Sejarah – Nyanyian Sunyi Kota Lama

Ditulis Oleh Madina Nustrat

Sunyi menemani relung-relung kota lama ini. Plang nama jalan dan prasasti nama rumah menjadi petunjuk arah sekaligus mengabadikan sejarah kehidupannya. Sejarah yang masih terbenam dalam aktivitas keseharian warganya yang bergerak sunyi menuju pelestariannya sebagai kota lama Banyumas.

Pelestarian itu tampak pada rumah, dokumen bersejarah, kerajinan batik, ataupun makanan khas Banyumas, seperti nopia. Pelestarian itu berjalan tanpa bantuan dari pemerintah daerah setempat.

Bagi sebagian orang, Banyumas mungkin tidak lebih dikenal dibandingkan dengan Purwokerto. Tak heran kerap kali muncul pertanyaan, Banyumas itu di sebelah mananya Purwokerto. Padahal, Purwokerto adalah bagian dari wilayah dan sejarah Kabupaten Banyumas.

Dalam sejarahnya, Purwokerto merupakan ibu kota kedua setelah Banyumas tahun 1936. Berdasarkan laporan penelitian Sejarah Kota Purwokerto yang disusun Sugeng Priyadi, dosen Sejarah Universitas Muhammadiyah, Purwokerto, disebutkan bahwa Purwokerto juga merupakan sebuah kabupaten selama 1832-1935. Namun, oleh pemerintah kolonial Belanda, Kabupaten Purwokerto dihapus pada 1 Januari 1936 dan menjadi bagian dari Banyumas.

Bupati ke-19 Banyumas Soedjiman Ganda Soebrata yang menjabat selama 1934-1950 kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari ibu kota Banyumas—yang sudah lebih maju dibandingkan Purwokerto—ke kota Purwokerto. Alasannya, menurut Sugeng, Soedjiman menilai Purwokerto lebih strategis dijadikan ibu kota karena sudah dibangun jalur rel kereta api.

Sebagai kota yang dikenal cukup maju pada masanya, kota lama Banyumas yang kini menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Banyumas meninggalkan dua nama jalan dan dua nama kediaman yang cukup populer. Sebut saja Jalan Budi Utomo, warga setempat akan merujuk pada dua kediaman yang cukup dikenal dan dihormati, yakni kediaman Pangeranan dan Goemberg-an.

Nama jalan kedua adalah Jalan Mruyung. Jika menyebutnya, hanya satu yang akan diingat warga setempat, yaitu batik asli Banyumas. Hal ini merujuk pada rumah pengusaha batik keturunan Tionghoa, Hadi Prijanto, yang kini usaha batiknya dikelola anaknya, Slamet Hadi Prijanto.

Ada satu rumah lagi yang hanya sebagian kalangan warga mengenalinya, yakni kediaman Ong Keng Saey yang berdiri pada tahun 1800-an. Ong Keng Saey tergolong saudagar Tionghoa yang masuk dalam jajaran elite Banyumas karena pada masa itu ia diangkat sebagai lurah bagi orang Tionghoa.

Selain itu, rumahnya menyimpan sejarah banjir besar Sungai Serayu yang terjadi tahun 1860 dan dikenal sebagai kala betik mangan manggar. Saking besarnya banjir itu, digambarkan bahwa ikan pun bisa makan bunga kelapa atau manggar.

Ketinggian banjir masih terekam di salah satu ruangan kediaman Ong Keng Saey yang kini dirawat oleh keturunan keempatnya, Handayani (67), bersama suaminya, Keng Tie (72). Hal itu terlihat dengan torehan garis sebagai batas tertinggi banjir yang berada lima meter dari lantai dengan dilengkapi tanggal kejadian 21 Februari 1860.

Harmonis
Kota lama Banyumas berbeda dengan kota lama di Jakarta ataupun Semarang yang sarat dengan gudang penyimpanan dan kantor perdagangan. Dalam sejarahnya yang dapat ditinjau pada beberapa buku sejarah Silsilah Banyumas, kota yang memiliki luas lebih dari tiga hektar ini merupakan pengembangan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas yang didirikan tahun 1571 oleh Bupati I Banyumas Adipati Mrapat atau Djoko Kaiman.

Dari kota lama inilah bermula kemajuan ekonomi dan kehidupan harmonis orang Banyumas dengan para pendatang, saling mengisi tumbuh subur, antara lain dengan warga keturunan Tionghoa.

Cerita kehidupan itu masih tersimpan rapi dalam deretan dokumen sejarah Banyumas di Kediaman Pangeranan. Kediaman ini merupakan rumah Bupati Banyumas Ke-18 Pangeran Aria Ganda Soebrata selama 1913-1930-an, yang berada di sebelah timur Pendopo Sipanji. PA Ganda Soebrata tak lain adalah ayah Soedjiman Ganda Soebrata yang memindahkan pusat kota Banyumas ke Purwokerto.

