Peranan Desa Adat dalam Menunjang Pariwisata Budaya Era Globalisasi

Oleh I Wayan Nika

Pembangunan Bali, khususnya di bidang kepariwisataan patut mendapat perhatian yang kritis dari semua pihak, utamanya dari kalangan akademisi. Dengan perhatian yang sungguh-sungguh, pembangunan diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tanpa mengorbankan nilai-nilai luhur yang merupakan jiwa kebudayaan Bali dan umat Hindu pendukungnya. Ajaran agama mendorong umat-Nya untuk mewujudkan kemakmuran sebesar-besarnya dengan kerja keras, tetapi senantiasa berlandaskan dharma, yakni moralitas dan etika yang luhur. Demikian pula sebagai salah satu asset bangsa, Bali sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata di Indonesia.

Semua pihak menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali memberikan dampak positif bagi kesejahtraan masyarakat, tetapi di balik dampak positif itu tentu tidak lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh nantinya dapat merupakan penyakit yang dapat menggerogoti budaya Bali yang akarnya adalah agama Hindu; daun, bunga, dan buahnya adalah kepariwisataan, yang telah nyata dinikmati oleh wisatawan dan profitnya dinikmati langsung oleh kalangan pengelola kepariwisataan. Bila pengembang atau investor hanya berorientasi pada profit belaka dan mengeksploitasi habis-habisan budaya Bali, tanpa memperhatikan pelestarian budaya dan masyarakat Bali, maka mereka (para investor itu) adalah drakula budaya, yang hanya mengisap darah dan potensi budaya Bali, lalu pergi seperti dinyatakan oleh Bagus (Bali Post, 23 Juni 1999).

Selanjutnya, bila kita ingin melihat Bali secara komprehensif, sorotan kita tidak dapat lepas untuk melihat masyarakat Bali sebagai satu persekutuan hukum yang disebut dengan desa pakraman yang alam perkembangannya dewasa ini lebih populer disebut dengan nama desa adat. Desa adat atau desa pakraman mengatur hubungan manusia dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewata dan Leluhur disebut parhyangan, dengan sesamanya yang disebut pawongan, dan dengan alam lingkungannya disebut palemahan. Ketiga komponen ini menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali.

Bersentuhannya masyarakat Bali dengan kepariwisataan, terjadi sentuhan antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, dan masyarakat Bali telah menetapkan kebijaksanaan pengembangan kepariwisataan yang menekankan pada kebudayaan. Pariwisata ini kemudian populer dikenal dengan istilah pariwisata budaya. Bagaimanakah interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, merupakan hal yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Telah disebutkan sepintas pada latar belakang di atas, bahwa dengan terjadinya kontak, sentuhan atau interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, di samping memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan masyarakat Bali, tidak dapat dihindari adalah dampak negatifnya yang bila dibiarkan akan mengganggu stabilitas dan bahkan mengancam kehidupan dan kelestarian budaya dan masyarakat Bali. Berbagai permasalahan tersebut di antaranya masalah kependudukan, beralihfungsinya lahan pertanian, dilanggarnya sempadan pantai dan kawasan suci (untuk kepentingan ritual), diusiknya areal kawasan suci dengan pembangunan akomodasi (hotel atau bungalow) dan restaurant dan yang sungguh mengerikan adalah masalah kependudukan, yang dalam waktu kurang dari setahun jumlah penduduk di Bali meningkat hampir 50 % dan umumnya mereka datang dari Jawa dan Lombok, guna mengais rezeki di Bali khususnya di kawasan pariwisata.

Selanjutnya untuk memudahkan pemecahan masalah, maka beberapa permasalahan tersebut di atas kami rumuskan sebagai berikut.
(1). Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan pariwisata budaya?
(2). Bagaimanakah peranan Desa adat Bali dalam pengembangan pariwisata budaya
di era globalisasi dewasa ini, dan
(3). Mampukah Desa adat Bali menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi ini,
mengingat Bali sebagai satu daerah yang terbuka sebagai konskuensi bagian
negara kesatuan Indonesia?

