Lindungi Cagar Budaya Tionghoa

Bangunan cagar budaya Tionghoa di tanah air semakin tidak diperdulikan. Tidak hanya oleh pemerintah yang harusnya bertanggungjawab menjaga kelestarian bangunan itu. tapi sikap cuek masyarakat Tionghoa sendiri yang membuat bangunan peninggalan nenek moyangnya itu lenyap. Padahal, bangunan berarsitektur peninggalan zaman kolonialisme itu merupakan bukti fisik eksistensi etnis Tionghoa di tanah air.

Salah satu bangunan cagar budaya yang sudah tidak bersisa sama sekali adalah rumah Kapitan Oey Djie San di kawasan Karawaci, Kota Tangerang. Bangunan peninggalan abad 18 itu kini sudah tidak bersisa. Kini. di dekat bangunan tua peninggalan tuan tanah yang sempat jadi rumah dansa warga Belanda saat penjajahan itu kini berdiri rumah makan cepat saji asal Amerika.

Untuk diketahui, rumah Kapitan Oey Djie San seluas 1,8 hektar itu dulunya merupakan pusat administrasi bagi orang etnis Tionghoa. Juga pernah dipakai sebagai tempat pengungsian masyarakat Tionghoa Tan-
gerang ketika terjadi pembantaian di Tangerang 1946 (peristiwa gedoran). Hilangnya, peninggalan sejarah Tionghoa itu dikhawatirkan memutus rantai sejarah generasi Tionghoa.

Seperti dituturkan Ken Ken, salah seorang pemuda Tionghoa yang sempat menjadi koordinator peduli bangunan cagar budaya Kapitan Oey Djie San mengaku ironis melihat bangunan bersejarah Tionghoa satu persatu dibongkar. "Padahal, bangunan Kapitan umumnya memiliki keunikan arsitektur yang sulit ditemukan di tempat lain." terangnya kepada INDOPOS belum lama ini.Selain karena bangunannya yang luas, umumnya rumah kapitan memiliki kekhasan bangunan Tionghoa yang kala itu kaya raya dan terpandang.

Untuk itu, dia berharap agar jangan lagi ada penghancuran bangunan bersejarah Tionghoa di tanah air. Bahkan,kalau perlu dilakukan pelestarian. Hal yang sama diungkapkan Esther Yusuf, aktivis Tionghoa yang mengatakan bangunan tua berarsitektur Tionghoa kini makin langka. "Padahal saya berharap, bangunan tua itu bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat," tuturnya. Untuk itu, dia mengatakan memiliki keinginan menjadikan

salah satu bangunan tua berarsitektur Tionghoa di kawasan Kota sebagai Rumah Kenangan Mei.Kejadian Mei yang paling meluas terjadi di kawasan Kota dan sekitarnya. Sementara itu, bagi Eddie Sadeli, selaku ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa Indonesia (LPPMTl) yang juga anggota DPR RI juga mengaku ironis melihat keberadaan bangunan tua Tionghoa di tanah air yang kini banyak yang telah jadi kenangan.

"Ketika keluarga, tidak lagi bisa mengurus bangunan itu. Pemerintah tidak tanggap mengambil alih. Padahal, situs itu sangat berharga bagi pendidikan sejarah generasi selanjutnya," tegasnya. Selain sebagai bagian dari pendidikan sejarah bangsa, bangunan itu juga pantas menjadi aset wisata yang bakal mendapatkan devisa.

Walau dia mengaku dana kerap menjadi keluhan pemerintah untuk melestarikan cagar budaya Tionghoa. "Mustinya, elemen komunitas Tionghoa harus turun tangan. Misalnya, mereka bisa membeli bangunan itu kemudian dipakai sebagai tempat perkumpulan atau rumah abu Marga Saya rasa, itu solusi yang paling mungkin," tukasnya, (sk)

-

Arsip Blog

Recent Posts