Bintang-bintang di Ranjang

Cerpen Dede Syachroni

Mawar keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk. Lalu duduk di depan cermin. Mendekatkan dan mengamati wajah yang cantiknya dalam cermin. Edo sedang menyandarkan tubuhnya di ranjang, dengan rokok di tangan yang terselip di antara jarinya.

“Kau suka jadi Pelacur?” tanya Edo sambil memandang punggung Mawar. Sejenak Mawar berhenti dari geraknya di depan cermin, seolah merasa aneh mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dan seperti itu dari Edo.

“Ya, harus suka.” jawab Mawar sambil menoleh kearah Edo. Dan kemudian membalik arah tubuhnya menghadap Edo,” Memang apa lagi yang bisa aku lakukan?” Edo mengangkat bahunya, ”Aku tidak tahu. Sepertinya masih banyak yang bisa kamu lakukan? Memang tidak ada keinginan di hati kamu keluar dari pekerjaan ini?” Mawar tertawa,”Siapa yang mau sama aku? Pelacur gitu loh!” “Kamu kan tidak tahu akan hal itu.” “Justru karena aku sangat tahu. Makanya aku tertawa mendengar ucapanmu.” “o-oh..” “Kenapa?! Kamu mau jadi suamiku?” tanya Mawar sambil tersenyum menggoda.

Edo sendiri jadi kebingungan menerima pertanyaan seperti itu. Geraknya jadi sedikit salah tingkah, dengan wajah berubah memerah “Hmm..bukan begitu. Aku sudah tunangan.” Mawar kembali tertawa “Dasar laki-laki! Sudah punya pasangan, masiiih.. aja jajan di luar”

“Jangan begitu, doong…. Aku sangat mencintai calon istriku itu. Tidak mungkin aku melakukan hubungan sex dengannya.” Tawa Mawar semakin keras mendengar ucapan Edo, ”Apa aku bilang?! Aku sangat tahu bagaimana laki-laki itu.”

“Tapi tidak semua laki-laki seperti yang kamu pikirkan.” bantah Edo. “Mungkin… Kemungkinannya hanya sekitar 0,99 % saja” Mawar membalikan tubuhnya kembali menghadap cermin dan melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. “Yaa..biar begitu, tetap saja ada kan?” Edo masih tetap mencoba membela diri. “Yup! Antara ada dan tiada!”

“Akh! Terserah kamu saja. Aku sebenarnya juga mau jadi suami kamu. Jika seandainya saja aku belum tunangan,” Edo mulai kesal dengan sikap acuh Mawar. Mawar tersenyum kembali, ”Tapi.. apakah kamu mencintai aku? Atau semua itu kamu lakukan karena kasihan kepadaku?”

“Hmm.. aku tidak dapat menjawab hal itu” Kembali Edo di buat tak berdaya oleh pertanyaan balik dari Mawar. Mawar kembali pada tawanya,”Apa kubilang?! Kau sendiri tidak mampu menjawab pertanyaanku. Jika aku harus hidup dengan kamu tanpa ada dasar cinta sama sekali. Itu sama saja aku melacurkan diriku sama kamu.”

“Tidak selalu begitu. Biar bagaimana pun, cinta bisa hadir atas kebersamaan yang setiap saat kita jalani.” Mendengar ucapan Edo, Mawar bangkit dari meja rias dan mendekati Edo. Lalu rebah di sisi nya. “Yaa..mungkin! Tapi berapa banyak waktu yng terbuang sebelum akhirnya cinta itu datang?”

