Jejak Bahari Kota Kapur

Oleh Nurhadi Rangkuti
(Kepala Balai Arkeologi Palembang)

Pagi itu tepi perairan Selat Bangka beriak tanda tak dalam. Perahu perlahan mendekati pantai barat Pulau Bangka, melewati gugusan Pulau Hantu, Pulau Medang, dan Pulau Kecil. Gugusan pulau itu seolah melindungi sebuah tempat kuno yang sedang dituju penumpang perahu. Semakin dekat ke pantai semakin jelas sosok sebuah bukit yang menonjol di balik hutan mangrove yang memagari pantai. Penduduk menyebutnya Bukit Besar.

Tiga arkeolog yang menumpang perahu beranggapan, ketampakan Bukit Besar dari laut sebagai penunjuk arah lokasi situs Sriwijaya yang terletak di dataran kaki bukit itu. Mereka membayangkan ketika para pelaut zaman dulu menjadikan bukit itu sebagai pedoman memasuki mulut sebuah sungai menuju tempat kedatuan Sriwijaya di pantai barat Pulau Bangka.

Memasuki mulut Sungai Mendo, deru mesin perahu memecah kesunyian hutan mangrove yang terhampar di sepanjang sungai. Sekitar 15 menit menelusuri sungai, tibalah di dermaga Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Napak tilas pun segera berakhir ketika kaki kembali menginjak tanah di situs Kota Kapur.

Bangkai perahu kuno
Telah 10 hari tim melakukan penelitian arkeologi situs Kota Kapur yang terletak di tepi Sungai Mendo. Situs ini berada pada dataran dari perbukitan yang dikelilingi rawa dan dibentengi gundukan tanah yang memanjang di bagian barat, timur, dan selatan situs.

Dataran yang landai dan bergelombang itu terkenal sebagai tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno yang berangka tahun Saka 608 (686 Masehi) itu disebut Prasasti Kota Kapur, merupakan prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Pertama kali pula kata Sriwijaya berhasil dibaca para ahli di prasasti itu.

Hasil penelitian kali ini menambah nilai penting situs Kota Kapur. Sejak diteliti tahun 1993 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, baru sekarang tim arkeologi beruntung menemukan bangkai perahu kuno, yakni pada 25 September 2007.

Temuan inilah yang membuat tim gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, serta Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bangka melakukan napak tilas dari Selat Bangka ke situs Kota Kapur dengan perahu.

Ada dua lokasi temuan sisa-sisa perahu yang terbuat dari jenis kayu besi itu. Penemuan pertama berada pada alur Sungai Kupang yang membelah kawasan situs dan bermuara di Sungai Mendo. Kini sungai itu telah menjadi rawa. Pada rawa yang telah menjadi kolong, kolam bekas penambangan timah inkonvensional oleh penduduk pada tahun 1998-2000, berhasil diangkat sekeping papan perahu berukuran panjang 134 cm, lebar 35 cm, dan tebal 4 cm.

Papan berlubang-lubang dengan diameter lubang rata-rata 3 cm. Pada permukaan papan terdapat 17 lubang dan bagian tepi (tebal) papan ada 20 lubang. Dua tonjolan segi empat yang dipahat di permukaan papan memiliki lubang-lubang yang tembus dengan lubang di tepi papan.

“Masih banyak papan kayu semacam itu yang terbenam dalam air,” ujar Mahadil (60), mantan Kepala Desa Kota Kapur.

Dua hari kemudian lokasi kedua ditemukan, lagi-lagi pada sebuah kolong dengan jarak sekitar 500 meter di barat Sungai Kupang. Informasi berasal dari Yanto, penduduk yang bekerja sebagai penambang timah inkonvensional. Ia mengatakan pernah menemukan pecahan papan yang diduga bekas peti di kolong itu. Tak lama kemudian tim pun berendam mengobok- obok air dan berhasil diangkat lima keping papan perahu dengan panjang 49-120 cm, lebar 8-15 cm, tebal 2-5 cm, dan diameter lubang 1,5-4 cm.

Setelah pengangkatan perahu yang kedua itu, informasi baru dari penduduk terus mengalir tentang kolong-kolong di situs Kota Kapur yang menyimpan bangkai perahu kuno. Tim arkeologi makin yakin Kota Kapur pernah menjadi pelabuhan masa Sriwijaya, bahkan pada masa sebelumnya, kemungkinan berada di sepanjang Sungai Kupang.

Tradisi Asia Tenggara
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).

Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.

Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).

Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).

Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-datu-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.

Pada bagian dalam benteng tanah terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.

Spirit Bahari
Seusai mendokumentasikan pengangkatan papan-papan perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai perahu Sriwijaya itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam kolong. Lho?

“Konservasi kayu perahu kuno yang paling murah, ya, dipendam lagi dalam rawa,” ujar seorang arkeolog sambil mengawasi tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak kayu itu apabila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk, sementara dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad.

Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak situs Kota Kapur yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai dan mewujudkan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan situs Kota Kapur kali ini. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat digali jati diri Bangka sekaligus mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata.

Penemuan bangkai perahu kuno di situs Kota Kapur merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jati diri itu sendiri. Tentang spirit bahari.

“Ya, temuan itu relevan dengan kata kepulauan yang digunakan untuk nama provinsi ini,” ujar Yan Megawanti, Kepala Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memaknai pesan masa lalu di balik bangkai perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.

Pesan tentang kejayaan bahari masa lalu dari Kota Kapur segera harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini dapat segera bangkit, maju, dan berjaya melalui dunia bahari. Jangan biarkan spirit bahari itu terpendam lagi dalam rawa. Kebangkitan bahari boleh saja dimulai dari Kota Kapur untuk semua kepulauan di Indonesia.

-

Arsip Blog

Recent Posts