Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas pada Rumah Tinggal Tradisional di Indonesia

Oleh Ni Ketut Agusinta Dewi

ABSTRAK
Wantah rumah tinggal tradisional di Indonesia merupakan ekspresi budaya masyarakat setempat, bukan saja menyangkut fisik dan bangunannya, tetapi juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Oleh masyarakat vernakular di Indonesia, rumah tinggal juga merupakan tempat membangun religi penghuninya. Sebagaimana persepsinya terhadap alam, masyarakat vernakular membangun tempat tinggalnya berdasarkan bentuk-bentuk geometris guna membantu mengungkapkan penghargaannya kepada alam dan Penciptanya.Orientasi dibutuhkan oleh manusia sebagai pengkiblatan diri, dan simetri memberi makna keseimbangan hubungan manusia yang paling hakiki sebagai sikap solemnitas manusia kepada Sesuatu Yang Agung. Tulisan ini memaparkan pengejawantahan religiusitas masyarakat vernakular di Indonesia ke dalam bentuk-bentuk geometri dan simetri rumah tinggal mereka sebagai ungkapan jati diri masyarakatnya.

Kata Kunci: simetri, geometri, religiusitas, solemnitas, rumah tinggal tradisional

ABSTRACT
Phenomenon of traditional housing in Indonesia is a culture expression of local community, not only its have relation with their building physics, but also the spirit and soul. Housing phenomenon by vernacular community of Indonesia which have mean to be a space to built their religion. As their perception to nature, they build housing base on geometry forms to perceive the appreciation of nature and the Creator. Orientation is required by man as a himself orientation, and symmetrical means a basic human balance as their solemnity for God. This paper describes religious phenomenon of vernacular community in Indonesia in to geometry and symmetrical forms that they being their identity expression of housing.

Key Words: symmetrical, geometry, religiuos, solemnity, traditional housing.

RUMAH TINGGAL SEBAGAI EKSPRESI JATI DIRI
Pembahasan wantah arsitektur tradisional di Indonesia selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikembangkan. Sudah lama sekali arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia menjadi lahan penelitian para peneliti lokal maupun asing. Hal ini terjadi karena pada hakekatnya rumah tinggal merupakan wadah yang penuh misteri dan paling ekspresif dalam menampung kegiatan manusia sehari-hari, bukan hanya yang bersifat fisik, tetapi juga bersifat psikis, serta mempunyai dimensi budaya dan sosial dibalik wantah fisiknya.

Manusia, rumah, dan gagasan/pemikiran mempunyai hubungan yang sangat erat sebab rumah merupakan “kulit kedua” manusia yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari karakter alam, dan mencari privasi, sekaligus sangat memungkinkan untuk menampilkan secara utuh ekspresi mental dan spritual penghuninya. Rumah selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu, dan cita-cita penghuninya, sehingga rumah dikatakan mampu mem-bahasa-kan jati diri penghuninya.

Pengertian tradisional pada arsitektur tradisional secara konsepsional dapat mengundang banyak interpretasi. Secara mendasar pengertian tradisi dapat dibedakan menjadi dua konsepsi:

1. Sebagai sesuatu yang terbatas (bounded object) seperti yang diungkapkan oleh Shils (1981): “It is to last over at least three generations-however long or short- to be a tradition". Jadi, tradisi adalah sesuatu yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara terus menerus setelah mengalami seleksi secara alami, minimal tiga generasi;

2.Tidakmempersoalkanmasalahwaktu, tetapi lebih menekankan kepada proses yang terjadi, apa yang tetap dan apa yang berubah (meaningfull processes) seperti yang diungkapkan oleh Handler dan Linnekin (1988).

Untuk menelusuri bahwa suatu tradisi yang dijalankan suatu masyarakat masih “asli” atau “palsu” sangatlah sulit. Apalagi di Indonesia pada masa lalu berlaku tradisi tutur (oral tradition). Pada proses penurunan cerita, setiap generasi melakukan penyimpangan informasi, baik berupa penambahan maupun pengurangan informasi. Selain itu, dokumentasi tertulis seperti lontar juga memungkinkan timbulnya banyak persepsi. Jadi, agar terjadi kesamaan persepsi dalam tulisan ini, maka konsep tradisional yang dipakai mengacu pada konsepsi Handler dan Linnekin (1988): sesuatu yang telah dilakukan secara terus menerus oleh suatu masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah tidak dilakukan lagi.

Para peneliti asing cenderung menamakan arsitektur tradisional sebagai Arsitektur Primitif untuk membedakan dengan yang modern (Enrico Guidoni, 1975):

“Who have only relatively recently begun to realize that architecture plays a central role in the economic, social, and cultural life population we think of as primitive”.

Atau Arsitektur Vernakular, dimana kata vernakular sebenarnya lebih mengacu kepada konsep struktur sosial dan ekonomi seperti yang dikatakan oleh Alan Colquhoun (1989):

“The word vernacular is equally derived from social and economic concepts. Verna
meant slave, and vernacular signified a person residing in the house of his master”.

