Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang

Oleh Abdul Hadi W. M.

Jawa Timur adalah provinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura, dengan tiga sub-etnik yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo, Osing di Banyuwangi, dan Samin di Ngawi. Dalam sejarahnya, kedua suku bangsa tersebut telah lebih sepuluh abad mengembangkan tradisi tulis dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pengalaman estetik mereka.

Pada akhir abad ke-18, masing-masing menggunakan bahasa yang jauh berbeda dalam penulisan kitab dan karya sastra–Jawa dan Madura. Akan tetapi, kesusastraan mereka memiliki akar dan sumber yang sama, serta berkembang mengikuti babakan sejarah yang sejajar. Pada zaman Hindu, kesusastraan mereka satu, yaitu sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam bahasa Kawi dan aksara Jawa Kuno. Setelah agama Islam tersebar pada abad ke-16, bahasa Jawa Madya menggeser bahasa Jawa Kuno. Pada periode ini dua aksara dipakai secara bersamaan, yaitu aksara Jawa yang didasarkan tulisan Kawi dan aksara Arab Pegon yang didasarkan huruf Arab Melayu (Jawi).

Pigeaud (1967:4-7) membagi perkembangan sastra Jawa secara keseluruhan ke dalam empat babakan: Zaman Hindu, Zaman Jawa-Bali, Zaman Pesisir, dan Zaman Surakarta dan Yogyakarta.

Zaman Hindu berlangsung pada abad ke-9 hingga ke-15. Puncak perkembangan sastra pada periode ini berlangsung pada zaman Kerajaan Kadiri (abad ke-11 dan 12), dilanjutkan dengan zaman Kerajaan Singasari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M).

Zaman Jawa-Bali pad abad ke-16 hingga ke-19. Setelah Majapahit diruntuhkan Kerajaan Demak pada akhir abad ke-15, ribuan pengikut dan kerabat raja Majapahit pindah ke Bali. Kegiatan sastra Jawa Kuno dilanjutkan di tempat tinggal mereka yang baru ini.

Zaman Pesisir berlangsung pada abad ke-15 hingga ke-19. Pada zaman ini kegiatan sastra berpindah ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam.

Zaman Surakarta dan Yogyakarta berlangsung pada abad ke-18 hingga ke-20. Pada akhir abad ke-18 di Surakarta, terjadi renaisans sastra Jawa Kuno dipelopori oleh Yasadipura I. Pada masa itu karya-karya Jawa Kuno digubah kembali dalam bahasa Jawa Baru. Lebih kurang tiga dasawarsa kemudian, karya pesisir juga mulai banyak yang disadur atau dicipta ulang dalam bahasa Jawa Baru di keraton Surakarta.

Khazanah Sastra Jawa Timur
Khazanah sastra zaman Hindu dan Islam Pesisir–dua zaman yang relevan bagi pembicaraan kita--sama melimpahnya. Keduanya telah memainkan peran penting masing-masing dalam kehidupan dalam masyarakat Jawa dan Madura. Pengaruhnya juga tersebar luas tidak terbatas di Jawa, Bali, dan Madura.

Karya-karya pesisir ini juga memengaruhi perkembangan sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin, Pasundan, dan Lombok (Pigeaud, 1967:4-8). Di antara karya Jawa Timur yang paling luas wilayah penyebarannya ialah siklus cerita Panji. Versi-versinya yang paling awal diperkirakan ditulis menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15 M (Purbatjaraka, 1958). Cerita mengambil latar belakang di lingkungan Kerajaan Daha dan Kadiri. Versi roman ini, dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, Melayu, Siam, Khmer dan lain-lain, sangat banyak. Dalam sastra Melayu terdapat versi yang ditulis dalam bentuk syair, yang terkenal di antaranya ialah Syair Ken Tambuhan dan Hikayat Andaken Penurat.

Tetapi bagaimana pun, yang dipandang sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Kuno ialah kakawin seperti Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau karya-karya yang ditulis lebih kemudian seperti Nagarakretagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna, Pararaton, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-kisah dari Mahabharata), dan lain-lain (Zoetmulder, 1983: 80-478). Apabila sumber sastra Jawa Kuno terutama sekali ialah sastra Sansekerta, seperti diperlihatkan oleh puitika dan bahasanya yang dipenuhi kosa kata Sansekerta; sumber sastra pesisir ialah sastra Arab, Parsi, dan Melayu. Bahasa pun mulai banyak meminjam kosa kata Arab dan Parsi, terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep keagamaan.