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk dapat menjelaskan tentang makna pariwisata, khususnya pariwisata budaya, mencari solusi terhadap berbagai masalah termasuk usulan untuk mengembangkan kawasan judi, sebagai salah satu alternatif pengembangan kepariwisataan sehingga diharapkan mampu menyatukan visi dan missi tentang pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Melalui tulisan ini diharapkan muncul pemikiran dan langkah kearifan dan kebijaksanaan terhadap pelestarian budaya Bali, khususnya desa adat Bali. Di pihak lain tetap berkembangnya pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) seperti hangat dibicarakan oleh kalangan akademisi dewasa ini.

II. GAMBARAN UMUM DESA ADAT DI BALI
2.1 Perkembangan Desa adat di Bali
Lembaga tradisional adalah institusi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dipelihara dan ditaati secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mengenal atau pernah mengenal lembaga tradisional tersebut. Nama atau penyebutannya pun berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula sejarah timbulnya lembaga tradisional ini tentu tidaklah dalam kurun waktu yang bersamaan. Di antara lembaga-lembaga tradisional itu, ada yang telah musnah sama sekali, ada pula yang masih ajeg dan lestari yang merupakan aset bangsa yang sangat luhur. Salah satu di antara beberapa lembaga tradisional yang masih ajeg di bumi Nusantara ini, adalah desa adat Bali, yang secara tradisional dikenal oleh masyarakat Bali dengan Desa pakraman atau Desa Dresta.

Desa adat Bali, desa pakraman atau desa dresta ini memiliki sejarah sangat tua dan sudah disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno seperti prasasti Bwahan (Saka 947) di bawah raja Sri Dharmawangsa Wardhana, prasasti Bebetin (Saka 896), prasasti Sembiran bertahun Saka 987 (Oka, 1999: 2).

Pada prasasti Bwahan A (Saka 916) antara lain disebutkan: .......karaman i wingkang ranu Bwahan........yang artinya masyarakat di desa Bintang Danu yaitu Bwahan (Goris, 1954: 83). Pada masa Bali Kuno tersebut masyarakat hidup dalam satu ikatan kesatuan yang disebut wanua, yakni satu wilayah dengan luas tertentu yang merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha dan Tulaga yang berarti kelompok. Prasasti trunyan (Saka 911)menyebutkan : .... Kumpi Dyah Sanat, sedang prasasti Srokadan (Saka 915) menyebutkan kelompok Sarwa Tulaga, dan lain-lain. setelah mantapnya pengaruh Hindu di Bali, istilah wanua dipakai untuk menyatakan wilayah atau disebut juga dengan nama thani seperti disebutkan dalam prasasi Serai II (Saka 915) yang memakai bahasa Bali Kuno. Dalam prasasti Bwahan A (Saka 916) terdapat kata karaman yang berarti satu kelompok masyarakat yang mendiami satu wilayah permukiman tertentu atau berarti pula sebagai kumpulan orang-orang tua (yang sudah berkeluarga). Dari kata karaman ini kemudian menjadi kata krama yang berarti anggota (masyarakat desa) dan pakraman (Desa pakraman) yang menunjukkan wilayah. Kata desa berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna tempat atau petunjuk (Oka, 1999: 2). Dr. I Made Titib, setelah membandingkan kata krama dengan grama di dalam bahasa Sanskerta yang mengandung arti desa (village) menyatakan bahwa kata krama dalam bahasa Bali Kuno tersebut rupanya berasal dari perubahan kata grama tersebut, dan kini pun dalam bahasa Hindi, grama artinya desa (Wawancara, 11 Agustus, 1999).