Sebagian lagi ada yang menyebutnya dengan Arsitektur Etnik yang sebenarnya penekanannya pada kesukuan atau suku bangsa tertentu. Tetapi pada dasarnya adalah bahasan tentang kebudayaan yang diteruskan secara turun temurun. Namun, apabila kemudian istilah arsitektur vernakular mulai dikenal dan dipublikasikan tidak saja di kalangan peneliti, tentunya telah memperkaya khasanah bahasa arsitektur maupun bahasa Indonesia tentang makna serapan asing yang dapat saja diidentikkan dengan arsitektur tradisional ataupun arsitektur etnik.

Berbicara mengenai arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tentunya berbeda dengan arsitektur rumah tinggal di “Barat”. Bentuk yang hadir pada arsitektur rumah tinggal tradisional diIndonesia selalu dipertalikan dengan makna “yang lebih dalam”, yang berada dibalik bentukan yang terjadi, tidak berhenti hanya pada yang tersurat atau kasat mata. Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari, tetapi juga spritual untuk memperoleh ketenangan batin/jiwa. Apalagi kalau kita memahami makna tersebut dengan pendekatan emik” yaitu melihat suatu gejala dari sudut pandang para pelaku sosialnya, bukan dari para penelitinya. Akan banyak aspek yang dapat diungkap dibalik bentukan arsitektur yang terjadi. Konsep arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tidak lepas dari perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam tatanan kehidupan mereka masih mengikuti tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba tersirat, penuh dengan pemaknaan.

Dalam buku Kawruh Kalang (Kridosasono, 1976) disebutkan bahwa orang memasuki sebuah rumah diibaratkan sebagai orang yang berteduh di bawah pohon karena:

1.Orangtanparumah ibaratpohontanpa bunga;
2.Rumah tanpa Pendopo ibarat pohon tanpa batang;
3.Rumah tanpa dapur ibarat pohon tanpa buah;
4.Rumah tanpa kandang binatang ibarat pohon tanpa daun;
5. Rumah tanpa gapura/masjid ibarat pohon tanpa akar.

Menurut Darmanto Jatman, rumah memiliki makna sebagai tempat pertemuan laki- laki yang dilambangkan langit dan perempuan yang dilambangkan bumi (Y.B. Mangunwijaya,
1988) seperti petikan berikut:

“…. Rumah itu Omah, Omah itu dari Om dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya betina. Jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya. Karenanya kupanggil kau Semah, kerna kita serumah. Sepuluh pelataran rumah kita bersih cemerlang supaya bocah-bocah dolan pada krasan…”

Dalam konteks perwujudan arsitektural, maka bentukan rumah tinggal tradisional diupayakan tampil sebagai ekspresi budaya masyarakat setempat, bukan saja yang menyangkut fisik bangunannya, tetapi juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Hal ini memperjelas bahwa betapa pentingnya rumah bagi manusia, dan mereka masih mengikuti aturan-aturan yang berlaku serta pola-pola yang telah diikuti sejak jaman dulu. Patokan tersebut karena dipakai berulang- ulang, akhirnya menjadi sesuatu yang baku, seperti patokan terhadap tata ruang, patokan terhadap pola massa, atau patokan terhadap bentuk, struktur bangunan, maupun ornamennya.

ALAM SEBAGAI SUMBER INSPIRASI GEOMETRI
Pada saat manusia mengalami situasi protokoler, seperti pada saat perayaan agama atau kenegaraan, atau secara spesifik diperjelas sebagai situasi yang dipilih orang sewaktu menghadap hal Ilahi, situasi ini disebut solemnitas (M.A.W. Brouwer, 1984). Orante atau orang yang menghadap hal Ilahi tersebut, akancenderungmengambilsikapsehingga bagian kanan tubuh tidak berbeda dengan bagian kirinya.Sikap yang secara fisik ditangkap sebagai posisi simetris. Solemnitas mengungkapkan adanya sikap yang tidak kritis, sikap menyerahkan diri tanpa perlawanan (pasrah), dan tanpa pikiran belakang. Apa yang
tergambar secara fisik mengisyaratkan apa yang terjadididalambatin.Tubuhbertata-raga simetris menunjukkan invocatio (memanggil dewa dalam situasi magis), sebagai bentuk pernyataan pengakuan kepada Yang Menguasai. Religiusitas yang terungkap, material yang menunjukkan zat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa solemnitas merupakan salah satu upaya manusia untuk mencapai atau mengungkapkan situasi religiusnya.

Sesungguhnya solemnitas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman manusia kepada alam semestanya. Sikap simetris sebagai ungkapan penyelarasan diri ini berangkat dari pemahaman terhadap hubungan antara tubuh manusia dengan persepsinya terhadap ruang. Solemnitas juga menunjukkan adanya pemahaman tertentu terhadap ruang lingkungan yang melingkupinya. Pada situasi religius, sikap ini merupakan tanggapan yang dirasa paling sesuaiterhadapkondisidanbatasan-batasan ruang alam lingkungan tersebut.