Kegiatan sastra posisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak, dan Jepara. Di kota-kota inilah komunitas-komunitas Muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka pada umumnya terdiri dari kelas menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini kegiatan sastra pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, dan ke Sumenep dan Bangkalan di Pulau Madura. Pengaruh sastra pesisir ternyata tidak hanya terbatas di Pulau Jawa. Disebabkan mobilitas para pedagang dan penyebar agama Islam yang tinggi, kegiatan tersebut juga menyebar ke luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin, dan Lombok. Pada abad ke-18 dan ke-19, dengan pindahnya pusat kebudayaan Jawa ke keraton Surakarta dan Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra pesisir juga berkembang di daerah-daerah Surakarta dan Yogyakara, serta tempat lain di sekitarnya seperti Banyumas, Kedu, Madiun, dan Kediri (Pigeaud, 1967: 6-7).

Khazanah sastra pesisir tidak kalah melimpahnya dibanding khazanah sastra Jawa Kuno. Khazanah tersebut meliputi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya, Madura, dan Jawa Baru, dan dapat dikelompokkan menurut jenis dan coraknya sebagaimana pengelompokan dalam sastra Melayu Islam, seperti berikut:

1. Kisah-kisah berkenaan dengan Nabi Muhammad Saw.
2. Kisah para nabi, di Jawa disebut Serat Anbiya. Dari sumber ini muncul kisah-kisah lepas seperti kisah Nabi Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Yunus, Isa.
3. Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
4. Kisah para wali seperti Bayazid al-Bhiztami dan Ibrahim Adam.
5. Hikayat raja-raja dan pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar Manik, Umar Umayya dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Madura, dan Sunda disebut Serat Menak.
6. Sastra Kitab, uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir Al-Quran, hadis, ilmu fiqih, usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahu (tatabahasa Arab), adab (sastra Islam), dengan menggunakan gaya bahasa sastra.
7. Karangan-karangan bercorak tasawuf. Dalam bentuk puisi karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan dalam bentuk kisah perumpamaan atau alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan kisah-kisah didaktis, di antaranya yang mengandung ajaran tasawuf.
8. Karya ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik dan pemerintahan, diselingi berbagai cerita.
9. Karya bercorak sejarah.
10. Cerita berbingkai, di dalamnya termasuk fabel atau cerita binatang.
11. Roman, kisah petualangan bercampur percintaan.
12. Cerita jenaka dan pelipur lara, misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti Hajar Che’Man,1996; Pigeaud I, 1967: 83-7).

Yang relevan untuk pembicaraan ini ialah No. 7, karangan-karangan bercorak tasawuf dan roman yang sering digubah menjadi alegori sufi. Karangan-karangan bercorak tasawuf disebut suluk dan lazim ditulis dalam bentuk puisi atau tembang. Jumlah karya jenis ini cukup melimpah. Contohnya ialah Kitab Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga, Mustika Rancang, Suluk Malang Sumirang, Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabris, Suluk Jatirasa, Suluk Johar Mungkin, Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), Suluk Jebeng. Pun demikian dengan kisah perumpamaan dan didaktis seperti Sama’un dan Mariya, Masirullah, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika, dan Syeh Majenun (Pigeaud I: 84-88).