Ada pun yang dimaksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli hukum adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan (Purwita,1984:4). Selanjutnya, istilah desa adat yang sekarang dikenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan desa saja. Akan tetapi, dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat bawah, terjadilah kerancuan pengertian desa. Oleh karena itu, untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat dan desa dinas atau desa administratif. Istilah ini secara tertulis pertama kali ditemukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139).

Batasan tentang Desa adat secara resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan Daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa desa adat adalah :

"Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".

Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.

Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan. Sebagai organisasi pemerintahan, desa adat merupakan desa otonom asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri di dalam palemahan (wilayah)nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan.

Desa adat sebagai masyarakat yang mempunyai tata susunan asli beserta banjar-banjar adat, eksistensinya diakui secara hukum berdasarkan UUD 1945 (pasal 18), dan UU Pemerintahan Desa (UU No.5 Tahun l979) yang telah dicabut dan digantikan dengan UU No.22 Tahun 1999 begitu pula dengan Permendagri No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Pengakuan terhadap desa adat berarti pula pengakuan terhadap lembaga-lembaga adat yang ditetapkan. Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut secara sosiologis masih dipelihara oleh masyarakat desa (krama) adat.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, eksisitensi desa adat di Bali, Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali berusaha memelihara keajegan Desa adat Bali dengan menetapkan Peraturan daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tanggal 25 Juni 1986. Sebelumnya, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Tingkat I Bali mengeluarkan sebuah Keputusan Nomor: 18/Kesra II /C/119/1979, tanggal 21 Maret 1979 tentang Majelis Pembina Lembaga Adat, sebagai sebuah badan yang statusnya semi pemerintah yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang antara lain sebagai badan pertimbangan, saran, usul mengenai permasalahan adat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah dan dalam penyelesaian konflik adat yang timbul maupun kepada lembaga adat di dalam seluruh aspeknya.

2. Peranan dan Fungsi Desa adat
Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).

Suasana kehidupan harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut, kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan non agraris dan globalisasi tersebut telah mengubah masyarakat homogen menjadi masyarakat majemuk (plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan yang hetrogen.

Di Bali, proses globalisasi telah dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal tersebut. salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah ini adalah karena perkembangan pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.

Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan dunia modern.

Kelompok-kelompok sosial baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma serta kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok tsb. juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruha. Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya pengikat dalam masyarakat digantikan oleh ikatan solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan dalam kelompok dan kepentingan kelompok masing-masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam pergaulan antar sesamapun tampak mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai individual dan komersial. Situasi demikian memberi peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.

Banyak hal yang muncul sebagai sumber konflik dewasa ini antara lain: tanah, status sosial (prestise), jabatan dan peluang kerja. Di Bali, sumber konflik yang paling menonjol dewasa ini adalah, tanah, baik tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik Desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan.

Sebelum keadaan masyarakat seperti sekarang ini, konflik yang terjadi umumnya dapat diselesaikan secara damai oleh lembaga penyelesaian konflik, baik ditingkat keluarga/kerabat maupun di tingkat masyarakat. Konflik-konflik yang timbul dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat (konsensus) ataupun perundingan (negosiasi). Cara penyelesaian demikian benar-benar dapat mengakhiri suasana konflik antara kedua belah pihak yang berselisih, sehingga mereka dapat rukun kembali. Berbeda keadaannya dengan situasi sekarang, konflik yang terjadi di masyarakat sering kali tidak dapat diselesaiakan berdasarkan prosedur dan kebiasaan yang berlaku. Kalaupun ada upaya penyelesaian terhadap konflik yang terjadi namun sering kali penyelesaiannya dirasakan tidak memuaskan para pihak sehingga konflik tetap berlangsung berlarut-larut. Ini berarti cara-cara penyelesaian konflik adat mengalami tantangan.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesa an ke dalam pergaulan luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak, keefektifan awig-awig sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik di masyarakat yang dahulu umumnya ditaati kini tidak jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan. Penggunaan tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan tanah yang dahulu jarang menimbulkan konflik, sekarang tanah menjadi sumber konflik di masyarakat.

