Belajar dari Rumah Kampung Naga

Ketika gempa menggoyang Tasikmalaya, Jawa Barat, 2 September lalu, warga Kampung Naga tidak panik. Tidak ada pula rumah rusak. Rumah mereka luwes menghadapi getaran gempa.

Peristiwa terbilang langka terjadi di Kampung Naga, sebuah kampung adat tradisional di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, yang terletak 30 kilometer dari kota Tasikmalaya. Kamis (5/11) lalu, warga bergotong royong menggeser rumah sejauh sekitar 30 meter ke lokasi baru. Penggeseran rumah semacam itu terakhir kali terjadi di kampung itu sekitar 30 tahun silam.

Rumah seukuran 7,50 X 4,80 meter itu digeser, didorong, dan diputar 180 derajat dari posisi semula dan masih dalam keadaan utuh. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, lantai dari kayu, tiang dan kusen kayu, rusuk dari bambu, dan atap ijuk tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Tak kurang dari 80 orang terlibat dalam kerja kolosal itu. Seseorang bertindak sebagai pemberi komando. Sekitar 50 orang kebagian tugas mendorong rumah dari tiga sisi. Sisa yang lain bertugas menarik dan mengungkit rumah dengan tuas.

Proses pemindahan menggunakan teknologi sederhana. Pada dasar rumah dipasang batang-batang pohon pinang yang berfungsi sebagai roda pemudah gerak. Di atas batang-batang pohon pinang itulah rumah digeser-geser. Pemindahan berlangsung sekitar tiga setengah jam mulai pukul 07.00 hingga 10.30.

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Barat Pon S Pura Jatnika yang menyaksikan penggeseran rumah itu memuji daya lentur rumah di Kampung Naga. Guncangan saat rumah itu digeser, katanya, lebih besar dari getaran gempa Tasikmalaya yang berkekuatan 7,3 skala Richter. Rumah itu digeser, tetapi bentuk awal rumah tak berubah, kata Jatnika.

Selaras dengan alam
Juru kunci Kampung Naga, Ade Suherlin (50), mengibaratkan bangunan di sana sebagai tubuh manusia, ada kepala yaitu atap rumah, ada badan yang bertumpu di atas kaki, yaitu tiang dari batu kali yang dipendam di tanah. Semua bagian yang ada pada tubuh manusia juga ada pada rumah kami, jadinya kuat, papar Ade.

Tiang-tiang bangunan itu disambung tanpa paku besi, melainkan memakai sistem knockdown dan ikat yang memungkinkan gerakan lentur.

Hanya 1,5 hektar dari Kampung Naga seluas 10 hektar dijadikan tempat tinggal, sekitar 5 hektar adalah hutan larangan yang mutlak tak boleh disentuh, sisanya dipakai untuk sawah, kebun, dan makam. Dengan cara ini, selain ketersediaan air terjamin, juga kampung yang berada di ceruk ini terjaga dari tanah longsor. Kami hidup bersama dengan alam, tambah Ade.

Gempa tidak menimbulkan kerusakan pada 113 bangunan di Kampung Naga yang dihuni lebih dari seratus keluarga. Warga kampung yang tengah berada di dalam rumah pun tidak ketakutan. Justru yang tengah berada di luar rumah merasa takut, seperti dialami Ayo Sunaryo (53), petani Kampung Naga.

Saya sedang menebang bambu dan getaran terasa keras. Saya takut tanah longsor. Tetapi, di rumah panggung seperti ini, saya malah tidak gentar, tidak panik menghadapi gempa, kata Ayo di emperan rumah panggungnya.

Elastisitas rumah Kampung Naga dimungkinkan oleh materi bahan dan fondasi yang tidak ditanam di dalam tanah. Rumah menggunakan bahan ringan seperti kayu dan bambu. Fondasi diangkat ke atas tanah, bukan ditanam ke dalam seperti rumah tembok di kota, menjadikan rumah lebih lentur menghadapi getaran, kata Jatnika.

Tiang rumah bertumpu pada batu. Antara permukaan tanah dan lantai rumah itu terbentuk kolong setinggi sekitar setengah meter. Ketika ada gampa, rumah ikut bergoyang menyesuaikan gerak getaran. Hal ini berbeda dengan rumah dengan konstruksi beton yang masif yang sifatnya bertahan dari getaran gempa.

Sikap hidup
Konstruksi rumah yang duduk di atas fondasi yang diangkat di atas tanah, menurut arsitek Yori Antar, banyak dijumpai di rumah tradisional Indonesia. Kearifan lokal itu hasil pengalaman empiris masyarakat selama ratusan tahun sehingga menghasilkan bangunan yang sesuai dengan alam lingkungan tempat tinggal.

Rumah Nias adalah contoh konstruksi bangunan tradisional yang berkembang sangat canggih dengan banyak konstruksi penyangga kayu yang membuat bangunan di sana tahan menghadapi gempa, kata Yori yang banyak mendokumentasi arsitektur tradisional.

Arsitektur rumah, menurut arsitek Eko Prawoto, berkaitan dengan sikap hidup manusia. Mereka (warga Kampung Naga) menerima, tidak menentang alam. Mereka berada dalam kesatuan yang utuh dengan alam, kata Eko, arsitek yang mengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

Dengan arsitektur elastis semacam itu, rumah di Kampung Naga mempunyai penyeimbang untuk melawan gerak gempa. Sebagian energi gempa di- counter, tetapi tidak frontal. Ini seperti halnya pohon yang mempunyai toleransi gerak, kata Eko.

Arsitektur tradisional mempunyai logika semacam itu. Hal itu, dikatakan Eko, merupakan akumulasi pengalaman ratusan tahun menghadapi fenomena alam seperti gempa, banjir, dan angin. Dari pengalaman itu mereka menemukan sistem dan arsitektur seperti terlihat di Kampung Naga, Toraja, Nias, dan lainnya.

Apa yang bisa dipelajari orang modern dari kearifan lokal Kampung Naga? Lihatlah spirit dan sikap mereka terhadap alam. Buatlah konstruksi ringan agar risiko (terhadap gempa) kecil. Orang sering hanya mengejar bentuk dan menganggap beton sebagai simbol kemodernan, tetapi impact -nya sangat besar bila terjadi gempa.

Dalam pengalaman Yori dengan rumah tradisional di Wairebo, Flores, Nusa Tenggara Timur, dan rumah-rumah tradisional di berbagai tempat, arsitektur tradisional berangkat dari pengalaman konkret sekitar.

Sayangnya, kearifan untuk menyatu dengan alam itu terputus ketika manusia semakin modern. Menjadi modern diartikan secara sempit: membangun rumah tembok tanpa berdialog dengan lingkungan sekitar. Yang tradisional tidak lagi ditengok karena dianggap kuno, kata Yori. (Arbain Rambey)

Sumber: Frans Sartono dan Ninuk M Pambudy http://regional.kompas.com/
-

Arsip Blog

Recent Posts