Inilah Makna Jamasan Pusaka

Bagi mereka yang tidak memahami kultur Jawa, termasuk anak-anak muda Jawa generasi sekarang sekali pun jamasan pusaka mungkin tak lagi dipahami maknanya.

Menurut berbagai literatur, jamasan dari kata jamas yang artinya cuci, membersihkan, mandi. Jamas adalah bahasa Jawa kromo inggil (tingkatan paling tinggi/halus), sementara bahasa ngoko-nya (paling kasar) adalah kumbah. Sehingga, jamasan bisa diartikan sebagai kegiatan mencuci, membersihkan, atau memandikan. atau ngumbah.

Sedangkan pusaka adalah berbagai benda yang dikeramatkan atau dipercayai mempunyai kekuatan tertentu, seperti gong, keris, tombak, kereta pusaka, dan berbagai macam jenis pusaka lainnya.

Dengan demikian, jamasan pusaka lalu diartikan sebagai kegiatan mencuci senjata, yang biasanya dilakukan di bulan Suro, khususnya persis di malam tanggal 1 Suro. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan dan pantangan. Masyarakat Jawa hampir selalu menghindari melakukan suatu kegiatan besar di bulan ini, karena takut akan tulahnya.

Lalu kenapa memandikan pusaka harus dilakukan di bulan Suro? Lebih spesifik lagi di malam satu Suro?

Menurut Murtjipto (2004) dalam bukunya Fungsi dan Makna Siraman Pusaka Mangkunegaran di Selogiri Kabupaten Wonogiri, maksud dan tujuan jamasan pusaka untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman. Sebab, bagi sebagian masyarakat Jawa, benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Apabila tidak dirawat, mereka percaya "isi" yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau akan hilang sama sekali, dan hanya berfungi sebagai senjata biasa.

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara jamasan pusaka juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini di antaranya sebagai berikut:

Tahap pengambilan pusaka yang disimpan di tempat tertentu

Tahap tirakatan (bersemadi)

Tahap arak-arakan

Tahap pemandian atau jamasan pusaka.

Proses mencuci pusaka pun tidak tertutup, tetapi publik boleh melihatnya bahkan sering di antara mereka berebut air yang menetes pada pusaka yang dijamasi itu.

Dahulu penyelenggaran upacara jamasan pusaka dilakukan setiap satu tahun sekali pada hari Jumat pertama di bulan Suro. Namun saat ini, setelah dikemas untuk kepentingan kepariwisataan, upacara jamasan kerap dilakukan diluar bulan Suro dengan alasan untuk menarik wisatawan asing maupun domestik.

Upacara jamasan ini sendiri bila dicermati lebih dalam mengandung nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius.

Nilai kebersamaan tercemin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, doa bersama demi keselamatan bersama pula. Sedangkan nilai ketelitian tercermin dari proses upacara iitu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnnya.

Persiapan itu tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semua harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan lancar. Untuk itu dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotongroyongan tercemin dari berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling membantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

Sumber: http://oase.kompas.com/
-

Arsip Blog

Recent Posts