Kiprah Sastrawan Sumbar di Ubud Writers & Readers Festival

Padang, Sumbar - Minangkabau boleh krisis intelektual tapi tidak dalam dunia sastra. Bukti mutakhir adalah dikirimnya dua orang sastrawan Sumbar, Ragdi F Daye dan Pinto Anugrah ke ajang bergengsi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), Oktober nanti.

UWRF pertama kali diselenggarakan pada 2004 sebagai respons kultural untuk mendorong pemulihan Bali sesudah bom Bali pada 2002. Festival tahunan ini kemudian berkembang menjadi salah satu festival sastra terbesar di Asia.

Beberapa tahun belakangan ini, UWRF berupaya keras menjadi wahana bagi para penulis muda Indonesia untuk memperkenalkan karya-karyanya di panggung internasional.

Jika dijumlahkan, sudah 10 sastrawan Sumbar berangkat sejak pertemuan sastrawan internasional dibuka untuk kaum muda di 2008. Jumlah itu jelas melebihi sastrawan daerah lain.

Sastrawan Gus tf Sakai berangkat pertama di 2004 atas undangan panitia. Kemudian Iyut Fitra yang berangkat 2008. menyusul susul Romi Zarman dan Esha Tegar Putra pada 2009. Tahun berikutnya, Sumbar malah mengirim empat sastrawan sekaligus, Zelfeni Wimra, Anda S, Maghriza Novita Syahti dan Arif Rizki.

Dari tahun ke tahun seleksi makin ketat. Jika 2010 hanya 105 penulis yang mengirimkan naskahnya untuk seleksi maka tahun ini ada 235 sastrawan dari 60 kota yang mengirimkan karyanya. Dan hanya 15 yang diloloskan mengikuti festival internasional itu.

Menurut Iyut Fitra, kurator UWRF tahun ini, pertama-tama yang dilihat adalah kualitas karya. Kemudian baru genre dan kultur. Penyair asal Payakumbuh ini sebenarnya mengajukan enam nama asal Sumbar. Termasuk Gusrianto, Maya Lestari GF dan Budi Saputra. Tapi karena alasan genre dan kultur akhirnya hanya dua yang terpilih. “Secara kultur, antara Gursianto dan Ragdi sama. Karena UWRF juga menjunjung keberagaman daerah akhirnya tahun ini Ragdi yang dapat,” alasannya.

Keragaman latar belakang penulis, bentuk karya dan tema ini, menurut Iyut Fitra, akan memungkinkan terjadinya diskusi dan tukar pikiran yang hangat saat para penulis terpilih ini berkumpul di Ubud. “Semoga pertukaran ide dan dialog yang terjadi selama UWRF 2011 akan saling menginspirasi para penulis dan tentunya makin meneguhkan jalinan kebangsaan kita,” ujarnya.

Tidak hanya di UWRF sebenarnya kiprah sastrawan Sumbar melonjak. Saban Minggu, nama sastrawan Minangkabau bersileweran di koran nasional. Kurnia Effendi memang melihat tiga tahun belakangan, sastrawan Sumbar terlihat mendominasi. “Subur sekali. Seperti tak habis-habisnya. Karyanya bagus-bagus,” ujar sastrawan asal Tegal ini.

Kurnia bercerita saat bertemu dengan seorang sastrawan Sumbar (dia tak sebut nama). Kurator UWRF tahun ini menyarankan si sastrawan untuk ikut seleksi tahun ini. “Tahu apa jawabnya? Saya belum matang,” cerita Kurnia. Dalam pandangannya, jawaban itu menunjukkan sastrawan Sumbar memang mementingkan kualitas.

Begitu juga dengan redaktur halaman sastra Koran Tempo, Nirwan Dewanto. Dia mengapresiasi sastrawan dari Minangkabau. Disebutnya, setidaknya ada 10 sastrawan berkualitas yang ada di Sumbar. “Di kota lain, tidak sebanyak itu,” katanya.

Mengenai kelebihan sastrawan dari Sumbar ini, Nirwan meminta penelitian lebih dalam. Tapi, dalam padangan Nirwan, ada keunikan dari cara mengalihkan sastra lisan ke tulisan yang hanya dimiliki sastrawan asal Minangkabau. Artinya, pengolahan bahasa Indonesia dengan langgam lokal mampu dipadupadankan dengan baik. Bahkan untuk penulis yang paling muda sekali pun.

Dia sempat tak percaya ketika Heru Joni Putra (yang waktu itu masih SMA) mengirimkan karya dan “mesti dimuatnya” karena layak. “Benar dia (Heru) masih sekolah?” tanyanya sewaktu bertemu di Bogor pada 2006.

Tak heran, dalam pandangannya, karya-karya penyair Sumbar bisa berbicara lebih jauh. UWRF dipandang Nirwan sebagai satu pintu untuk berkembang lebih luas. Bisa bertemu dengan penyair luar negeri. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan, UWRF bisa menghadirkan sastrawan peraih nobel. Karena itu, Kurnia mengharapkan forum seperti UWRF banyak lahir. Artinya, forum yang mementingkan kualitas.

Jejaring dan Mengenal Sastra Dunia
Forum-forum sastra memang banyak sekali belakangan ini. “Hampir sekali sebulan malah,” kata Kurnia. Di Makassar ada, Forum Makassar atau Dialog Borneo. Di Sumatra Selatan baru-baru ini juga ada pertemuan sastrawan. Sebelumnya hal serupa terjadi di Jambi.

Yang perlu jadi perhatian, ujar Kurnia, jika terlalu sering maka akan timbul kejenuhan. “Karena orang-orang yang bertemu, itu-itu saja. Agendanya terasa tidak sakral lagi,” jelasnya. Makanya, jika ada syarat-syarat ikut seperti yang ditawarkan UWRF, mungkin auranya akan lain.

Menambah jejaring menjadi satu keuntungan yang diincar peserta UWRF. Romi Zarman, peserta 2009 merasakan keuntungan tersebut. ”Bayangkan, saya yang waktu itu masih mahasiswa, bisa berkomunikasi dengan profesor India. Saya juga bisa mengenal sastra Turki, yang selama ini saya hanya dapatkan di internet,” terang alumnus Fakultas Sastra Unand ini.

Dia sangat antusias menghadiri acara tersebut. Soalnya, 80 persen pesertanya orang bule. Ini merupakan promosi sastra yang besar. Apalagi karyanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan termaktub dalam Compassion and Solidarity.

Lebih dari itu, yang akan membuat sastrawan Sumbar akan bertahan dalam pandangan Nirwan adalah karya mereka. Dia sudah menganggap Sumbar menjadi kantong sastra yang layak paling banyak melahirkan sastrawan di Indonesia dalam tujuh tahun terakhir. Ini yang mesti dipertahankan.

-

Arsip Blog

Recent Posts