Bagi manusia, alam tidak semata-mata dipandang sebagai sesuatu seperti apa yang teraga secara wantah (seperti apa adanya) dan seperti apa yang teraba. Di dalamnya manusia juga merasakan adanya citra geometri walaupun terbatas pada wawasan geometrinya. Ketika kita berdiri, kita secara intuitif sadar bahwa orientasi terpokok kepada dunia adalah di dalam hubungannya kepada tubuh simetris kita dan bagian depannya. Jadi, kesadaran terhadap tubuh kita di dalam ruang menyangkut sebuah cartesian, atau empat persegi, keterkaitan antara diri kita kepada dunia sekeliling kita dari titik perhatian dimana kita berdiri. Meskipun seluruhnya ini sepertinya terlihat sederhana, tapi hal ini sangat penting di dalam memahami bagaimana kita secara intuitif menstrukturkan ruang dunia tiga dimensional kita. Kita mempersepsikan dunia dari referensi sudut tegak lurus di dalam hubungannya dengan bidang horisontal dan vertikal. (Norman Crowe, 1995). Dari sinilah persepsi geometri terhadap dunia ditumbuhkan.

Di dalam ruang geometri alam, manusia juga mendapatkan pengalamannya tentang orientasi. Sebuah kiblat agar manusia bisa mengarahkan titik perhatiannya dan sekaligus menentukan posisinya. Orientasi juga memberikan sebuah persepsi garis horisontal yang menghubungkan subjek manusia dengan titik orientasinya. Sebuah garis yang menjadi sumbu di dalam sebuah ruang geometri yang melingkupi manusia.

Orientasi berasal dari kata orient atau timur, dan berarti mencari mana ufuk timur (dan lawannya barat). (Y.B. Mangunwijaya, 1988). Kata ini kemudian menjadi kiblat karena pada awalnya orang mendasarkan pada pengalaman sehari-hari terhadap darimana matahari terbit dan ke arah mana mata hari tenggelam sebagai sumber kiblatnya. Namun kemudian, manusia juga mendapatkan persepsi arah selain timur dan barat, yaitu utara dan selatan. Persepsi sumbu timur-barat serta utara-selatan melahirkan pemahaman akan centrality, titik pusat yang terjadi akibat adanya perpotongan di antara kedua sumbu tersebut.

Hubungan antara ruang geometris, sumbu orientasi, dan titik pusat orientasi merupakan satu kesatuan sistem pandangan dunia yang bersifat universal. Manusia mendiami alam yang dipersepsikan sebagai berbentuk geometri. Di dalam ruang geometri ini manusia selalu memposisikan berada di tengah- tengah ruang. Namun ruang alam raya yang melingkupi manusia sungguh begitu luas, homogen, dan kosong, seolah-olah semua titik dan arah sama saja. Dalam kondisi ini manusia menjadi gamang, merasa sangat kecil sekali sehingga memerlukan adanyapegangan yang bisa dipakai untuk memposisikan dirinya. Ia membutuhkan sebuah orientasi atau, meminjam istilah Romo Mangun, pengkiblatan diri. Dengan adanya kiblat, manusia dapat menentukan kedudukannya. Kedudukan sumbu orientasi bagi manusia selalu dihubungkan dari posisi tubuh tempat dia berdiri sebagai pusat kepada suatu titik orientasi yang membentuk suatu sumbu, hingga bisa dipahami bahwa sumbu orientasi di mata subjek sekaligus menjadi garis sumbu ruang geometri yang melingkupi dirinya dan sekaligus membagi ruang tersebut secara simetris.

Dalam konteks bermacam-macam kebudayaan yang saling berbeda, dapat ditemukan pola dan pandangan ritual yang sama, yaitumenempatisuatuwilayahyangsama dengan memberi dasar pada suatu dunia. Di Bali, bila orang hendak mendirikan sebuah desa, mereka mencari persimpangan jalan alamiah tempat dua jalan saling bersilangan tegak lurus. Tempat perpotongan kedua jalan itu dijadikan pusat desa (pempatan agung). Pusat desa ini biasanya merupakan sebidang tanah kosong, karena kemudian di tempat ini akan didirikan sebuah tempat ibadah dengan atap yang melambangkan gunung (meru). Lalu pembangunan desa dilaksanakan dengan membentuk empat jalan itu ke arah empat mata angin dari pusatnya. Pembagian desa menjadi empat bagian ini sesuai dengan gambaran alam dunia yang mempunyai satu pusat dan empat arah mata angin. Dengan demikian pembangunan desa meniru penciptaan dunia. Desa dijadikan gambaran dunia, imago mundi, dalam hal ini terjadi dengan mengulang kembali penciptaan dunia, kosmogoni. (Y.B. Mangunwijaya, 1999).

