Perhiasan: Tinjauan Sejarah pada Masa Kerajaan

Oleh Tim Wacana Nusantara

Pada masa lalu, perhiasan tidak sekadar dipakai sebagai aksesoris untuk menghiasai badan agar penampilan kelihatan cantik dan menarik tetapi juga difungsikan sebagai pelengkap sebuah upacara. Penggunaannya sebagai sarana upacara dapat kita temukan dalam prasasti Jawa Kuno, antara lain disebutkan bahwa dalam upacara penetapan sima (desa perdikan) ada rangkaian pemberian hadiah (pasek-pasek) kepada para pejabat berupa kain (wdihan), cincin, serta uang mas dan perak. Kitab Sumanasantaka (sekitar abad ke-12) menyebutkan hadiah yang diberikan itu (gelang, kalung, cincin) diperuntukkan bagi mereka yang menguasai tingkat kepandaian dalam bidang seni musik, tari, dan satra.

Jenis perhiasan dari masa klasik kebanyakan berupa mahkota, jamang, tusuk konde, hiasan telinga, kalung, bandul, selempang dada, gelang lengan (Jawa: kelat bahu), gelang, cincin, dan jempang (penutup kelamin anak perempuan). Jenis perhiasan yang ditemukan pada arca batu dan perunggu tidak seluruhnya dari logam, seperti ikat pinggang dan ikat pinggul yang dibuat dari kulit atau kain tebal, melainkan dilengkapi gesper emas (Jawa: timang) yang kadang-kadang dihiasi batu mulia. Selain itu ada hiasan uncal, yaitu semacam sabuk kecil yang tergantung di depan kedua paha, mulai dari ikat pinggul menggantung ke bawah, pada bagian ujungnya dihiasi jumbai dari logam. Pada arca-arca masa Majapahit hiasan uncal panjangnya sampai betis, hampir hingga ke mata kaki; sedangkan pada arca dari masa Jawa Tengah dan Jawa Timur awal, panjangnya hanya sampai ke lutut atau sedikit di bawah lutut.

Di Trowulan banyak ditemukan perhiasan emas, tetapi hanya sedikit yang sampai ke tangan pemerintah. Sejak 1950 hingga 1960-an banyak penggali liar mencari emas (ngendang) di situs ini yang kemudian diam-diam mereka jual. Sekarang kegiatan ngendang tidak ada lagi, tetapi berganti dengan kegiatan desktruktif juga, yaitu menggali tanah untuk dijadikan bahan pembuatan bata. Pada 1991 pengrajin bata di Desa Nglinguk menemukan 9 buah perhiasan emas (2 gelang, 2 rantai kalung–satu diantaranya dengan liontin—dan masing-masing 1 buah cepuk dan penutupnya, wadah dan fragmen rantai. Temuan ini termasuk yang bermutu tinggi. Sebelum itu, tahun 1976, pernah ditemukan kowi (wadah pelebur logam) berukuran kecil (diameter 5 cm). Temuan ini mengingatkan kita akan kegiatan pengrajin emas di masa lalu, tempat mana kini dibadikan sebagai nama sebuah desa, Desa Kemasan, di sebelah barat Segaran.

Dalam NBG yang terbit pada tahun 1881 disebutkan bahwa di Dusun Bedok, Sooko, ditemukan 10 buah benda emas di dalam cepuk perunggu yang terdiri dari anting-anting, gelang lengan, fragmen liontin, dan hiasan hulu pedang. Temuan tersebut kini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta.

Di antara perhiasan tersebut terdapat satu tipe hiasan “kepala raksasa” dengan mulut terbuka yang di dalamnya terdapat sebuah batu berwarna hijau. Sebuah benda emas, berbentuk bulat dengan relief kerawang pada kedua permukaannya, dalam beberapa sumber disebut sebagai hiasan telinga. Tetapi pendapat ini masih diragukan karena salah satu permukaan benda tersebut dapat dilepas, jadi dapat berfungsi sebagai penutup. Mungkin benda itu merupakan wadah tertutup untuk menempatkan wewangian. Relief pada salah satu permukaan menggambarkan pola sulur dan sangkha bersayap di bagian tengahnya. Permukaan yang lain berpola kelopak bunga padma. Sangkha bersayap tampaknya merupakan motif hias yang populer sejak masa Jawa Tengah dan tidak selalu terkait dengan Dewa Wisnu, meski sangkha adalah satu atribut Dewa Wisnu.

Ada pula benda yang reliefnya tidak jelas, mungkin digantungkan sebagai penghias yang biasa dipasang didada atau pada rambut. Museum Nasional Jakarta menyimpan dua hiasan berelief ini yang sangat menarik yaitu koleksi No. 6816 dan 6914. Koleksi No. 6816 memunyai relief yang menggambarkan Dewa Surya menaiki kuda, dikelilingi lingkaran yang mengeluarkan sinar dalam bentuk segitiga yang runcing ujungnya. Motif lingkaran bersinar ini biasanya disebut “sinar Majapahit”, dan umum dijumpai pada arca maupun relief candi abad ke-14-15. Koleksi No. 6914 juga merupakan hiasan serupa, memunyai relief yang menggambarkan salah satu adegan dalam cerita Ramayana. Gambar itu melukiskan dua ekor kera berjalan di air dengan junjungan batu karang di atas kepalanya.

Dari Mojoagung, sebelah barat Trowulan, didapatkan dua buah kalung berbentuk kawat atau tali polos. Salah satu kalung berbentuk bulat penuh dan yang lainnya pipih. Kalung ini dikenakan ketat di leher. Meski polos, tanpa hiasan apa pun, bentuk kalung dari abad ke-14 ini dapat diasumsikan sebagai hasil seni post modern.

Kalung yang lain, juga tidak berbentuk rantai, melainkan berupa pilinan kawat yang karena itu disebut sebagai kalung untiran (Jawa: untir = pilin). Kalung ini juga dikenakan ketat di leher dan di bagian tengah terdapat pasak yang dapat dibuka.

Teknik Pembuatan
Teknik yang secara umum digunakan untuk pembuatan benda-benda emas adalah cor (penuangan logam cair) dan penempaan (menempa lembaran tipis dengan palu/kayu). Sesudah itu baru dilakukan penyempurnaan dengan poles dan sebagainya. Salah satu variasi dari penempatan adalah repousse, yaitu menempelkan lembaran emas pada batu atau logam lain yang sudah bermotif, kemudian dipukul-pukul sehingga terbentuk relief yang cembung pada lembaran tersebut. Beberapa di antara benda emas merupakan benda yang berongga, dibuat dari lembaran emas tipis.Untuk memperkuat lembaran emas tadi di bagian dalam diperkuat dengan perunggu (pada bagian yang tak kelihatan) dan lubang. Antara emas dan perunggu diisi dengan tanah liat halus yang tidak dibakar.

Sumber: http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=7

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/243/perhiasan:-tinjauan-sejarah-pada-masa-kerajaan
-

Arsip Blog

Recent Posts