Sebelum pergaulan luas seperti dewasa ini, pergaulan sesama warga berlangsung dalam hubungan yang akrab dan personal atas dasar nilai kebersamaan, hal tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Warga masyarakat mempunyai orientasi nilai dan kepentingan yang sama. Kebersamaan mereka diungkapkan dengan menggunakan istilah "kita" yang menunjukkan adanya kesatuan dan tidak ada lagi yang lainnya di dalam masyarakat itu.

Kebersamaan dan kesatuan di dalam masyarakat tercermin pula dalam ketaatan warga masyarakat terhadap awig-awig (praturan) yang mereka tetapkan bersama dan dalam hal bila terjadi penyimpangan/pelanggaran terhadapnya, umumnya awig-awig sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan efektif. Selain itu, segala keputusan yang diambil masyarakat dalam hal terjadinya konflik umumnya ditaati demi kebersamaan dan kesatuan dalam masyarakat. Peruntukkan tanah dan perolehan hak atas tanah di masyarakat diatur juga menurut adat setempat berdasarkan otonomi asli yang dimiliki oleh masyarakat Desa adat. Oleh karena peruntukkan tanah umumnya homogen untuk tanah pertanian dan hanya bagi anggota masyarakat setempat umumnya jarang menimbulkan konflik dan kalaupun ada konflik umumnya dapat ditangani melalui lembaga penyelesaian konflik.

Setelah masyarakat bergaul secara luas, warga masyarakat tidak saja bergaul dengan sesama warga masyarakat setempat, tetapi juga dengan masyarakat kota, luar daerah dan bahkan juga dengan masyarakat internasional, terutama dalam kaitannya dengan pariwisata. Dalam pergaulan demikian, hubungan yang sangat akrab mulai melonggar, sifat personal berubah ke impersonal, nilai kebersamaman yang sebelumnya melandasi pergaulan antar wargapun melemah dan berubah ke arah individual, nilai tolong-menolong dan gotong-royong yang sebelumnya mewarnai segala macam aktivitas dalam masyarakat kini telah bergeser ke arah komersial dengaan perhitungan untung rugi. Dalam bersikap dan bertindak, warga mamsyarakat mengikuti norma dan orientasi nilai yang berbeda-beda. Selain itu warga masyarakat juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda terhadap peruntukan tanah.

Konflik berkepanjangan yang sering tidak dapat diselesaikan di masyarakat, merupakan suatu indikator bahwa lembaga adat, khususnya lembaga penyelesaian konflik adat yang keberadaannya masih diakui ternyata eksistensinya tidak diikuti oleh keberadaannya.

Desa adat menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatn dan sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di wilayah Kecamatan. Desa adat adalah desa yang otonom sehingga mempunyai kewenangan untuk mengurus dan menyelenggarakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial kemasyarakatan. Desa adat memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya disebut Prajuru dan dibeberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau paduluan dan berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia (terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).

Tentang Prajuru atau Dulu/Paduluan ini umumnya dipilih secara demokratis (musyawarah mufakat) oleh masing-masing Krama, namun di beberapa desa adat yang lebih tua, pengurus tersebut ditugaskan secara bergiliran dari yang lebih tua, digantikan nantinya oleh yang lebih muda, dilihat dari ketika mereka ikut sebagai Sekehe Taruna atau Matruna (Truna Nyoman).