Dalam pandangan masyarakat religius, yang paling menjamin suksesnya suatu perbuatan adalah peniruan dan peragaan kembali kosmogoni, yaitu penciptaan semesta alam oleh paradewa, tindakan yang dianggap paling kreatif. Dunia yang akan didiami pertama-tama haruslah diciptakan kembali. Penciptaan mempunyai sebuah contoh model dan kosmogoni itu merupakan suatu contoh model, model untuk segala penciptaan, model dari setiap susunan yang teratur. Suatu keyakinan yang mendalam seperti yang dihayati oleh orang- orang beragama pasti akan mengendapkan esensinya ke dalam bentuk-bentuk tertentu. Penghayatan adanya suatu “pusat dunia” atau poros sentrum yang merupakan penghayatan manusia berjiwa religius yang sangat dalam, lagi sangat wajar. Manusia tidak dapat hidup dalam angkasa kosong atau ruang homogen, seolah- olah segala titik dan arah sama saja. Ia membutuhkan orientasi atau pengkiblatan diri (Axis Mundi), sering dilambangkan dengan tiang (menhir), tangga (punden berundak), pohon, gunung, dan sebagainya, dan diyakini dapat menembus tembok-tembok pemisah antara lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. (Y.B. Mangunwijaya, 1999)

SUMBU SIMETRI SEBAGAI BENTUK PENGUNGKAPAN RELIGUSITAS DALAM RUANG
Alam mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia. Bahkan dalam membentuk ruang sebagai tempat tinggal, manusia mempersepsikan/memindahkan alam ke dalam ruang bentukannya. Arsitektur lahir dari ketidaksesuaian antara dua ruang - pengalaman ruang yang diorientasikan secara horisontal dan ruang alam yang diorientasikan secara vertikal; dimulai ketika manusia menambahkan dinding vertikal kepada permukaan bumi yang horisontal. Lewat arsitektur sepotong ruang alamiah seperti adanya disusun di dalamnya supaya menghubungkannya kepada pengalaman ruang manusia. (Dom H. Van der Laan, 1983).

Sebagaimana persepsinya terhadap alam, manusia membangun arsitektur mendasarkan bentuk-bentuk yang geometris. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya geometri menjadi hal yang dominan dalam arsitektur, karena geometri begitu mempesonakan manusia. Geometri begitu mempermudah karena bentuk yang mendasarkan geometribisa ditiru dan diulang-ulang tanpa risiko kegagalan dan kesalahan.

Namun yang lebih penting adalah geometri menawarkan manusia untuk bisa mengungkapkan penghargaan kepada mundane (alam semesta), yang akan membukakan kemungkinan pencapaian metaforis kepada Dewa dan Yang Bersifat Ketuhanan melalui penggunaanbentuk universal undeniability, yaitu bujur sangkar, lingkaran, dan bola. (Anthony C. Antoniades, 1990). Geometri mengantar kepada pencapaian estetika serta memungkinkan manusia membuka gerbang simbol-simbol melalui bentuk.

Bagi manusia simbol merupakan hal yang sangat penting dalam penghayatan religius. Keterbatasan dimensionalnya dalam menggapai Yang Transenden (hal Ilahi) membawa manusia kepadapenggunaanbahasasimbol.Seperti halnya pencitraan terhadap Yang Transenden itu sendiri yang merupakan simbol, manusia membangun dunia religiusitasnya dengan atribut simbol-simbol.

Dalam geometri ruang gerak menjadi ruang mistik, suatu kosmos sebagai sumber aturan alam. Bentuk geometri oleh manusia kemudian dikupas, dipilah-pilah berdasarkan unsur-unsurnya kemudian ditransformasikan ke dalam simbol-simbol religius, sehingga yang terjadi kemudian adalah back to basic, bentuk yang berawal dari persepsi kepada alam diurai kembali untuk bisa mempresentasikan jiwa (dari) alam. Bentuk geometri menjadi metafor bumi yang mempunyai empat arah dari kanan-kiri, muka belakang. Ke arah muka adalah menuju kepada kemajuan dari gerakan berjalan. Dimensi muka adalah waktu yang mendatangi manusia, alam harapan, dan keberanian. Arah atas menyimbolkan dimensicita-cita,duniapara dewa, dan dimensi Yang Maha Agung, sedangkan kiri-kanan memberikan simbol dualitas. Dalam budaya Jawa, manusia akan selalu mengarungi kehidupan di dalam kancah peperangan dualitas: baik-buruk, suka-duka, hitam-putih, dan seterusnya. Bagian kanan merupakan dunia yang baik dan bagian kiri merupakan dunia yang buruk. (Clifford Geertz, 1981).

Pada bangunan gereja abad pertengahan, sumbu ruang merupakan simbolisasi dari jalan kemuliaan. Kota Yogyakarta tradisional ditata berdasarkan konsep sumbu Laut Selatan sebagai dunia bawah dan Gunung Merapi sebagai dunia atas. Umat Muslim melaksanakan doa dengan mengarahkan orientasi ke Kiblat Ka’bah di Mekkah. Jadi, sumbu-sumbu membawakan makna yang sangat dalam.

Dalam ruang maupun dalam kenampakan elevasi bangunan, sumbu-sumbu berada pada bagian yang membagi ruang dan elevasi tersebut secara simetris, dan memang demikianlah hakikat sumbu. Kedudukan ini juga sekaligusmemperkuatpemaknaanbangunan atau bentuk. Pada garis sumbu kebanyakan diletakkan fungsi-fungsi jalan utama, pintu masuk, atau pusat orientasi. Dengan melewati, memasukiataupunmemusatkanperhatian, orang seolah menyatakan sikap penghayatan, penghormatan, dan ketaatan kepada apa yang ada di balik maksud simbol-simbol tersebut dibuat.