Di dalam rumah yang cukup luas ini juga masih tersimpan koleksi peninggalan keluarga Ganda Soebrata, seperti buku harian PA Ganda Soebrata, buku-buku sejarah pemerintahan Banyumas tempo dulu yang disusun keluarga Ganda Soebrata, foto keluarga, tempat tidur, dan seperangkat gamelan yang berangka tahun 1800-an. Tak sedikit pun dari bangunan ataupun peninggalan di dalam rumah ini yang diubah.

Raden Ayu Umiasih Setiati (61) adalah cucu PA Ganda Soebrata bersama suaminya, Letnan Jenderal (Purn) James Boy Pulluan, yang sudah dua tahun terakhir menjaga dan melestarikan kediaman Pangeranan. Menurut dia, kediaman Pangeranan sebetulnya sudah dihuni sejak buyutnya, Kanjeng Pangeran Aria Mertadiredja III, menjadi Bupati Banyumas tahun 1880-1913.

Dimulai dari KPA Mertadiredja III, menurut Setiati, sikap hidup menghormati dan tenggang rasa di kalangan masyarakat Banyumas tampak kentara. Di dalam bukunya tentang Aceh, Mertadiredja III menuliskan bahwa ada seorang pemberontak dari Aceh bernama Teuku Putih atau Abdoel Rani dibuang oleh Pemerintah Belanda ke Nusakambangan.

Namun, Mertadiredja melihat bahwa Teuku Putih adalah seorang kiai yang patut dihormati sehingga dia meminta kepada Pemerintah Belanda agar Teuku Putih ditahan di Banyumas. ”Dengan kerendahan hatinya, buyut saya ini membujuk Teuku Putih agar bersedia menjadi guru mengaji.,” kata Setiati.

Selain sibuk dalam pemerintahan, keluarga Ganda Soebrata juga mengembangkan kerajinan batik. Hampir seluruh motif batik yang dimiliki keluarga, menurut Setiati, telah diserahkan kepada keluarga Hadi Prijanto yang tinggal di Jalan Mruyung. Sementara keluarga keturunan Ganda Soebrata sebagian besar hijrah bermukim di Jakarta.

Di sebelah selatan Kediaman Pangeranan, berdiri kediaman Goemberg-an yang kini dihuni keluarga Kuntarto. Disebut Goemberg-an karena pemilik semulanya adalah dr Goemberg. Tak banyak kalangan muda di Banyumas yang mengenal siapa itu dr Goemberg. Dari kalangan generasi tua di Banyumas diketahui bahwa dr Goemberg adalah satu dari sembilan dokter lulusan Stovia pendiri organisasi Boedi Oetomo pada 1908 yang menjadi tonggak sejarah munculnya kebangkitan nasional.

Keterlibatan Goemberg dalam Boedi Oetomo ini diperkuat keterangan para cucu pendiri Boedi Oetomo yang tergabung dalam Paguyuban Pengemban dan Penerus Cita-cita Budi Utomo. Kebetulan dua tahun lalu paguyuban itu berziarah ke makam dr Angka yang tak lain rekan dr Goemberg di Banyumas yang ikut mendirikan Boedi Oetomo. Ketika itu, Prastowo (62), salah seorang cucu dr Angka, mengatakan, kakeknya dan dr Goemberg adalah dua dari sembilan dokter pendiri Boedi Oetomo.

Saudagar Tionghoa
Selain ditempati kaum elite, kota lama Banyumas ini juga dihuni saudagar keturunan Tionghoa, seperti keluarga Hadi Prijanto. Rumah-rumah saudagar itu ditempatkan di sebelah selatan Pendopo Sipanji, beserta tempat ibadah mereka Klenteng Boen Tek Bio. Kediaman Ong Keng Saey merupakan salah satu tempat yang masih terawat, dengan kombinasi desain pilar rumah hasil perpaduan Jawa, Eropa, dan China sekaligus.

Selain rumah, ada peninggalan leluhur para saudagar Tionghoa ini yang masih terpelihara, yakni kue nopia. Kue berbentuk telur angsa yang sangat identik dengan Banyumas dan akrab dijajakan di atas kereta ini dipopulerkan oleh keluarga Ting Ping Siang sekitar tahun 1880.

Secara turun-temurun, kue itu diproduksi oleh anak dan cucunya hingga meluas ke Purbalingga. Ting Kiok Hiang atau Maria Kristiana Andrianto (63) adalah generasi ketiga pembuat nopia di kota lama Banyumas. Maria mengaku tetap akan mempertahankan nopia sebagai peninggalan leluhur yang akan tetap dilestarikan hingga ke anak cucunya Editor: A. Wisnubrata | Sumber : Kompas Cetak

(Sumber KOMPAS.COM, 16 Agustus 2010)
-

Arsip Blog

Recent Posts