Masa Lalu Cirebon Sebuah Distinasi

SUHU panas dan udara lembab khas kota pantai tidak menyurutkan semangat ribuan orang yang memanjatkan doa, berdzikir dan bersalawat di kompleks permakaman Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.

Lokasi wisata ziarah di Nusantara ini memang beragam dan menawarkan petualangan spiritual yang tak kalah pentingnya dengan petualangan eksotisme alam. Dan karisma Sunan Gunung Jati ini terbilang mendalam. Tidak kurang setiap harinya ribuan orang berziarah ke makamnya yang sudah berusia enam abad itu.

Para peziarah yang datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa percaya bahwa ruh Sunan Gunung Jati dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan dan memberikan berkah.

Memasuki kompleks permakaman yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Cirebon, berdiri tegak Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak. Konon Balemangu Majapahit itu adalah hadiah dari Kerajaan Demak saat perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.

Selain Balemangu Majapahit, kita akan melihat Balemangu Padjadjaran yang terletak lebih ke dalam, hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai penghargaan saat Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati. Hal ini menjadi cikal bakal Kekeratonan di Cirebon.

Kompleks permakaman Sunan Gunung Jati memiliki dinding yang berlapis dan tidak sembarang orang dapat memiliki akses masuk. Untuk dapat memasuki makam ini membutuhkan akses 9 pintu, yang terdiri dari Pintu Gapura, Pintu Krapyak, Pintu Pasujuduan, Pinti Ratnakomala, Pinti Jinem, Pintu Rararoga, Pinti Kaca, Pinti Bacem dan Pintu Teratai.

Empat pintu terakhir hanya boleh dimasuki oleh keluarga Keraton yang merupakan keturunan asli Sunan Gunung Jati dan juru kunci yang menjadi petugas harian untuk merawat dan membersihkan makam. Sedangkan para pengunjung yang hendak berziarah hanya diperkenankan masuk hingga ke pintu kelima saja.

Di sepanjang tembok makam tertanam keramik berbentuk piring yang walaupun telah berusia ratusan tahun, warnanya belum pudar. Bahkan sebagian masih bertahan dengan warna biru yang cemerlang.

Keramik yang menempel di tembok bangunan makam tersebut dikisahkan dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Tiongkok, yaitu Putri Ong Tien.

Uniknya di salah satu bagian kompleks permakaman tepatnya di bagian barat serambi muka, terdapat kompleks makam warga Tionghoa dengan pintu utama yang diberi nama Pintu Mergu. Lokasi yang berbeda ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi warga Tionghoa yang memiliki ritual ziarah tersendiri agar tidak terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam yang lain.

Tidak jauh dari kompleks permakaman terdapat Masjid Sang Saka Ratu (Dok Jumeneng) yang pada masa lalu digunakan oleh Orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Djati. Dahulu Pemerintahan Sunan Gunung Jati di Keraton Pakungwati pernah menangkap kapal yang berasal dari Kalingga (Keling).

Kapal yang berawak 108 orang tersebut terdampar dan mereka memilih untuk menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menjaga daerah sekitar permakaman.

Konon jumlah awak kapal tersebut adalah riwayat di balik jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati yang seluruhnya berjumlah 108 orang.

Selain kompleks permakaman, Sunan Gunung Jati juga meninggalkan warisan berharga yang hingga kini masih berdiri tegak, yaitu keraton. Terdapat empat keraton di Cirebon yaitu Kanoman, Kasepuhan, Keprabonan dan Kaceribonan.

Sejak 1677 Kesultanan Cirebon membagi wilayah kepada tiga orang yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan dan menjadikan babak baru terpecahnya Keraton Cirebon menjadi tiga bagian yaitu Kesultanan Kanoman, Kasepuhan dan Kerpabonan sedangkan Kacirebonan baru muncul belakangan setelah pecah dari Kesultanan Kanoman.

Keraton Kanoman
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak tersembunyi di balik keramaian pasar. Untuk mencapai ke sana kendaraan harus membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.

Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Ternyata keraton Kanoman adalah kompleks yang sangat luas, terdiri dari 27 bangunan kuno. Salah satunya adalah Bangsal Witana.

Di bangsal ini dua anak raja Padjadjaran, Prabu Siliwangi Ratu Mas Rarasantang dan Pangeran Cakra Buwana belajar agama Islam. Ratu Mas Rarasantang ini melahirlan Sunan Gunung Jati.

Tak jauh dari Bangsal Witana terdapat Museum yang di dalamnya terdapat Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik. Sebagian barang - barang yang digunakan sang Sunan juga masih bisa dijumpai, seperti dua kereta Paksi Naga Liman dan Jempana.

Keraton Kasepuhan
Sekitar 1 kilometer dari Keraton Kanoman terdapat Keraton Kasepuhan. Walaupun tidak terlalu besar, bangunan ini merupakan istana tertua dan yang paling terjaga keasliannya di Cirebon. Keraton ini memiliki gaya arsitektur perpaduan antara Sunda, Jawa, Islam, China dan Belanda.

Saat memasukinya, kita akan melihat paviliun yang dindingnya dihiasi ubin berwarna putih dan biru, lantai dari marmer serta langit-langit ruangan tersebut dihiasi beberapa lampu antik dari Prancis.

Keraton Kasepuhan juga memiliki koleksi antik berupa wayang golek, keris, meriam, mebel dan berbagai macam senjata api buatan Portugis dan kostum kerajaan, berbagai benda dari penjuru Asia juga ada di sini. Mirip dengan Paksi Naga Liman, Keraton Kasepuhan juga memiliki koleksi kereta yaitu kereta Singa Barong, kereta perang kerajaan peninggalan abad ke-17 yang memiliki suspensi modern.

Soelistijono
-

Arsip Blog

Recent Posts