Agak mengejutkan juga karena dalam kelompok ini ditemukan kisah didaktis berjudul Bustan, yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M, Syekh Sa’di al-Syirazi, yang petikan sajak-sajaknya dalam bahasa Persia terdapat pada makam seorang Muslimah Pasai, Naina Husamuddin yang wafat pada abad ke-14. Dalam khazanah sastra pesisir juga didapati karya ketatanegaraan dan pemerintahan seperti Paniti Sastra dan saduran Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) dari Aceh. Saduran Tajus Salatin dalam bahasa Jawa ini ditulis dalam bentuk tembang. Karya-karya kesejarahan tergolong banyak, di antaranya: Babad Giri, Babad Gresik, Babad Demak, Babad Madura, Babad Surabaya, Babad Sumenep, Babad Besuki, Babad Sedayu, Babad Tuban, Kidung Arok, Juragan Gulisman (Madura) dan Kek Lesap (Madura). Ada pun roman yang populer, di antaranya: Cerita Mursada, Jaka Nestapa,Jatikusuma, Smarakandi, Sukmadi; sedangkan dari Madura ialah Tanda Anggrek, Bangsacara Ragapadmi, dan Lanceng Prabhan (ibid). Karya-karya pesisir lain dari Madura yang terkenal ialah Caretana Barakay, Jaka Tole, Tanda Serep, Baginda Ali, Paksi Bayan, Rato Sasoce, Malyawan, Serat Rama, Judasan Arab, Menak Satip, Prabu Rara, Rancang Kancana, Hokomollah, Pandita Rahib, Keyae Sentar, Lemmos, Raja Kombhang, Sesigar Sebak, Sokma Jati, Rato Marbin, Murbing Rama, Barkan, Malang Gandring, Pangeran Laleyan, dan Brangta Jaya. Penulis-penulis pesisir awal pada umumnya ialah para wali dan ahli tasawuf terkemuka seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Panggung dan Syekh Siti Jenar.

Yang amat disayangkan ialah karena dalam daftar yang terdapat dalam katalog-katalog naskah Jawa Timur, nama pengarang dan penyalin teks jarang sekali disebutkan. Namun, sejauh mengenai teks-teks dari Madura, terdapat beberapa nama pengarang terkenal pada abad ke-17 hingga ke-19 yang dapat dicatat. Misalnya Abdul Halim (pengarang Tembang Bato Gunung), Mohamad Saifuddin (pegarang Serat Hokomolla dan Nabbi Mosa), Ahmad Syarif, R. H. Bangsataruna, Sasra Danukusuma, Umar Sastradiwirya dan lain-lain (Abdul Hadi, 1981). Penelitian ini tidak akan membahas semua karya yang telah disebutkan, karena apabila dilakukan maka pembicaraan akan menjadi sangat luas. Supaya terfokus, pembicaraan akan ditumpukan pada suluk-suluk karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, yang sedikit banyak mencerminkan kecenderungan umum sastra pesisir awal. Beberapa alasan lain dapat dikemukakan di sini.

Pertama, kajian terhadap karya Jawa Kuno telah banyak dilakukan baik oleh sarjana Indonesia mau pun asing, sedangkan karya pesisir masih sangat sedikit yang memberi perhatian. Padahal pengaruh karya pesisir itu tidak kecil terdahap kebudayaan masyarakat Jawa Timur. Pengaruh tersebut meliputi bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, etika, psikologi, dan estetika, karena yang diungkapkan karya-karya pesisir itu mencakup persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam bidang-bidang tersebut.

Kedua, selama beberapa dasawarsa Sunan Bonang hanya dikenal sebagai seorang wali dan belum banyak yang membahas karya-karya serta pemikirannya di bidang kerohanian, kebudayaan, dan agama. Kajian yang cukup mendalam sebagian besar dilakukan oleh sarjana asing seperti Schrieke (1911), Kraemer (1921), dan Drewes (1967). Sarjana Indonesia yang meneliti, namun tidak mendalam ialah Purbatjaraka (1938). Selebihnya pembicaraan mengenai Sunan Bonang hanya menyangkut kegiatannya sebagai wali penyebar agama Islam.

Ketiga, suluk sebagai karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang, memunyai pengaruh besar terhadap kehidupan spiritual masyarakat Jawa Timur. Mengingkari peranan suluk dan sastra suluk adalah mengingkari realitas budaya masyarakat Jawa Timur.

Keempat, suluk-suluk Sunan Bonang mencerminkan babakan sejarah yang penting dalam kebudayaan Jawa, yaitu zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlangsung secara damai.

Kelima, suluk-suluk tersebut merupakan karya bercorak tasawuf paling awal dalam sejarah sastra Jawa secara umum, dan pengaruhnya tidak kecil bagi perkembangan sastra pesisir.

Sunan Bonang Sebagai Pengarang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada awal abad ke-16 M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada tahun 1622 (de Graff & Pigeaud, 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra, juga dikenal ahli falak, musik, dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah, dan lain-lain (Djajadiningrat, 1913; Purbatjaraka, 1938; Drewes, 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari nama tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan uzlah) dan pesantren di Desa Bonang, tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah seperti berzikir, mengaji Al-Quran dan tirakat (Abdul Hadi, 2000: 96-107).

Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum pindah ke Campa pada akhir abad ke-14, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada tahun 1401 lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya, mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu Kertabhumi. Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak Adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memeroleh beberapa putra dan putri. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Djajadiningrat ,1983: 23; Sunyoto, 1995: 48).

Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan mubalig yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Quran, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin Masjid Singkal di Daha, Kediri (Kalamwadi, 1990: 26-30). Di sini dia memulai kariernya pertama kali sebagai pendakwah. Ketika Masjid Demak berdiri pada 1498, Sunan Bonang menjadi imamnya untuk yang pertama. Dalam menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo, dan para wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503 M, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih Desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan persujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di persujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf kepada salah seorang muridnya, Wujil, seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem keraton Majapahit (Abdul Hadi, 2000: 96-107).

Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia pun pulang ke Tuban. Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang mubalig, pendidik, budayawan, dan sastrawan terkemuka hingga masa akhir hayatnya. Dalam sejarah sastra Jawa Pesisir, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi) baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polifonik yang sangat meditatif dan kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa (yang kemudian disebut Bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan Jawa.

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol (Drewes, 1968). Kedua, karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dengan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

Suluk-suluk Sunan Bonang
Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain. Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana kerohanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan rohani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan rohani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memeroleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan rohani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi), dan faqr (Abdul Hadi, 2002:18-19).

Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan "diri jasmani" dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode kerohanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memeroleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (ibid).

Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman kerohanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal.

Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu, dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Schimmel, 1983). Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq). Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut.

Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud. Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang. Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu "keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuitit atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal". Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat Al-Quran 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui perumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap). Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. mutawilah (muta`awillah);
2. mutawassitah (Mutawassita);
3. mutakhirah (muta`akhira).

Yang pertama, syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat Al-Quran 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang kedua, ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap, “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga, adalah syahadat yang diucapkan para nabi, wali, dan orang mukmin sejati.

Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan, dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus, dan jujur. Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya, dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.

Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi: “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).

Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahwasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakikat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perbuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal sukma (roh) yang berada di dalam tubuhnya. Roh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas, dan asapnya. Roh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui.
Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketahuilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna

Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dengan gurunya, Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya "pedang yang tajam", biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas, 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes, 1968:12).

Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani, 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.

Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan ke-16) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.

Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut:

Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual, dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari Hindu ke Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi (dalam babad diidentikkan dengan Brawijaya V) dari perkawinannya dengan seorang putri Cina Muslim.

Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam, dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah. Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka, 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuno yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafat Sunan Bonang, tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa. Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa.

Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang, dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sansekerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran kerohanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil (Inilah cerita si Wujil)
Matur sira ing sang Adinira (Berkata pada guru yang diabdinya)
Ratu Wahdat (Ratu Wahdat)
Ratu Wahdat Panenggrane (Ratu Wahdat nama gurunya)
Samungkem ameng Lebu talapakan sang Mahamuni (Bersujud ia di telapak kaki Syekh Agung)
Sang Adhekeh in Benang (Yang tinggal di Desa Bonang)
Mangke atur Bendu (Ia minta maaf)
Sawetnya nedo jinarwan (Ingin tahu hakikat)
Saprapating kahing agama kang sinelit (Dan seluk beluk ajaran agama)
Teka ing rahsya purba (Sampai rahasia terdalam)

2
Sadasa warsa sira pun Wujil (Sepuluh tahun lamanya sudah)
Angastupada sang Adinira (Wujil berguru kepada Sang Wali)
Tan antuk warandikane Ri kawijilanipun (Namun belum mendapat ajaran utama)
Sira wujil ing Maospait (Ia berasal dari Majapahit)
Ameng amenganira (Bekerja sebagai abdi raja)
Nateng Majalanggu (Sastra Arab telah ia pelajari)
Telas sandining aksara (Ia menyembah di depan gurunya)
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti (Kemudian berkata seraya menghormat)
Anuhun pangatpada (Minta maaf)