“Aku tidak tahu…” Kembali ucapan Mawar membuat Edo melepaskan pandangan dalam ketidaktahuan untuk menjawab pertanyaan dengan pasti. “Segala kemungkinan memang bisa terjadi.” Mawar menyelipkan rokok di bibirnya. Korek dinyalakan. Tak lama kemudian bara yang tercipta beriring dengan asap yang keluar dari sela-sela bibir dan hidungnya. ”Dan kau tahu? Seberapa banyak dari mereka yang menikah atas dasar cinta pada awalnya. Lalu hubungan mereka berakhir dengan sikap saling menyakiti. Setelah itu, cinta berubah menjadi kebencian dan berakhir begitu saja tanpa ada yang berarti lagi” “Mungkin…”

“Mungkin?” Mawar kembali tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan Edo yang selalu singkat ketika ia terdesak.” Tapi tetap saja. Semua yang kamu katakan tadi hanya berandai-andai saja. Omongan gombal dari lelaki hidung belang seperti kamu” Mawar tertawa menggoda. Dan sepertinya Edo membenarkan ucapan Mawar kali ini. “Hahaha…kamu benar!”

“Jadi?...”

“Jadi? Aku jadi nafsu lagi, nih! Mari kita lanjutkan!” Dengan segera Edo memeluk tubuh Mawar dan mengecup pipinya. “Dasar laki-laki!” Mereka akhirnya saling melepas senyum bahagia. Pergulatan kembali terjadi diatas ranjang.

* * *

Setelah hampir satu jam mereka melampiaskan hasrat mereka. Edo kini berada di sisi ranjang tempat Mawar sebelumnya, kembali menyandarkan tubuhnya. Sedang Mawar memeluk tubuh Edo, dengan kepala rebah di dada. Rokok dihisap dalam-dalam oleh Edo. Asap kemudian menari-nari di udara. “Kau tahu kenapa aku selalu memilihmu untuk menuntaskan hasratku?” “Karena aku paling cantik! Karena ukuran dada dan bokongku besar!” Edo tertawa mendengar ucapan Mawar.

Di kecupnya kening Mawar. “Dasar pelacur!” Mawar kini yang tertawa,”Tapi suka kan?!” Edo menganggukan kepala,”Iya. Selain itu kamu berbeda. Ada sesuatu yang menarik dari kamu. Itu terbukti dari perbincangan kita tadi” Tapi aneh. Kali ini Mawar sama sekali tidak tersenyum atau tertawa senang. Wajahnya berubah seperti menahan desir kesedihan yang mulai merambat masuk kedalam hatinya. Dan sepertinya Edo menyadari itu. “Hei…” tegur Edo. Mawar mencoba tersenyum. Tapi terasa hambar kali ini.“Maaf…” “Kok tiba-tiba jadi cengeng?!” “Biasalah.. Pelacur juga kan punya hati.” Edo tertawa.

“Iya.iya.. tapi kamu kenapa?” Mawar melepaskan pelukannya. Tidur terlentang memandang langit-langit kamar hotel. Sesaat dia menatap mata Edo. “Kau tahu, Do? Kata-kata yang kamu ucapkan itu, pernah keluar dari mulut laki-laki yang begitu aku cintai.” Edo mengerutkan dahi tidak percaya. “Iya. Dia laki-laki pertama yang telah mengenalkan aku pada cinta.” Mawar mecoba menjelaskan maksud ucapannya. “Orang yang istimewa buat kamu?”

“Tidak..”

“lho?!”

“Karena dia juga yang telah menghancurkan kehidupanku hingga seperti sekarang” Edo tertegun. Rasa bersalah mulai menghinggapi hatinya, “Maafkan aku…”

Mawar malah tersenyum. Kata maaf itu begitu berarti bagi dirinya saat ini. Kata maaf yang di ucapkan tulus dari seorang laki-laki, meskipun dia hanya seorang pelanggan. ”Tidak apa-apa. Itu masa lalu!”

“Hmm.. aku tidak bermaksud membuka kenangan buruk itu.” Mawar kembali tersenyum, betapa ia bisa melihat ketulusan dari sikap dan ucapan Edo. Dikecupnya pipi Edo, ”Tidak apa-apa. Terima kasih sudah bersimpati kepadaku” “Aku suka kamu….” ucap Edo lirih.

