Peradaban Dieng

Oleh Otto Sukatno CR, penulis

Seiring meningkatnya aktivitas vulkanis Dataran Tinggi Dieng, khususnya Kawah Timbang menyita perhatian kita. Dataran Tinggi Dieng, sejak awal abad pertama Masehi telah menjadi perhatian dunia. Bahkan dalam konteks sejarah peradaban Jawa, Dieng tempat pertama dan utama yang menyita perhatian dunia.
Hal ini dimulai dengan adanya migrasi besar-besaran orang-orang Keling (India: Hindu-Buddha), pada masa awal abad pertama Masehi. Menurut Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), migrasi besar-besaran itu bahkan diperkirakan ber-langsung hingga tiga periode (sampai kira-kira abad 3-4 M). Wajar jika secara sosial-politis, hampir seluruh ikon budaya, Dataran Tinggi Dieng berbau India. Sampai-sampai dalam The History of Java,Thomas Stanford Raffles (1781-1826), membuat peta sosial-politik Jawa berdasarkan kisah Mahabarata (Wayang).

Gunung — berdasarkan anutan nilai kosmologi arkhaik mengental dalam tradisi (teologi) Hindu-Buddha — dianggap sebagai pusat dunia/axist mundi dengan Himalaya (Mahameru/ Mahendra) atau Mount Everest sebagai prototipenya. Sehingga orang-orang arkhaik dan Hindu-Buddha menganggap gunung sebagai tempat tinggal atau surga para dewa.

Sebelum migrasi orang-orang Keling ke tanah Jawa, pertama-tama yang dilakukan mencari tempat yang pas untuk memindahkan ikonik surga yang ada di Himalaya ke tanah Jawa. Tempat yang dianggap pas itu adalah Dieng. Maka sejak itu Dieng menjadi pingkalingganing bhawana (pusat dunia).

Nama ‘Dieng’ sendiri notabene mendapatkan afirmasi dari peristiwa pemindahan simbol surga dilakukan Sang Hyang Djagadnata (Bathara Guru), sebagaimana tertuang dalam Serat Paramayoga karya R Ng Ranggawarsito — itu. Dieng yang berasal dari bahasa Sanskerta ‘Di’ artinya tempat yang tinggi atau gunung dan ‘Hyang’ artinya ‘ruh leluhur’ atau ‘dewa-dewa’ atau suatu yang diyakini sebagai dewa, ruh leluhur atau bahkan Tuhan atau makhluk-makhluk ilahiyah pada umumnya’.

Selain itu Hyang juga sering dimaknai sebagai ‘kahyangan’, ‘nirwana’ atau ‘surga’. Yakni tempat bersemayamnya ‘ruh leluhur’ atau ‘dewa-dewi’ ‘Tuhan’ atau ‘makhluk-makhluk ilahiyah’ tersebut. Dieng sekaligus juga ‘membumi’ sebab ia memang ada di bumi nyata. Suatu yang hadir di depan penampakan mata kita. Artinya bumi Dieng mustinya dapat dibangun menjadi prototipe surga yang nyata yang tergelar di alam nyata.

Itulah sebabnya sejak awal, Dieng selain sebagai sebuah sistem dan sejarah dan peradaban yang besar— dikenal dalam tata sejarah umat manusia telah diidentifikasi sebagai ‘surga atau kahyangan nirwana’ para ruh leluhur atau dewa-dewi atau makhluk-makhluk ilahiyah pada umumnya, yang menebar atau terhampar di bumi. Suatu tempat yang terus dicari dan mengalirkan makna. Di mana manusia mencoba berhubungan atau mencari jalan agregasi dengan ‘langit primordial’ keilahian. Sebuah agregasi atau bentuk hubungan yang bersifat rasional empirik (sosial) sekaligus ideal-filosofis yang bersifat esoterik (spiritual).

Candi-candi Besar
Setelah migrasi orang-orang Keling itulah kemudian terjadi proses civilisasi yang terus menerus, hingga akhirnya Dieng menjadi sebuah sistem peradaban yang besar. Sekaligus tonggak berdirinya Wangsa Mataram Kuno (Sanjaya dan Syailendra) yang mencapai puncaknya pada abad 8-9 M, dengan bukti-bukti peninggalannya berupa candi-candi besar (Borobudur, Prambanan, Sari, Pawon, Mendut dll) yang sampai sekarang masih dapat kita identifikasi.

Peradaban Dieng menjadi tonggak berdirinya Wangsa Mataram Kuno atau peradaban Jawa Kuno, tidak lain karena keberadaan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng disebut-sebut sebagai bangunan candi yang paling awal di Jawa. Selain itu candi-candi di Dieng masih memiliki keterkaitan kuat dengan gaya Gupta dan Calukya (India).

Namun tidak hanya itu keberadaan peradaban Dieng, ternyata jauh lebih besar dan lebih hegemonik dari apa yang kita perkirakan. Terlebih sejak Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM jurusan Arkeologi menemukan pecahan keramik China berasal dari Dinasti Tang pada abad IX dan pecahan kaca asal Persia, di kompleks Candi Dieng.

Temuan ini semakin memberi bukti dan indikasi kuat, sesungguhnya Peradaban Dieng khususnya, dan Kerajaan Mataram Kuno umumnya, adalah kerajaan besar dan mempunyai reputasi serta hubungan yang sangat luas dengan dunia internasional. Temuan itu juga menepis anggapan yang selama ini berkembang di dalam epistemologi ilmu sejarah Kerajaan Mataram Kuno adalah sekadar kerajaan agraris kecil di pedalaman (Jawa) yang terisolir dengan dunia luar sebagaimana disinyalir kebanyakan sejarawan, antropolog, etnograf seperti Koentjaraningrat, Noegroho Noto Soesanto.

Kerajaan Mataram Kuno atau biasa juga disebut Kerajaan Medang dengan ‘Peradaban Dieng’ sebagai poros sentral awal pembentukannya adalah kerajaan besar yang telah menjalin hubungan sangat luas. Khususnya dengan kerajaan-kerajaan besar di Asia Timur hingga Asia Barat. Bahkan hubungan itu, hemat kami mungkin jauh lebih luas dari apa yang kita bayangkan. Yakni dengan imperium-imperium besar dunia pada umumnya. Tidak saja India, poros religiusnya (Hindu-Buddha) tetapi juga hubungan ekonomi (perdagangan), sosial budaya, termasuk civilisasi masyarakatnya.

Selain itu keberadaan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng, notabene dibangun dari abad VIII sampai abad XIV M. Yakni sejak awal kejayaan Mataram Kuno sampai masa keemasan Majapahit. Artinya periode waktu historisitas yang cukup panjang itu, hanya memberi bukti dan afirmasi, masa keemasan Peradaban Dieng adalah perdaban yang besar dan berpengaruh. Itulah sebabnya peradaban Dieng dapat dianggap sebagai monumen otentik kebesaran peradaban nenek moyang pada masa Jawa Kuno. q - c

*) Otto Sukatno CR, penulis
buku ‘Dieng Poros Dunia’.

-

Arsip Blog

Recent Posts