Di Balik Upacara Palebon

Tebing-tebing berceruk Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Senin (15/2) malam, menjadi saksi puncak upacara Palebon. Sebuah upacara pengabuan jenazah cara Jawa yang konon hampir 500 tahun tak lagi diadakan di tanah Jawa. Sepenggal misteri dalam sejarah bangsa seperti menyeruak dari kegelapan.

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Udara malam yang pekat asap dupa beraroma cendana memenuhi ceruk tebing karang Pantai Ngobaran. Gumaman doa dalam bahasa Sansekerta berbaur debur ombak pasang. Sang pemuput (pemimpin upacara) ritual Nganyut, Pedande Sri Kanjeng Begawan Istri Agung Ratu Gayatri, menarik busur panah. Sekuntum sekar tanjung ungu yang menjadi anak panahnya terlontar ke arah laut.

Kembang tanjung itu, yang dimaksudkan membuka jalan arwah ke Sang Pencipta itu, menjadi puncak ritual Nganyut atau melarung abu jenazah ke laut lepas. Sanak kerabat Rama Pandita Djajakoesoema (1923-2007) dan istrinya, Ratu Pandita Estri (wafat tahun 2006), menuruni karang beriringan sambil mengusung abu.

Abu jenazah pemimpin Hindu Kejawen atau keyakinan Budaya Tirta itu pun dilepas ke laut lepas. Dikembalikan pada alam, tepat 1.111 hari setelah wafatnya.

Bersamaan dengan itu, selesai sudah rangkaian upacara Palebon yang dimulai di Padepokan Segaragunung di punggung Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, sejak Kamis (11/2). Di Pantai Ngobaran maupun di lereng Gunung Lawu itu, ratusan pengikut Hindu Kejawen teguh menjalani keyakinannya.

Kepercayaan lama
Konon, upacara Palebon yang terakhir diselenggarakan bagi Prabu Brawijaya V, yang diyakini sebagian orang sebagai raja terakhir Majapahit. Akhir riwayat Brawijaya V dihabiskan dalam persembunyian di tempat-tempat terpencil karena menghindari kejaran pasukan Demak. Pasukan Demak dipimpin Raden Patah.

Prabu Brawijaya V juga sering dikaitkan dengan pembangunan Candi Sukuh dan Candi Cetha yang memiliki desain unik. Menurut cerita, selain di sekitar Candi Cetha dan Candi Sukuh yang terdapat di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, Brawijaya mendalami Hindu Kejawen dan menjadi resi. Dia juga sempat tinggal di Pantai Ngobaran, Gunung Kidul.

Di pantai indah dan terpencil itu masih terdengar cerita Brawijaya melakukan pati obong demi melindungi para pengikutnya. Tak ada dokumen atau prasasti yang memastikan kebenaran cerita raja terakhir Majapahit itu. Namun, seluruh kisah itu terus hidup di masyarakat di daerah Ngobaran, Gunung Kidul, yang diwariskan turun-temurun.

Terputus masa
Kebudayaan Hindu Jawa atau akhir dari kerajaan besar Majapahit seolah terputus masa dan tak terlacak lagi kisahnya. Asal muasal Candi Sukuh dan Cetha hingga kini berselimut misteri. Upacara- upacara Hindu Kejawen pun tak dikenal lagi. Bahkan, untuk upacara Palebon ini, keluarga mencari referensi ke Bali.

Meskipun tidak mengenal Palebon, guru besar Arkeologi dari Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, mengatakan, besar kemungkinan upacara memperabukan jenazah itu lazim dilakukan masyarakat Jawa pada masa Hindu. "Karena saat itu masyarakat Hindu memang melakukan kremasi pada keluarganya yang meninggal. Ini mungkin yang kemudian terbawa ke Bali dan menjadi Ngaben," katanya.

Diduga upacara Palebon tidak lagi dikenal karena sudah lama tidak dipraktikkan. Salah satu sebabnya diduga karena mahal. Meskipun telah disederhanakan, Palebon Rama Pandita Djajakoesoema, misalnya, butuh biaya ratusan juta rupiah.

Peradaban Hindu di Jawa terlacak sejak abad IV atau jauh lebih tua daripada Hindu di Bali yang mulai dikenal pada abad XI. Menurut sejarah, sejumlah penganut Hindu dari Jawa terdesak hingga ke Bali dan meneruskan peradaban di Pulau Dewata tersebut. Banyak ritual Hindu yang dilestarikan sebagai tradisi budaya di Jawa, di antaranya wayang, ketoprak, serta ritual-ritual masyarakat seperti merti air atau merti bumi.

Terlepas dari perdebatan benar-salah, fakta atau fiksi, Palebon di Pantai Ngobaran menunjukkan sepenggal sejarah bangsa yang bersaput misteri. Sebuah budaya yang kini tinggal dalam kegelapan masa lalu....

IRENE SARWINDANINGRUM

-

Arsip Blog

Recent Posts