Morotarium CPNS, Mengapa Terjadi?

Anak-anak muda yang bercita-cita menjadi PNS (pegawai negeri sipil) tahun ini harus menahan diri. Pemerintah menerapkan kebijakan moratorium (penghentian sementara) –berlaku di sebagian instansi– proyek penerimaan abdi negara. Langkah itu ditempuh karena jumlah PNS saat ini meluber alias terlalu banyak.

Pegawai negeri sipil saat ini tercatat 4.598.100 orang. Belum lagi ditambah pegawai honorer yang jumlahnya tidak sedikit di setiap instansi. Jumlah tersebut terlalu gemuk sehingga sangat tidak efesien dan tidak efektif.

Di sejumlah intansi, baik di level pusat maupun daerah, sering kali satu pekerjaan ringan dikerjakan oleh dua orang. Sebagai contoh, di beberapa bagian humas pemerintah daerah, pegawai yang bertugas untuk mengkliping koran saja dua orang. Akibatnya, tak jarang terlihat PNS hanya terlihat santai dan bercanda. Bahkan, budaya main catur merupakan sebuah hal yang lumrah bagi PNS untuk membunuh waktu sepi sembari menunggu jam istirahat atau pulang.

Dampak jumlah PNS yang melebihi kuota itu juga menggerogoti anggaran. Sekitar 124 daerah menggunakan APBD lebih dari 50 persen untuk membayar gaji pegawainya. Bahkan, ada 16 pemerintah daerah yang APBD-nya ’’tenggelam’’ lebih dari 70 persen hanya untuk membayar para abdi negara itu. Misalnya, Kabupaten Lumajang menghabiskan 83 persen APBD untuk membayar gaji pegawai. Lantas, bagaimana bisa membiayai pembangunan yang bertujuan menyejahterakan rakyat.

Dengan dana tersisa 17 persen, seperti yang terjadi di Lumajang itu, apa yang bisa diharapkan. Begitu juga, Kabupaten Karanganyar menyalurkan sekitar 75 persen anggaran untuk membayar pegawai. Lantas, rakyat mendapat apa dengan sisa dana yang hanya 25 persen itu. Apalagi, jumlah tersebut belum dialokasikan untuk operasional. Selain itu, dengan sisa anggaran yang minim tersebut, bagaimana pemerintah daerah merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bila tak mempunyai dana stimulus. Sebab, bisa jadi kas pemda akan kosong.

Kalau kita tarik ke belakang, melubernya jumlah PNS yang kini menjadi tanggungan besar APBD dan APBN tak terlepas dari politik pencitraan masa lalu. Berdasar data yang dikeluarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN), pertumbuhan pegawai negeri terbesar terjadi pada 2007 (9,18 persen) dan 2009 (10,80 persen).

Periode 2009 adalah yang terbesar sejak 2003. Pada periode tersebut, ada agenda nasional pemilu dan pemilihan presiden. Politik membuka keran pegawai negeri seluas-luasnya tak terlepas dari pencitraan dan upaya menarik simpati untuk peserta pemilu dan pilpres. Sulit rasanya menyebut proyek pengangkatan calon PNS secara besar-besaran pada 2009 tidak ada yang berkaitan dengan pemilu dan pilpres.

Penerimaan pegawai secara besar-besaran pada 2007 dan 2009 itu baru kita rasakan dampaknya sekarang. Saat ini pemerintah harus menguras anggaran negara dan daerah hanya untuk membayar gaji pegawai. Sementara di sisi lain, efektivitas PNS dalam melayani publik tak jarang dikritik rakyat.

Langkah moratorium penerimaan calon PNS saat ini merupakan jalan ekstrem yang, mau tidak mau, harus diambil pemerintah. Sebab, bila menerapkan pensiun dini, pemerintah juga membutuhkan dana besar untuk pesangon. Penguasa harus mengambil hikmah dari booming PNS saat ini. Kapan harus menambah PNS dan kapan tidak, serta PNS dan birokrasi bukan merupakan alat politik. (*)

-

Arsip Blog

Recent Posts