Upacara "Palebon": Kebangkitan "Hindu Jawa"

Oleh Ardus Sawega

Tirta puspa lawan dupa/ Kumelun ngambar arum mawar, Katur Hyang Kawasa/ Ratu-ratuning narendra/ Ninging nala, nanging rumegung nala sru sumenyut/ Mugi sihing padukendra/ Pasinga cahya rahayu....

Nyanyian "Panjang Ilang" yang dilantunkan secara kor oleh para sisya (umat) yang terdiri dari pria dan wanita setengah baya yang mengenakan busana dan ikat kepala warna hitam, diiringi tabuhan gamelan satu-satu itu lebih mirip dengungan serangga.

Menggema di antara perbukitan yang didominasi tanaman teh yang mengurung lokasi upacara palebon atau ngaben di Padepokan Segaragunung, Ngargoyoso, Karanganyar, Senin (15/2) siang. Suara nyanyian mereka monoton, berirama tlutur (sedih), mengalun-tersendat. Menimbulkan suasana khidmat sekaligus mistis, mengiringi hampir sepanjang upacara palebon jenazah Rama Pandita Djajakoesoema dan Ratu Pandita Estri.

Upacara ini dilaksanakan di area ukuran 4 meter x 15 meter yang berlereng curam, di ujung padepokan sederhana, sekitar 400 meter dari jalan yang menghubungkan Candi Sukuh-Candi Cetha, di punggung Gunung Lawu.

Para peserta upacara berjejalan, termasuk tamu, wartawan, dan beberapa wisatawan asing, di lereng bagian atas dan samping. Mereka tampak antusias menyaksikan upacara kremasi jenazah secara Hindu yang langka karena konon sudah 500 tahun terakhir tidak lagi dilaksanakan di Jawa, terutama di sekitar Gunung Lawu.

Rangkaian upacara palebon dimulai pada Kamis (11/2) dengan mengangkat jenazah Djajakoesoema (1923-2007) dan istri dari makam. Puncak ucapara palebon Senin kemarin dimulai persis pukul 10.00 dengan memasukkan kedua jenazah ke dalam bade berupa patung kayu berbentuk sapi.

Setelah disembahyangkan secara Hindu yang dipimpin Ida Pedanda Gede Putra Manuaba dari Badung, Bali, didampingi Sri Kanjeng Bhagawan Istri Ratu Gayatri dari Boyolali, kremasi pun dimulai dengan menggunakan kompor khusus dari minyak tanah. Kremasi baru selesai pukul 13.10 karena hujan deras.

Sebagian abu jenazah ditempatkan dalam tempurung kelapa gading, selanjutnya dilarung di pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebagian lagi disimpan dalam wadah-wadah dari gerabah untuk disimpan keluarga.

Menurut Agung Arjuna (53), almarhum ayahnya mengembangkan agama Hindu yang sinkretik dengan budaya lokal, Jawa. "Setelah tidak berdinas di militer, beliau menekuni laku talak brata, bertapa dari satu tempat ke tempat lain," paparnya.

Almarhum mengembangkan spiritualisme yang didasarkan pada Hinduisme yang pernah berkembang di sekitar Lawu. Keberadaan Candi Sukuh, Cetha, Pelanggatan, Panggung, dan Kethek di sekitar Gunung Lawu bukti bahwa kawasan itu pernah menjadi "pusat" agama Hindu. Ini diperkirakan pada abad ke-15 ketika Majapahit runtuh.

Djajakoesoema kemudian menjalani diksa (pentahbisan) sebagai pendeta Hindu di Bali pada 1993, mendirikan Padepokan Segaragunung, dan mengembangkan ajaran spiritualisme "baru".

"Almarhum pada dasarnya tidak sebatas agama Hindu, ajarannya bersifat universal. Semua umat beragama terwadahi di padepokan ini," kata Agung.

Mardiyoto (70), cantrik dari Klaten, menambahkan, almarhum mengajarkan tentang kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari budaya tirta yang intinya pembinaan budi pekerti yang luhur.

-

Arsip Blog

Recent Posts