Tapi hal itu malah di tanggapi Mawar dengan sikap menggoda, ”Suka apa Cinta?...” Edo diam tertunduk, ”Aku tidak tahu…”

Mawar selalu senang melihat Edo yang selalu kebingungan menjawab candaan dirinya. Kembali dia memeluk tubuh Edo dan merebahkan kepalanya.”Aku tahu…” ucap Mawar kemudian.

Edo sedikit terkejut dan menatap wajah Mawar. Tapi pelacur itu malah menyembunyikan wajahnya dalam pelukan yang semakin erat.

“Maksud kamu,” tanya Edo penasaran.

“Iya. Aku tahu. Jika kamu memang tidak tahu..”

“Aku tidak mengerti maksud kamu”

“Kamu tidak perlu bersusah payah untuk mengerti ucapanku.” “Tapi…” “Sudahlah, Do…”

Mereka berdua hening sesaat. Berlarian dalam pikiran mereka masing-masing. Kedekatan mereka memang hanya sekedar bisnis semata. Demi hasrat birahi yang harus dibayar pada akhirnya. Menjadi keakraban yang tersendiri atas seringnya mereka bertransaksi. Setelah sekian lama berdiam diri. “Kamu benar-benar mencintai tunanganmu, Do?” tanya Mawar kemudian.

Edo mengangguk, ”Sepertinya begitu.” Dahi Mawar berkerut mendengar ucapan Edo, ”Kok, jawabnya jadi ragu-ragu begitu?” Edo malah tertawa,”Kau tahu sendirilah.. aku selalu menjawab,’tidak tahu’ setiap kali aku bingung harus berkata apa”

“Dasar!..” Mereka kembali hening. Ucapan itu kadang datang dan pergi begitu cepat. Seolah sama-sama menunggu apa yang kemudian harus dikatakan dalam pertemuan yang sangat jarang ini.

“Bagaimana jika aku menikah nanti?” Kini Edo yang memulai percakapan itu. “Maksudnya?”

“Iya. Sepertinya aku akan berhenti menggunakan jasamu lagi.”

Mawar tersenyum getir mendengar ucapan Edo. Tapi ia bisa mengerti akan situasi dan keadaan yang ada. “Itu hak kamu. Toh, kamu memang selalu membayar aku selama ini” ucap Mawar kemudian. Edo memeluk tubuh Mawar, ”Aku sepertinya akan sangat merindukan saat-saat seperti ini nanti bersama kamu.”

“Telepon saja aku. Seperti biasanya…”

“Tidak. Aku tidak ingin mengkhianati istriku.” Percakapan itu kembali berhenti. Hening. Masing-masing berkutat dengan apa yang terlepas dari pikiran dan perasaan mereka. Tapi tiba-tiba Mawar bangkit dari rebahnya. Wajahnya berubah menjadi serius, ”Kapan kamu akan menikah?”

“Kenapa?”

“Jawab saja! Kapan?”

“Bulan depan.”

Mawar melepas senyum penuh arti. Ditatapnya wajah Edo lekat-lekat dan hal itu membuat Edo sedikit heran melihat sikap Mawar. “Ada apa? Kok senyumnya aneh begitu?” Mawar tidak menjawab. Di sibakannya selimut yang menutup bagian bawah tubuh Edo.

“Hei!...” Edo segera menahan gerak kepala Mawar. Mawar berucap, ”Sttt..! diam saja. Ini bonus dari aku. Nikmati saja!” Edo tersenyum, “Dasar pelacur!”

Semua yang mungkin akan terjadi untuk terakhir kalinya di antara mereka berdua. Semua keakraban yang tercipta hanya karena sebuah transaksi semata. Apa yang dirasa? Hanya mereka yang tahu. ….

Tangerang, 16-juni-2011

Mengenai penulis; Belum merasa menjadi penulis. Dan jika di anggap penulis, maka menganggap diri sendiri sebagai penulis abal-abal, penulis kacangan yang tidak mempunyai bakat, bekal dan kemampuan apa-apa untuk menjadi penulis. Selain keinginan untuk tetap belajar dan belajar.

-

Arsip Blog

Recent Posts