Sistem Kepercayaan Orang Laut di Kepulauan Riau

Oleh Uun Halimah

Religi yang mengatur perilaku orang laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme, tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi roh-roh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.

Dunia roh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Hampir semua orang laut yakin bahwa roh Datuk Kemuning dan istrinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Roh-roh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.

Orang laut juga percaya akan hantu-hantu penunggu sesuatu tempat, mambang dan peri, yakni makhluk-makhluk halus penghuni tempat-tempat yang dianggap angker dan dapat mencelakakan orang. Hantu selalu mereka bayangkan sebagai manusia, yang mereka sebut orang tanah, orang tanjung, orang lekuk, dan lain-lainnya, di samping sebutan-sebutan seperti hantu laut, hantu batu, hantu jeram, hantu sungai, dan sebagainya. Hantu-hantu tersebut di atas memang berasal dari dunia makhluk hantu.

Selain itu, ada hantu yang merupakan penjelmaan manusia seperti hantu polong. Ini adalah hantu orang Melayu karena menurut anggapan orang Laut, hanya orang Melayu saja yang mau mempelajari dan mengamalkan “ilmu pengasih”. Ia adalah hantu pencekik leher, yang menjelma sebagai manusia yang mengamalkan “ilmu pengasih”, yaitu berusaha memikat korbannya agar ia sendiri senantiasa tampak menarik.

Hantu penjelmaan manusia lainnya adalah pontianak (hantu mati anak), yaitu hantu penjelmaan wanita yang meninggal dunia sewaktu melahirkan, yang terutama mengganggu pria. Kemudian orang laut masih mengenal hantu dukang, atau hantu pengisap darah, yang merupakan penjelmaan dari bayi yang lahir tanpa nyawa (karena keguguran, lahir mati, dan sebagainya).

Orang laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara lain bersumber pada benda-benda seperti buntat, batu akik, akar bahar, keris, dan sebagainya, dan pada benda-benda yang bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta menyembuhkan penyakit yang berasal dari perbuatan manusia maupun karena tersampuk (kerasukan atau “diganggu”) roh, hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan manusia, seperti menenangkan ombak dan badai.

Kesempatan orang untuk menjadi bomoh tak terbatas pada pria, wanita pun dapat menjadi bomoh yang sama besar peran dan pengaruhnya seperti bomoh pria. Antara bomoh yang satu dengan lain dapat timbul persaingan untuk memperebutkan pengaruh, yang kadang-kadang mereka lakukan secara terbuka dengan becoba (mengadu kekuatan gaib).

Kekuatan gaib dapat diwariskan kepada sanak keluarga, tetapi dapat juga diajarkan kepada orang lain. Sebelum pengetahuan itu diteruskan, harus dipertegas dahulu hubungan antara keduanya, yaitu bomoh sebagai buru, dan orang yang menerima pengetahuan itu sebagai muridnya, yang selanjutnya merupakan hubungan antara orangtua dan anak, yang diikat oleh prinsip-prinsip hubungan timbal-balik. Dengan adanya hubungan ini ada syarat untuk memberi imbalan atas pengetahuan yang diajarkan. Imbalan ini berupa pemberian hadiah-hadiah seperti sandang, uang, bahkan jaminan hidup.

-

Arsip Blog

Recent Posts