Unsur-unsur Prajuru Desa adatpun bervariasi, dengan pemimpin tertinggi umumnya disebut Bendesa atau Kelihan Desa , sedang wakil, sekretaris dan pembantu disebut dengan berbagai nama, seperti Patajuh (wakil), Panyarikan (sekretaris), Kasinoman (pembantu/juru arah) dan Sedahan untuk bendahara.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi Desa adat dilengkapi dengan kekuasaan mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan dalam suasana yang menjamin rasa aman bagi setiap warganya. Mengenai kekuasaan Desa adat dapat dibedakan menjadi 3 macam kekuasaan, yaitu:

a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sangkepan), seperti upaya menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga, dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Trihita Karana.

b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan hankam, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaa, memelihara dan melestarikan adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestraian Kahyangan Tiga, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu.

c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik, karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tidakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang menggangu ketertiban warga, dll., yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanski adat (I Made Widnyana, 1999: 4).

Sesuai dengan hakekat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, maka jelaslah bagi kita bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti tersebut berlaku di wilayah desa yang bersangkutan. Selain mengikuti asas personalitet, khususnya terhadap warga desa (pangrep), yang karena suatu hal berada di luar desa nya, namun masih tetap menjalin ikatan dengan desa asalnya.

Berkenaan dengan setiap warga desa adat wajib menjunjung kekuasaan yang telah disepakati dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtra dan tentram seperti yang dicita-citakan, maka bentuk konkrit otonomi Desa adat dapat dilihat pada:

a. Bendesa (Kelihan) Desa adat. Dalam sturuktur pengurus Desa adat, Bendesa atau Kelihan Desa memiliki posisi sentral dan utama, sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat (primus interpares). Dengan demikian Bendesa (Kelihan) Desa adat memiliki kharisma atau wibawa di lingkungan desa nya.

b. Paruman (Sangkepan) Desa adat. Paruman atau Sangkepan Desa adat adalah bentuk musyawarah yang sangat demokratis (demokrasi asli), karena setiap Krama (warga) Desa adat memiliki hak suara yang sama. Paruman umumnya membahas hal-hal yang dianggap perlu dan biasa diselenggarakan secara rutin (nityakala) atau juga insidental (padgatakala).

c. Awig-awig Desa adat. Awig-awig adalah aturan-aturan yang dibuat oleh Krama Desa melalui Paruman Desa adat dan umumnya banyak yang tidak disuratkan. Namun karena perkembangan, dewasa ini telah berhasil disuratkan awig-awig tersebut sebagai pedoman bagi pengurus Desa adat dalam melaksanakan kewajibannya maupun bagi warga, dan di dalam awig-awig tersebut kita jumpai sanksi-sanksi bagi warga desa yang melanggarnya. Di dalam awig-awig desa ini dapat dilihat perbuatan atau tindakan yang dilarang serta sanksi-sanksinya baik sanksi itu dijatuhkan kepada warga atau keluarganya atau dibebankan kepada masyarakat desa sendiri (I Made Widnyana, 199: 5).

Demikian, dalam operasionalnya, Desa adat senantiasa mandiri sebagai wujud dari otonomi, karena tidak ada intervensi darimanapun yang dapat dibenarkan dalam rangka mewujudkan kesejahtraan warganya.

Desa adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa . (Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)

Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa . Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa adat yakni dengan pemeliharaan bersama desa , fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa adat.

Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa adat merupakan bagian dari keluarga besar Desa adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.

Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa adat yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa ). Dengan demikian fungsi atau peranan Prajuru Desa adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :

a. Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan.
b. Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña dalam masyarakat.
c. Mengatur penguasaan Setra.
d. Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa .
e. Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa adat
f. Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g. Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat.
h. Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa
i. Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j. Menjunjung dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa , pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )

Bila Desa adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa ) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa ) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam mengurus Desa adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu.

III. PERANAN DESA ADAT DALAM PARIWISATA
BUDAYA
1. Pariwisata Budaya dan permasalahannya
Masyarakat dan Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan bahwa pariwisata yang dikembangkan di daerah Bali adalah Pariwisata Budaya, yang secara tegas diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali, No.3 tahun 1991, tanggal 1 Februari 1991 yang disahkan oleh Kepmendagri No. 556.61.-573, tanggal 24 Juni 1991, yang secara tegas (dalam Ketentuan Umum, Bab I, Pasal 1, butir j) merumuskan pengertian Pariwisata Budaya, sebagai berikut:

"Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang".