Di samping itu, sumbu simetri memberikan kesan equillibrium (keseimbangan). Bangunan yang simetris adalah bangunan yang terkesan stabil, kokoh, diam, dalam posisi yang seimbang. Kesan keseimbangan ini tentunya diperlukan untuk mendukung sikap solemnitas. Ruang yang simetris menggambarkan alam kosmos yang ideal, berputar dalam kondisi yang harmonis. Bahkan simetri bentuk menggambarkan idealisme atau cita-cita kesempurnaan.

RUMAH TRADISIONAL DI INDONESIA SEBAGAI BENTUK PENGUNGKAPAN KONSEP SIMBOLIK RELIGIUS GEOMETRI
Pada awal peradaban manusia, berlaku sebuah konsep determinisme lingkungan dimana kehidupan manusia sangat ditentukan oleh alam. Manusia merasa sangat bergantung pada keramahan dan merasa kecil hidup di alam raya ini. Hal ini menimbulkan orientasi pemikiran manusia ke arah dua hubungan:

1.Kosmis: hubungan manusia dengan alam semesta, misalnya dengan matahari, bulan, dan bintang.
2.Chtonis: hubungan dengan bumi, misalnya dengan gunung, laut, pohon, batu, dan sebagainya.

Pada masa ini, orang berpikir dan bercita rasa dalam alam penghayatan kosmis dan mistis atau agama. Tidak estetis yang berarti penilaian sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan. Segi mitos dan keagamaan manyangkut ke-ada- an manusia atau semesta dari dasar-dasarnya paling akar, paling menentukan, paling sejati. (Y.B. Mangunwijaya, 1988).Hubungan antara manusia dan lingkungannya ini berkembang dan menjadidasarkehidupanmasyarakat“masa lalu”. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan budaya yang dimiliki, maka mulai timbul kesadaran bahwa tidak semua aktivitas yang dilakukan sehari-hari dapat dilaksanakan di alam terbuka, oleh sebab itu dibutuhkan sebuah pelindung (shelter). Mulanya memanfaatkan goa yang ada di alam, setelah itu mulai dibuatkan
rumah tinggaldalambentukyangsangat sederhana.

Mengacu pada pendapat Handler dan Linnekin, 1988, tentang konsep tradisi, maka rumah tinggal tradisional di Indonesia adalah rumah yang dihadirkan oleh masyarakat “masa lalu’ serta sering disebut masyarakat primitif atau masyarakat vernakular. Eliade, 1959, menekankan bahwa istilah “primitif” itu tidak memadai dan mudah sekali menimbulkan salah pengertian. Ia mengusulkan istilah yang dianggap lebih baik, yaitu arkhais atau preliterate. Istilah-istilah tersebut lebih menggambarkan suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri prinsip, arkhais, tradisional, pramodern, eksotis, ahistoris, dan prahistoris. Kata primitif lebih mengandung suatu pemikiran yang tidak logis, kebodohan primordial, atau taraf mental yang rendah.

Masyarakat arkhais atau preliterate (lebih maju dari masyarakat primitif) hanya menaruh minat pada asal mula segala sesuatu. Semua pembaharuan mengandung suatu pengulangan kembali peristiwa penciptaan. Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai prototipe Ilahi atau tindakan itu mereproduksikantindakankosmologisawal mula. Jadi kosmologi menduduki tempat utama dikalangan masyarakat arkhais. Pandangannya tentang kehidupan dan pandangannya tentang dunia membentuk suatu kesatuan dan keseluruhan organis. Baginya, istilah dunia tidak mencakup seluruh alam raya sebagaimana dimengerti oleh ilmu jaman sekarang, melainkan terbatas pada daerah yang didiami dan dikenal. Wilayah yang ia diami dan ia kenal dianggap sebagai suatu dunia yang teratur,sebagai kosmos, karena wilayah tersebut telah “dikonsentrasikan”. Sedang segala sesuatu yang ada di luar wilayah itu masih merupakan dunia yang lain, dunia yang kacau, wilayah yang kacau, tempat tinggal jin-jin, dan sebagainya. Daerah yang termasuk chaos dapat dijadikan daerah yang teratur dan berbentuk, dengan jalan menduduki dan menjadikan tempat tinggal.

Dalam kosmologi orang Bali juga mengenal akan adanya pembagian mikrokosmos (bhuana alit) yaitu orang itu sendiri; dan makrokosmos (bhuana agung) yaitu alam semesta dan Tuhan Yang Mahaesa (Sang Hyang Widhi Wasa). Orang Bali berusaha untuk mempertahankan keseimbangan ketiga faktor tersebut yang disebut dengan konsep Tri Hita Karana (parahyangan, pawongan, dan palemahan) dalam kehidupannya sehari-hari. Setiap tempat tinggal atau kerja mempunyai pura kecil (pemerajan/sanggah) untuk memungkinkan orangmenghaturkan persembahan (banten) atau sembahyang.(lihat gambar 4). Pelaksanaan prinsip orang Hindu Bali, keserasian dan keseimbangan (balance cosmologi) menyebabkan tidak diperlihatkan terlalu banyak tenaga untuk mengekspresikan emosi berbagai tipe dan juga berhubungan dengan konsep satu pusat bagi semua hal. Kaja (mengarah ke gunung) menuju ke arah suci; Kelod (mengarah ke laut) menuju ke arah jahat atau butha kala; dan dunia tengah, bersifat duniawi dan tanpa kekuatan khusus, tempat orang hidup.

