Masjid Katangka, Tonggak Islam di Sulsel

Agama Islam masuk dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan diperkirakan terjadi pada abad ke-16.

Penyebaran agama Islam tersebut atas peran besar Raja Gowa ke-XIV bernama I-Mangngarangi Daeng Manrabia yang bergelar Sultan Alauddin, setelah memeluk agama Islam. Dia masuk Islam pada Jumat, sekitar tahun 1602, atas dorongan ulama dari Minangkabau, Datuk Ribandang.

Sebagai pendukung utama proses penyebaran Islam, Sultan Alauddin kemudian mendirikan Masjid yang diberi nama Al-Hilal, Katangka. Menurut pengelola Masjid, Harun Daeng Ngella, Al-Hilal mempunyai makna sebagai datangnya hari baru yang lebih baik.

Sebab pada saat itu, seluruh rakyat Gowa masih dalam aliran kepercayaan kemudian tiba-tiba menganut Islam secara berjamaah, yang dimulai dari rajanya sendiri.

Belakangan, masjid tersebut lebih dikenal sebagai Masjid Katangka, sesuai sebutan disekitar daerah tersebut. Sumber lain mengatakan, dia disebut Katangka, karena bahan baku dasar dari masjid tersebut diyakini diambil dari pohon Katangka.

“Konon kabarnya, setelah masuk Islam, Raja Gowa langsung salat Jumat di sekitar masjid ini, di bawah pohon besar bernama Katangka. Pohon tersebut lalu ditebang dan dijadikan sebagai bahan masjid,” kata Harun kepada VIVAnews, Rabu, 3 Agustus 2011.

Dua tahun kemudian, atau sekitar tahun 1605, Islam semakin mengakar di daerah Gowa. Apalagi Sultan Alauddin secara resmi mengumumkan bahwa Islam menjadi agama kerajaan.

Dengan langkah pasti, Kerajaan Gowa menyebarkan Islam ke seluruh daerah di Sulawesi Selatan dan menempatkan Masjid Katangka sebagai pusat dakwah dan penyebaran Islam.

Masjid Katangka didirikan diatas lahan sekitar 150 meter persegi. Seperti bangunan-bangunan tua kebanyakan, Masjid Katangka juga memiliki ciri khas dan simbol tersendiri. Seperti memiliki satu kubah, atap dua lapis menyerupai bangunan joglo.

Bangunan ini juga memiliki empat tiang penyangga, yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang besar dibagian tengah. Jendela masjid ini berjumlah enam serta memiliki lima pintu. Menurut Harun, bangunan tersebut didirikan tidak begitu saja, melainkan memiliki makna yang khas.

“Atap dua lapis berarti dua kalimat syahadat, empat tiang berarti empat sahabat nabi, jendela bermakna rukun iman ada enam dan lima pintu bermakna rukun islam,” jelas Harun.

Pada bagian imam, bangunan ini juga memiliki makna yang sangat filosofi, yakni dibuat lebih pendek. Sehingga orang yang akan memasukinya pasti akan menunduk. Artinya, kata Harun, agar setiap manusia selalu rendah diri dan mengakui kebesaran yang maha kuasa.

Bangunan yang telah berusia sekitar empat abad ini, sangat dipengaruhi oleh empat kebudayaan. Hal itu sangat kental terlihat pada bentuk bangunan di mimbar, tiang serta atap.

Menurut Harun, bagian kubah dipengaruhi oleh arsitektur Jawa dan lokal, tiang dipengaruhi oleh budaya Eropa sedangkan bagian mimbar sangat kental dengan pengaruh kebudayaan China, yang dibangun menyerupai klenteng.

Ciri khas lainnya, dan ini terjadi di hamper seluruh bangunan kuno adalah pada bagian dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, yakni mencapai 120 sentimeter (cm). “Penyebab utamanya karena masjid ini juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan saat Raja Gowa melawan penjajah,” papar Harun lagi.

Lalu bagaimana fungsi Masjid Katangka diabad modern ini? Menurut Harun, fungsi utamanya lebih fokus sebagai tempat ibadah. Setiap waktu shalat, masjid ini selalu ramai didatangi oleh masyarakat.

Uniknya, jamaah tersebut lebih banyak datang dari luar masyarakat sekitar. “Bisa dikatakan setiap berjamaah, maka 60 persen adalah masyarakat dari luar wilayah Katangka. Apalagi kalau shalat Jumat, itu bisa sekitar 70 persen bukan warga dari Katangka,” ungkap Harun, yang sudah delapan tahun menjadi pengurus masjid Katangka ini.

Hal serupa terjadi pada malam-malam Ramadan. Jamaah tarawih yang datang kebanyakan dari daerah yang jauh. Kemudian pada 10 malam terakhir ramadan, banyak masyarakat yang datang melakukan I’tikaf di masjid tersebut. Diantara mereka meyakini, bahwa dengan melakukan salat pada bulan Ramadan di masjid tersebut akan mendapatkan berkah yang berlipat ganda.

Keyakinan itu berdasar sebab banyak cerita-cerita yang beredar dimasyarakat yang sifatnya mistik. Salah satunya adalah air wudu yang bersumber dari sumur itu tidak pernah kering, meski sedang terjadi kemarau. Bahkan ada juga yang meyakini, air di masjid tersebut akan memudahkan ketemu jodoh serta akan awet seperti masjid tersebut.

“Tidak heran banyak para pemilik mobil baru yang datang mengambil air dan membilas kemobilnya agar awet dan tahan lama. Tapi itu tidak bisa dipercaya,” ujarnya.

Dijelaskan Harun, bahwa sejak berdiri pada tahun 1603, masjid ini telah mengalami enam kali renovasi. Pertama pada tahun 1816, atau pada masa Raja Gowa XXX atas nama Sultan Abd Rauf.

Kemudian pada 1884, yang dilakukan oleh Raja Gowa XXXII, Sultan Abd Kadir. Berturut-turut kemudian pada tahun 1963 oleh Gubernur Sulsel, tahun 1971 oleh Kanwil Dikbud Sulsel, tahun 1980, Swaka Sejarah dan Purbakala sulsel dan terakhir tahun 2007. Pada renovasi terakhir, itu dilakukan atas swadaya dari pengurus masjid dan bantuan dari masyarakat.

Setiap renovasi, hal yang paling utama adalah mempertahankan bentuk aslinya. Menurut Harun, bentuk asli merupakan penghargaan terhadap para pendiri masjid tersebut, meski sebagian bahan mengalami pengantian dan penambahan.

“Yang asli termasuk bahan, saat ini masih terdapat sekitar 60 persen. Termasuk kayu Katangka yang menjadi bahan utama dibagian atap belum kami ganti dan itu telah berumur ratusan tahun. Selebihnya bagian lantai kami ganti menjadi bahan granit,” pungkas Harun.

Sumber: vivanews.com
-

Arsip Blog

Recent Posts