michiels ini adalah Mayor Jantje,seorang mayor dalam kesatuan tentara Mardijkers/Papango yang mempunyai jiwa bisnis.

Sebetulnya,Mayor Jantje sudah mewarisi tanah Cileungsi dan Klapanunggal dari ayahnya,Jonathan Michiels,seorang letnan dalam kesatuan tentara Mardijkers/Papango. Tanah itu terlantar,padahal penuh sarang burung walet.

Setelah diwariskan kepada Mayor Jantjelah,maka tanah-tanah itu dibisniskan,baik dikeduk sarang waletnya,maupun disub-kontrakkan kepada pengusaha perkebunan Cina. Setelah kaya,uangnya terus dikembangkan dengan membeli tanah-tanah lain sekitarnya,seperti disebut di atas.

Dan baru setelah kayaraya,maka ia membangun kembali Istana Citerep yang merupakan warisan dari Raden Saki. Istana itu diperbesar dan diperindah,dengan taman-taman dan danau yang indah,apalagi memang kontur tanah sekitar Bogor sangat hijau indah berlembah dan berbukit,dengan sungai-sungai yang jernih,bagai puisi Ajip Rosidi “Priangan si Jelita”,yang antara lain menyebutkan bahwa Tuhan sedang tersenyum bahagia ketika menciptakan tanah Priangan.Tapi kita semua tahu,kini tanah-tanah yang indah itu dihancurkan oleh kebodohan pemerintah Indonesia modern.

Jika,kita melihat foto-foto yang disertakan dalam novel tersebut,kita bisa membayangkan,bahwa Istana Citerep tidak kalah dari Istana Bogor yang milik resmi pemerintah Hindia-Belanda saat itu,dan kini menjadi salah satu Istana Negara Indonesia.

Istana Citerep menjadi terkenal,karena Agustij Michiels yang murah hati dan dermawan,membuka lebar-lebar istananya bagi siapapun,terutama para pejabat Hindia-Belanda,dan menyelenggarakan pesta 24 jam hampir sepanjang masa hidupnya,terutama di hari-hari akhir pekan.

Kehidupan bak opera 1001 malam itu tidak berkeputusan di Istana Citerep,semua tamu gratis makan,minum,pesiar,berjalan-jalan naik kereta kuda,mandi di sungai jernih,atau bermain kartu. Mereka dihibur oleh 3 korps musik milik Mayor Jantje yang bermain bergantian,pagi,siang dan malam.

Kebutuhan beras saja adalah 3280 gantang beras dalam sebulan untuk kehidupan di Istana Citerep,belum kebutuhan lain.Tiga korps musik milik pribadi Mayor Jantje adalah Kelompok Tanjidor yang memainkan musik Eropa dengan caranya yang khas,kelompok Musik Cina yang mungkin nantinya berkembang menjadi musik gambang kromong, dan kelompok musik gamelan Jawa.

Namun opera akan menyisakan tragedi pula,seperti semua pesta pasti ada akhirnya.Ketika Mayor Jantje tua,tanah-tanahnya sudah dibagi-bagikan kepada anak-anak maupun anak angkatnya ( anak haramnya )yang banyak,yang menungguinya sampai mati adalah Mbok Sita,pembantu pribuminya yang setia,yang memang sudah menjadi pengasuhnya sejak dia masih kanak-kanak.

Satu-satunya anaknya yang menjenguknya adalah Agraphina,itupun datang pada detik-detik terakhir sebelum malaikat mencabut nyawa bapaknya,didampingi dokter Belanda Bogor,dokter Fritze yang dingin,beku dan sombong.

(Viddy AD Daery adalah budayawan,pengurus Lesbumi PBNU,dan anggota pengurus Yayasan Kertagama Jakarta ).

-

Arsip Blog

Recent Posts