3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih (Dengan tulus saya mohon)
Ing talapakan sang Jati Wenang (Di telapak kaki Tuan Guru)
Pejah gesang katur mangke sampun manuh pamuruh (Mati hidup hamba serahkan)
Sastra Arab paduka warti (Sastra Arab telah Tuan ajarkan)
Wekasane angladrang (Dan saya telah menguasainya)
Anggeng among kayun (Namun tetap saja saya bingung)
Sabran dina raraketan (Mengembara ke sana-ke mari tak berketentuan)
Malah bosen kawula kang aludrugi (Bosan sudah saya dulu hamba berlakon sebagai pelawak)
Ginawe alan-alan (Menjadi bahan tertawaan orang)

4
Ya Pangeran ing sang Adigusti (Ya Syekh al-Mukaram)
Jarwaning aksara tunggal (Uraian kesatuan huruf)
Pengiwa lan panengene (Dulu dan sekarang)
Nora na bedanipun (Yang saya pelajari tidak berbeda)
Dening maksih atata gendhing (Tidak beranjak dari tatanan lahir)
Maksih ucap-ucapan (Tetap saja tentang bentuk luarnya)
Karone puniku (Namun tak menemukan sesuatu apa)
Datan polih anggeng mendra-mendra (Meninggalkan semua yang dicintai)
Atilar tresna saka ring Majapait (Saya meninggalkan Majapahit)
Nora antuk usada (Sebagai penawar)

5
Ya marma lunganging kis ing wengi (Diam-diam saya pergi malam-malam)
Angulati sarasyaning tunggal (Mencari rahasia Yang Satu )
Sampurnaning lampah kabeh (Dan jalan sempurna )
Sing pandhita sundhuning (Semua pendeta dan ulama hamba temui)
Angulati sarining urip (Agar terjumpa hakikat hidup)
Wekasing jati wenang (Akhir kuasa sejati)
Wekasing lor kidul (Ujung utara selatan)
Suruping radya wulan (Tempat matahari dan bulan terbenam)
Reming netra lalawa suruping pati (Akhir mata tertutup dan hakikat maut)
Wekasing ana ora (Akhir ada dan tiada)

Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi, dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.

Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:

6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi (Ratu Wahdat tersenyum lembut)
Heh ra Wujil kapo kamangkara (Hai Wujil, sungguh lancang kau)
Tan samanya pangucape (Tuturmu tak lazim)
Lewih anuhun bendu (Berani menagih imbalan tinggi)
Atunira taha managih (Demi pengabdianmu padaku)
Dening geng ing sakarya (Tak patut aku disebut Sang Arif)
Kang sampun alebu (Andai hanya uang yang diharapkan)
Tan padhitane dunya (Dari jerih payah mengajarkan ilmu)
Yen adol warta tuku warta ning tulis (Jika itu yang kulakukan)
Angur aja wahdat (Tak perlu aku menjalankan tirakat)

7
Kang adol warta tuhu warti (Siapa mengharap imbalan uang)
Kumisum kaya-kaya weruha (Demi ilmu yang ditulisnya)
Mangke ki andhe-andhene (Ia hanya memuaskan diri sendiri)
Awarna kadi kuntul (Dan berpura-pura tahu segala hal)
Ana tapa sajroning warih (Seperti bangau di sungai)
Meneng tan kena obah (Diam, bermenung tanpa gerak)
Tinggalipun terus (Pandangnya tajam, pura-pura suci)
Ambek sadu anon mangsa (Di hadapan mangsanya ikan-ikan)
Lirhantelu outihe putih ing jawi (Ibarat telur, dari luar kelihatan putih)
Ing jro kaworan rakta (Namun isinya bewarna kuning)

8
Suruping arka aganti wengi (Matahari terbenam, malam tiba)
Pun Wujil anuntu maken wraksa (Wujil menumpuk potongan kayu)
Badhi yang aneng dagane (Membuat perapian, memanaskan)
Patapane sang Wiku (Tempat pesujudan Sang Zahid)
Ujung tepining wahudadi (Desa itu gersang)
Aran dhekeh ing Benang (Di tepi pantai sunyi di Bonang)
Saha-saha sunya samun (Bahan makanan tak banyak)
Anggaryang tan ana pala boga (Hanya gelombang laut)
Ang ing ryaking sagara nempuki (Memukul batu karang)
Parang rong asiluman (Dan menakutkan)