Lebih jauh tentang azas dan tujuan Pariwisata Budaya, diatur dalam Bab II, pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
"Penyelenggaraan pariwisata budaya dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta keselarasan, yang berpedoman kepada falsafah Tri Hita Karana"

"Penyelenggaraan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pasal 2 (di atas) bertujuan untuk:
a. memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata;
b. memupuk rasa cita tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa;
c. memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja;
d. meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
e. mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi nasional;
f. mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup;
g. mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan".

Memperhatikan pengertian, azas dan tujuan Pariwisata Budaya seperti di atas, kiranya telah cukup bagi kita untuk memahami pengertian pariwisata budaya yang telah dan kini terus menerus dikembangkan. Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di Propinsi Bali telah menunjukkan keberhasilan dalam menunjang berbagai bidang kehidupan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan lima tahunan daerah. Kita telah merasakan berbagai program pembangunan yang dilaksanakan telah menunjukkan keberhasilan baik di tingkat nasional maupun regional. Pertumbuhan ekonomi Bali cukup tinggi (melebihi pertumbuhan rata-rata nasonal) bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dalam situasi krisis ekonomi dan moneter saat ini. Partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hubungan ini pemerintah berkewajiban untuk memberi pengarahan dan bimbingan, serta menciptakan iklim yang mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan.

Tampaknya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Bali tidak perlu diragukan lagi untuk menunjang keberhasilan pembangunan. Walaupun demikian diperlukan untuk melihat rahasia keberhasilannya dalam rangka pengembangannya pada PJP II yang memiliki ciri pembangunan tersendiri, yaitu ciri pembangunan yang penuh dengan kemandirian (Suyatna,1993). Dengan mengutip hasil penelitian Sutjipto et.al (1990), menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Bali dalam program-program pembangunan termasuk kategori partisipasi tinggi. Yang dimaksud dengan partisipasi dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, keterlibatan dalam menyumbangkan masukan, baik tenaga, uang maupun material, hingga keterlibatan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.

Munculnya kasus-kasus tanah dan juga kasus-kasus lainnya adalah ketika terjadinya persinggungan antara kepentingan kepariwisataan dengan sarana keagamaan khususnya tempat pemujaan (tempat-tempat suci), baik di tepi pantai, tepi mata air, di pegunungan dan sebagainya. Titik persinggungan itu, dapat terjadi karena tata ruang untuk kepentingan keagamaan dimanfaatkan untuk kepentingan kepariwisataan. Demikianlah munculnya kasus BNR dan yang terakhir kasus Padanggalak menunjukkan hal tersebut.

Berbagai kasus muncul (dalam kaitannya dengan kepariwisataan), seperti dinyatakan oleh beberapa pakar, adalah karena kurangnya koordinasi dan komunikasi atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah sosialisasi program (proyek) sejak perencanaan sampai pada pelaksanaan. Di samping itu, Ibu Gedong Bagoes Oka pernah menyatakan, bahwa pengawasan dari masyarakat sangat lemah, sering masyarakat mudah terbujuk oleh investor yang membeli tanah-tanah mereka dengan harga yang mahal. Kasus-kasus tanah juga merebak dalam kaitannya dengan alih fungsi atau dijualnya tanah-tanah labapura dan ayahan desa , yang bila tidak dicermati akan menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan.