Unit-unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman aktivitas rumah tangga. Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan massa-massa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker, batas pekarangan dengankoripintumasukkepekarangan. Masing-masing ruangan dapur, tempat kerja, lumbung, tempat tidur di bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa-massa bangunan umah menempati bagian-bagian utara, selatan, timur, barat, membentuk halaman natah di tengah. Orientasi massa-massa bangunan ke natah di tengah. Dari kori pintu masuk pekarangan menuju natah, barulah menuju ke bangunan yang akan dimasuki, demikian pula sirkulasi balik ke luar rumah. (I Nyoman Gelebet, 1986)

Kosmologi Jawa adalah horisontal (Clifford Geertz, 1981), maksudnya menghubungkan suatu konsep budaya dengan alam sekitarnya. Menurut konsep mereka, alam semesta ini dipandang sebagai wadhah yang besar dan merupakan kesatuan yang serta keadaannya tetap. Isi alam semesta ini terdiri dari dua nampak (bumi beserta isinya, matahari, bulan, dan bintang). dalam konsepsi Jawa, rumah adalah satuan simbolis, sosial, dan praktis.

Dalam tatanan rumah Jawa, terlihat adanya pusat-pusat kosmologi yang tercermin pada Pendopo sebagai titik profan – sebagai tempat menerima tamu, sebagai sarana komunikasi dengan dunia bawah (sesama manusia). Darmanto Jatman, 2001, melukiskan pendhapa, bagian depan rumah Jawa, sebagai:

“Inilah pendapa rumah kita/mandala dengan empat saka guru/ dan delapan tiang penjuru/ Di atas pintu tertulis rajah:/ Ya maraja Jaramaya/ Yang maksudnya: Hai kau yang berencana/ berhentilah berencana!/ Disinilah kita akan menerima tamu-tamu kita/ sanak kadang tangga teparo/ Yang nggadhuh sawah, ladang atau raja kaya kita/ merembuk sesuatu untuk kesejahteraan bersama.”

Setelah Pendopo, terdapat Sentong Tengah sebagai tempat meditasi, meletakkan pusaka (Dewi Sri/Dewi Padi) sebagai titik sakral, sebagai tempat komunikasi dengan dunia atas (Tuhan) dan Peringgitan sebagai ruang sirkulasi antararumah indukdengan Pendopo dan biasanya juga sebagai tempat meletakkan tirai (keber) pada saat pertunjukan wayang kulit. Tautan dari konfigurasi ruang-ruang ini adalah sumbu horisontal yang tergaris secara maya dari pelataran rumah bagian depan menerus sampai kepada puncak hierarkinya yaitu pada bagian ruang yang dianggap paling suci: Sentong Tengah. Sumbu imajiner ini seolah merupakan pembatas yang memisahkan dan membagi rumah menjadi bagian kanan dan kiri dalam bentuk volume yang sama dan sebangun. Wantah ini sesuai dengan salah satu pandangan orang Jawa yaitu kehidupan yang dualistik. Kebahagiaan hidup dalam keadaan ini akan dapat dicapai apabila ada kemampuan untuk menjaga titik keseimbangan di antara dualisme tersebut. Cara yang bisa ditempuh adalah selalu berusaha menjaga keselarasan diri terhadap alam lingkungannya melalui olah-batin dan pengkondisian rumah – sebagai dunia kecil/ tempat tinggal – agar menunjang suasana penyelarasandiri.Dalamkontekstersebut, rumah sebagai salah bentuk pernyataan diri untuk setia kepada sikap penyelarasan diri sekaligus sebagai wahana pencapaian kondisi yang selaras tersebut. Jadi, orang Jawa tidak hanyamemandangrumah sebagaisekadar tempat tinggal, namun lebih jauh lagi tempat membangun religi penghuninya.

Hal serupa dapat terlihat pada rumah panjang suku Dayak Iban di Kalimantan Barat. Rumah panjang mereka memiliki orientasi:

1.Dibangun sejajar dengan sungai yang ada di depannya yang dianggap sebagai sumber kehidupannya sehari-hari;
2.Mengacu kepada pergerakan matahari dari timur (matahari tumboh) ke barat (matahari padam). Timur dimaknakan sebagai kehidupan dan barat sebagai kematian. Rumah dianggapsebagaicermindari perjalanan matahari dari horison ke horison (tisau langit) dalam sebuah kosmos. Aplikasinya dalam bentuk rumah tinggal dan susunan ruang dalamnya menghasilkan terasrumah (tanju)yangdisimbolkan sebagai matahari dan mendapatkan sinar matahari secara penuh sebagai lambang kehidupan dan bagian dalam rumah yang disimbolkan sebagai malam (gelap) yang melambangkan jiwa, Tuhan, dan semangat.