9
Sang Ratu Wahdat lingira aris (Sang Arif berkata lembut)
Heh ra Wujil marangke den enggal (Ingatlah Wujil, waspadalah, kemarilah!)
Tur den shekel kukuncire (Dipegangnya kucir rambut Wujil)
Sarwi den elus-elus (Seraya dielus-elus)
Tiniban sih ing sabda wadi (Tanda kasih-sayangnya)
Ra Wujil rungokna, sasmita katenggun (Wujil, dengar sekarang)
Lamun sira kalebua (Jika kau harus )
Ing naraka isung dhewek angleboni (masuk neraka karena kata-kataku)
Aja kang kaya sira (Aku yang akan menggantikan tempatmu)

… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil (Sadarilah dirimu)
Den yatna uripira neng dunya Ywa sumambar angeng gawe (Jangan ceroboh dan gegabah hidup di dunia ini)
Kawruhana den estu (Bukan yang Haqq)
Sariranta pon tutujati Kang jati dudu sira (Dan Yang Haqq bukan dirimu)
Sing sapa puniku weruh rekeh ing sariri (Orang yang mengenal dirinya)
Mangka saksat wruh sira (Asal usul semua kejadian)
Maring Hyang Widi (Akan mengenal Tuhan)
Iku marga utama (Inilah jalan makrifat sejati)

Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka "pengetahuan diri" dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. Pengetahuan diri di sini terangkum dalam pertanyaan: apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, "diri" yang dimaksud penulis sufi ialah "diri rohani", bukan "diri jasmani", karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam Al-Quran, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai hamba-Nya. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi.

Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un (Dari Allah kembali ke Allah). Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah. Seperti penyair sufi Arab, Persia ,dan Melayu, Sunan Bonang–dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf–menggunakan baik simbol (tamsil) yang diambil dari budaya Islam universal mau pun dari budaya lokal.

Tamsil-tamsil dari budaya Islam universal yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekah (tempat Kabah atau Rumah Tuhan) berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari Mahabharata), dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenal Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.

Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai Jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkat.

Kepustakaan
Abdullah Ciptoprawiro. 1984. “Filsafat Jawa dalam Dialog”, ceramah di TIM Jakarta, 11 Juli.
Abdul Hadi W. M. 1981. “Beberapa Informasi tentang Sastra Madura”. Sronen No.2, September 1981:11-15.
——————— 1999. Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.
——————— 2000. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
——————— 2002. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Affifi, Abu’l `Ala. 1964. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibn al-`Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.
Agus Sunyoto. 1995. Sunan Ampel. Surabaya: LPLI Sunan Ampel.
Al-Attas, S. Muhammad Naquib. 1971. Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sha`ir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man. 1996. Sastra Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
de Graff, H. J & Pigeaud, T.H.. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Demak. Jakarta: Grafitti Press dan KITLV.
Drewes, G. W. J. 1968. “Javanese Poems dealing with or Attiributed to the Saint of Bonang”, BKI deel 124.
————– 1978. The Admonition of Seh Bari, The Hague: Martinus Nijhoff.
al-Hujwiri, Ali Utsman. 1990. Kasyful Mahjub: Risalah Tasawuf Persia Tertua. Terjemahan Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W. M. Bandung: Mizan.
Hussein Djajadiningrat. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Jambatan – KITLV..
Kalamwadi, K. 1980. Serat Darmogandul. Semarang: Dahara Press.
Kramer H. 1921. "En Javaansche Primbon uit de Zestiende eeuw". Disertasi. Leiden.
Mir Valiuddin. 1980. Contemplative Discipline in Sufism. London – The Hague: East- West Publications.
Pegeaud, T. H. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff
Purbatjaraka, R. Ng. 1938. “Soeloek Woedjil: De Geheime Leer van Soenan Bonang”. Djawa 1938, No. 3-5.
———————– 1958. Kapustakan Jawi. Jakarta: Jambatan.
Risvi, S. A. 1978. A History of Sufism in India. Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd.
Schimmel, Annemarie. 1981. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press.
Schrieke, B J. O. 1911. "Het Boek van Bonang". Disertasi. Leiden
Smith, Margareth. 1972. Reading from the Mystics of Islam. London: Luzac & Company Ltd.
Suyadi Pratomo. 1985. Ajaran Rahasia Sunan Bonang. Jakarta: Balai Pustaka.
al-Taftazani, Abu al-Wafa. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terjemahan A. Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka.
Zoetmulder, P. J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan– KITLV.

-

Arsip Blog

Recent Posts