Berdasarkan penelitian terhadap berbagai ketentuan hukum Hindu seperti yang tercantum dalam Bhàgavata Puràóa, Úaòkha Likhita Sùtra dan Paiþhinasi, dapat dinyatakan bahwa labapura mempunyai kedudukan yang strategis dan penting untuk kelangsungan sebuah pura dan kita memahami bahwa pura merupakan pusat spiritual dan kehidupan umat Hindu. Tentang admistrasi dan kelangsungan berdirinya sebuah pura, Paithìnasi seperti dikutip oleh Aparàrka mengamanatkan bahwa pemerintah (raja) tidak boleh menghapuskan keberadaan sebuah pura, demikian pula badan hukum (saýgha, di Bali disebut Pamaksan) beserta kekayaan mereka (Pandurang Vaman Kane, Vol.II, Part II, 1990: 913). Dijelaskan juga bahwa pemerintah menurut Kauþilya Arthaúàstra III.9, menunjuk pengawas kekayaan pura yang disebut "devatàdhyakûa" untuk mengawasi pengelolaan kekayaan pura (Ibid, 1990: 912).

Berdasarkan penjelasan ini, maka pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan sebuah pura termasuk pula laba puranya atau segala aset yang dimilikinya.

Permasalahan lainnya adalah penyalah gunaan simbol-simbol Hinduisme (agama Hindu), seperti bangunan yang mirip tempat pemujaan, canang sari (tidak ditempatkan semestinya), canang sari masasari bola golf, penempatan "barong" pada bangunan planet Bali, dan lain-lain, bila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan ketersinggungan umat Hindu di daerah ini yang dampaknya tentu akan merusak citra Pariwisata Budaya yang tengah dan terus dikembangkan.Demikian pula masalah kependudukan yang cukup memberikan beban yang berat karena kepadatan penduduk, bila tidak dikaji dengan baik akan mengancam eksistensi kebijaksanaa pariwisata yang berkelanjutan.

2. Peranan Desa adat dalam mengembangan Pariwisata Budaya
Bila kita memperhatikan dengan seksama pengembangan Pariwisata Budaya, atau singkatnya pembangunan kepariwisataan, maka disini kami kutipkan pendapat Tri Budhi Satrio yang menyatakan:

"Pembangunan kepariwisataan yang bermodal dasar kebudayaan daerah yang dijiwai oleh agama Hindu diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata agar menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga mampu meningkatkan lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara serta meningkatkan penerimaan devisa melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan yang ada di daerah.Bersamaan dengan itu, dalam pembangunan kepariwisataan yang dilakukan haruslah dijaga tetap terpeliharanya budaya dan kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu baik antar daerah, antar sektor mauiun antar usaha kepariwisataan, baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar sehingga dapat terwujudnya pemerataan dan keseimbangan pengembangannya.

Karena Bali bukanlah bagian bagian terpisahkan dari negara kesatuan Republik Indonesia, maka pengembangan pariwisata Nusantara juga perlu mendapatkan prioritas. Pengembangan pariwisata Nusantara dilaksasnakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkukuh persatuandan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakkan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Sedangkan daya tarik Bali, sebagai komponen tidak terpisahkan dalam Konsep Pengembangan Pariwisata Budaya Bali, perlu ditingkatkan melalui pengembangan pariwisata budaya yang dijiwai agama Hindu serta upaya pemeliharaan kebudayaan daerah yang mencerminkan ketinggian budaya dan kebesaran bangsa, serta didukung dengan promosi yang memadai" (199: 72).

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka Desa adat Bali mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan pariwisata budaya. semua orang memaklumi bahwa daya tarik Bali terhadap wisatawan, tidaklah semata karena keindahan alamnya, lebih dari pada itu adalah budayanya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan memantapkan peranan, fungsi,dan wewenang Desa adat, maka sesungguhnya semua aspek budaya yang didukung oleh masyarakat Bali akan menjadi daya tarik kepariwisataan yang bila dipelihara dan dikembangkan dengan baik akan menjamin kalangsungan kehidupan pariwisata (sustainable tourism) di daerah ini. Dalam Desa adat berkembang seni budaya, kehidupan masyarakat yang sejahtra, pengamalan ajaran agama dalam prilaku dan aktivitas ritual agama yang senantiasa akan menarik wisatawan sepanjang masa. Di samping itu Desa adat berperanan pula dalam pengembangan kawasan wisata, mengawasi penyalah gunaan simbol-simbol keagamaan dan juga berperanan dalam mencegah pendatang liar yang masuk ke Bali, utamanya di wilayah palemahan Desa adat di Bali.