Pada rumah tradisional Sumba, secara hirarki vertikal dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu:
1. Lei bungan (kolong rumah) yang digunakan sebagai tempat penampungan ternak dan berjemur merupakan dunia bawah;

2. Rongu uma (tingkat kedua) merupakan dunia kehidupan manusia, di dalamnya terdapat pimudeta (balai-balai setinggi 1 meter), pani (ruanglaki-laki), hadoku (kamarsuami- istri), dan halibar yang mempunyai banyak fungsi sebagai tempat tidur kakek-nenek,serta tempat bersalin. Selain itu, ada keri penuang (kamar anak wanita) dan heda kabali mata (tempat tidur untuk tamu). Di pusat rumah terdapat rapu (tempat perapian) yang melambangkan buli atau tempat usus besar manusia. Di atas perapian terdapat hedi atau tempat alat-alat makan yang melambangkan jantung manusia.

3. Uma daluku (menara/loteng)merupakan dunia atas (sakral atau holy) yang hanya boleh dimasuki oleh bapak keluarga karena dianggap hanya dialah yang boleh berhubungan dengan Merapu. Loteng ini terdiri atas dua bagian yaitu bagian atas Hindi Marupu sebagai tempat tinggal yang hadir dalam wujud benda-benda pusaka yang dianggap keramat, dan bagian bawah untuk menyimpan padi dan bahan makanan lainnya.

Tidak seperti kosmologi Jawa, kosmologi rumah tradisional Sumba adalah vertikal. Alambawahdiletakkan dikolong rumah sebagai tingkat terendah dalam kehidupan, sebagai tempat makhluk setan, kemudian di tingkat kedua sebagai ruang hidup penghuninya, dan loteng/menara sebagai bagian rumah yang memiliki nilai hirarki tertinggi, sebagai tempat pemujaan terhadap sesuatu yang dianggap sakral. Pada penampakan fisik rumah tinggal ini, ada sumbu imajiner yang membagi rumah tersebut secara simetris, melambangkan keseimbangan hubungan antara penghuni, alam, dengan dunia gaib dan kosmis.

Konsep hirarki rumah Toraja (banua) juga tidak jauh berbeda dengan konsep hirarki rumah tradisional Sumba. Kata toraja yang dimaknakan sebagai “sesuatu yang tinggal di gunung” atau “sesuatu yang tinggal di tempat tinggi”, berasal dari kata raja (dalam bahasa Sansekerta berarti penguasa). Rumah tradisional ini terdiri dari tiga bagian berdasarkan hirarkinya. 1) Bagian atas, loteng (langi) merupakan dunia/alam atas yang melambangkan sorga dan dianggap paling sakral; 2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang); 3) Ruang bawah rumah/kolong merupakan dunia bawah, tempat kehidupan makhluk setan; 4) Kaki bangunan paling bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong Tulak Padang;5) Sementara dewa tertinggi, Puang Matua, bertempat di alam sorga teratas (ulunna langi) dan ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya; 6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah yang tidak difungsikan, disimbolkan sebagai riri posi atau tempat tali pusar; 7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi), atau disimbolkan sebagai pusat alam semesta (petuo), dalam satu sumbu vertikal dengan ruang di atasnya. Ruang di bawah rumah (kaki panggung) dianggap sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan yang dapat mengganggu kehidupan manusia; 8) Padi dan air sebagai sumber kehidupan terdapat di sebelah utara rumah; 9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai Sa’dan. Aliran sungai dari arah utara ke selatan juga merupakan salah satu sumbu orientasi perumahan suku Toraja pada umumnya, selain juga mengikuti orientasi timur-barat sesuai lintasan pergerakan matahari; 10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek moyang masyarakat Toraja sebelumnya; 11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan; 12) berdekatan dengan gunung Bamba Puang yang legendaris itu; 13) Kuburan bagi para bangsawan diposisikan lebih tinggi daripada kuburan masyarakat biasa. Kuburan ini dikelilingi oleh pohon kelapa untuk membantu para roh mencapai alam atas.

Rumah suku Toraja diletakkan sesuai orientasi utara-selatan. 14) Bagian rumah yang dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling utara (lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, sekaligus juga pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah sebelah selatan dan sisi lainnya disimbolkan sebagai kematian, seperti juga sisi barat, tempat matahari terbenam; 15) Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan kepala di selatan, melambangkan pulau kematian yang berada di sebelah selatan. Kondisi ini hanya dilakukan pada saat upacara menjelang pemakaman. Jenasah kemudian diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah jenasah itu masih hidup; 16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya jenasah dikeluarkan melalui pintu yang terletak di sisibarat rumah. Sisi selatan dan sisi barat juga dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat peninggalan benda- benda pusaka; 17) Ada juga yang meletakkannya di sudut tenggara ruangan; 18) Sebelah timur rumah merupakan tempat aktivitas para penghuni,dilambangkansebagai jantung.

