Tenun Sengkang, Tenun Leluhur yang dirajut dengan Benang Sutera Impor

Makassar, Sulsel - Tenun sutera sengkang punya aneka motif khas Makassar dengan warna cerah. Warisan leluhur ini sudah terkenal hingga Malaysia dan Singapura. Dari tangan 30 perajin, seorang pengusaha tenun sutera sengkang bisa meraup omzet hingga Rp 200 juta per bulan.

Wajo, kabupaten yang terletak di Sulawesi Selatan dan berbatasan langsung dengan Teluk Bone, punya kekayaan tenun sutera. Daerah ini memiliki industri tenun sutera, mulai dari hulu hingga hilir, dari petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera. Hasil akhirnya, tenun sutera sengkang yang dinikmati di berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga. Sengkang diambil dari nama ibukota Kabupaten Wajo.

Tenun sengkang bermotif cobo, makkalu, balo tettong, dan balo renni. Ada pula motif serupa ukiran Toraja dan aksara Bugis. Beraneka motif itu dirangkai benang sutera dengan warna menyala, seperti oranye dan kuning. Tapi, tenun sengkang masih mengandalkan kelihaian tangan. Dari tenunan itu bisa lahir tiga macam tenun, yakni ikat, polos, dan variasi.

Tenun sutera polos tidak bermotif, hanya bermain di satu warna benang. "Tenun ikat memakai dua hingga tiga warna benang yang disatukan," kata Enteng Diana Tantu, pemilik Mahardika. Sedangkan tenun variasi adalah perpaduan ikat dan polos.

Tenun sutera sengkang merupakan usaha turun-temurun. Kurnia Syam, misalnya. Ia generasi kelima pemilik Arni Kurnia, produsen tenun sutera sengkang yang punya showroom di Jalan Somba Opu, Makassar. Kurnia bilang, sejak kakek buyutnya merintis usaha tenun, baru gedokan yang dipakai. Ini alat tenun untuk bikin sarung sutera. Sejak tahun 1950-an datang alat tenun dari Jawa yang akhirnya dipakai sebagai alat utama menenun.

Dari 30 perajin, Arni Kurnia menghasilkan 90 meter (m) tenun sutera tiap hari. "Rata-rata seorang perajin bisa menenun tiga meter per hari," ungkap Kurnia, 46 tahun.

Sebulan, Kurnia menjual 1.000 hingga 2.000 m tenun sutera sengkang. Ia mematok harga jual tenun polos Rp 50.000 hingga Rp 125.000 per meter, Rp 60.000 sampai Rp 200.000 per meter tenun ikat. Omzet Kurnia pun mencapai Rp 200 juta saban bulan.

Kurnia menjual karyanya melalui showroom-nya kemudian dipasok ke Jakarta. Tiap bulan ia mengirim 200 meter.

-

Arsip Blog

Recent Posts