Lebih lanjut, tentang peranan Desa adat dalam pengembangan pariwisata budaya, kami kutipkan pendapat Dr. Pitana, sebagai berikut:
"In reducing actual and potential pressure associated with the rapid development of tourism in Bali, Bali must help distribute tourists to other islands. this is important, firstly, to reduce burden of Bali associatedwith tourism development, and secondly, to help other islands grow, and become growth center outside Bali. By the development of growth center outside Bali, migration to Bali, and its associated impacts can be reduced.
All players in tourism sector should remeber by heart, that it is the Balinese and their culture, who contribute significantly to the success of tourism development. Hence, there is a duty for all to respect them and help them maintain they dignity in whatever forms. This is key for the sustainable tourism development. To ease the channeling of tourism support for culture, there is a need to establish a solid bridging institution"
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Desa adat di Bali sesungguhnya sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya. Peran tersebut akan maksimal dapat dilaksanakan bila fungsi, peranan dan wewenang Desa adat berjalan dengan baik.

IV. SIMPULAN
1. Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang.

2. Desa adat sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya di daerah ini bilamana fungsi, peranan dan wewenang Desa adat dapat berjalan dengan baik. Pada Desa -Desa adat yang berkembang seni budaya dan kehidupan masyarakatnya sejahtra, fungsi, peranan dan wewenang Desa adat berjalan mantap.

3. Desa adat Bali mampu menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi ini bila potensi dan pemberdayaan Desa adat dapat sepanjang pelestarian kebudayaan Bali dan lingkungannya tetap dijaga keajegannya.

Daftar Pustaka
1. Bagus, I Gusti Ngurah1999 : Awas "Drakula Budaya", Harian Bali Post 23 Juni 1999
2. Goris, R. 1954 : Inscripties Voor Anak Wungsu, I, Univer-sitas Indonesia, Massa Baru, Bandung
3. Kepala Bidang Bimas Hindu Kanwil Dep. Agama Prop. Bali 1977/1978 : Desa adat Bali Menghapi Kepariwisataan,Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Baali, Denpasar
4. Majelis Pembina Lembaga Adat Dati I Bali1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar
5. I Gusti Ngurah Oka 1999 : Dasar Historis dan Folosofis serta tantangan ke depan, Keberadaan Desa adat di Bali, M.P.L.A. Prop.Bali, Denpasar
6. Pandurang Vaman Kane, 1990 : History of Dharmasastra, Vol .II,Part II, BarodaUniversity Press, India
7. Pitana, I Gede 199419941999 :: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, DenpasarBalancing the opposing worlds, Reinventing Cultural Tourism as A strategy for sustainable Tourism Development in Bali, International Seminar on "Sustainable Tourism: balinese Perspective, Denpasar, 3 Agustus 1999
8. Purwita, Ida Bagus Putu1984 : Desa adat dan Banjar Adat Bali, Percetakan Kawi Sastra, Denpasar
9. Rangarajan, L.N 1987 : Kautilya, The Arthashastra, Pinguin Books,Calcuta, India
10.Tri Budhi Satrio 1999 : Pariwisata Budaya, Sebuah Konsep Omong Kosong, International Seminar on "Sustainable Tourism: balinese Perspective, Denpasar, 3 Agustus 1999
11. Widnyana, I Made 1999 : Pemberdayaan Lembaga Adat Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Materi MatrikulasiPra-Pasca, Program Pasca Sarjana kajian Budaya,Universitas Udayana, Denpasar, 20 juli 1999

Sumber Tulisan: http://www.parisada.org
-

Arsip Blog

Recent Posts