Konsep kosmologis ini juga diterapkan pada elemen konstruksi rumah, seperti pada bubungan, atap, tangga masuk ke rumah, dan elemen konstruksi lainnya. (http://www.pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.html) (lihat gambar 9). Jadi, bagi masyarakat Toraja, sumbu orientasi sebagai sumbu imajiner sangatbermakna di dalam pengejawantahan mereka terhadap alam semesta (makrokosmos). Rumah bagi masyarakat Toraja adalah cerminan penghayatan religi, sebagai bentuk pemahaman sederhana terhadap alam semesta. Bentukan geometris ruang selalu dikaitkan dengan fenomena alam.

Demikian juga pada konsep-konsep filosofi rumah tinggal tradisional masyarakat vernakular lainnyadiIndonesia yangtidak pernah lepas dari upaya pengejawantahan religi penghuninya. Bentukan rumah tinggal yang ada di berbagai daerah, walaupun berbeda secara fisik, namun dasar pemikirannya dilandaskan kepada keseimbangan antara yang profan dan sakral, antara skala dan niskala. Rumah tinggal merekamerupakanwantahandarikonsep simbolik religius geometri.

SIMPULAN
Wantah simetri pada rumah tinggal tradisional memegang peranan yang cukup penting. Simetri dalam pengejawantahan ruang geometri masyarakat vernakular dapat membantu mereka dalam mempersepsikan hubungan untuk meningkatkan penghargaan kepadaalamdanPenciptanya.Sebenarnya, bukan bentuk-bentuk ruang geometri yang simetris yang menjadi tujuan masyarakat vernakular. Namun - seperti halnya ungkapan sikap solemnitas yang lebih banyak bersifat spontan, tanpa perlawanan, dan kesadaran – rumah tinggal tradisional yang simetris secara vertikal maupun horisontal lebih banyak didasarkan dari pengaruh alam pemikiran manusia yang bercita rasa dan penghayatan kosmis dan mistis. Pensghayatan ini menyangkut ke-ada-an manusia atau semesta dari dasar-dasar yang paling akar, paling menentukan, paling sejati.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin kontemporer, pengungkapan religiusitas melalui bentuk-bentuk geometri rumah tinggal mengindikasikan pada pencapaian bentuk-bentuk yang lebih bebas, seolah tidak mau lagi terformat pada dogma- dogma yang kaku. Bagi mereka penghayatan religius bersifat pribadi sampai kepada pencitraan terhadap Yang Religius itu sendiri. Manusia seolah ingin mengungkapkan citra kemanusiaan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Sesuatu Yang Agung dengan segala Kemuliaan danKemaharajaan-Nya. TetapiTuhanyang dekat dengan umatnya, layaknya seorang ibu yang dekat dengan anaknya. Namun, dalam menjalankan ritual religiusnya, manusia sampai saat ini belum kontemporer dalam membuat wadah tempat ibadahnya, tidak sekontemporer membuat bentukan rumah tinggal mereka yang mencirikan tradisional masyarakat tertentu. Manusia belum bisa meninggalkan sikap solemnitas tersebut. Doa masih dijalani dalam posisi simetris.

DAFTARPUSTAKA
Antoniades, Anthony C. 1990. Poetics of Architecture-Theory of Design. New York: Van Nostrand Reinhold.

Brouwer, M.A.W. 1984. Psikologi Fenomenologis. Jakarta: PT. Gramedia.
Crowe, Norman, 1995. Nature and the Idea of a Man-made World-An Investigation into the Evolutionary Roots of Form and Order in the Built Environment. Cambridge Massachusetts: The MIT Press.

Dom H. van der Laan. 1983. Architectonic Space-Fifteen Lessons on the Disposition of Human Habitat. Leiden: E.J. Brill.

Eliade, M. 1986. The Sacred and The Profane.New York: The Crossroad Publishing Company.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Gelebet, I Nyoman, dkk.1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan KebudayaanProyekInventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Handler dan Linnekin. 1988. Tradition, Genuine, or Spurious, dalam Journal of American Anthroplogy.

Kartono, J. Loekito. 1998. Pengaruh Kosmologi, Mitologi, dan Genealogi pada Wujud Arsitektur Rumah Tinggal Arsitektur Tradisional di Indonesia dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Volume 25 Agustus 1998. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya.

Kridosasono. 1976. Kawruh Kalang. Surakarta: Jawatan Gedung-gedung Negara Daerah Surakarta.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi dan Filsafat Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: PT. Gramedia.

Mangunwijaya, Y.B. 1999. Manusia Pasca- modern, Semesta, dan Tuhan, Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Rumah Adat/Tradisional, http:www.pu.go.id/ publik/bencana/SIATI/simtradisiona l.html.

Widayati, Naniek. 1999. Tinjauan Kajian Konsep Bangunan Jawa (Sebuah Kajian Literatur) dalam Jurnal Kajian Teknologi Volume 1 Nomor 1 Nopember 1999. Jakarta: Uni- versitas Tarumanegara Jakarta.

Sumber: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel-dewi-4.pdf

-

Arsip Blog

Recent Posts