Hajinya Orang Jawa

Oleh M Bambang Pranowo

Haji bagi orang Jawa merupakan puncak kesempurnaan iman seorang Muslim. Karena itu, ibadah haji merupakan perjalanan spiritual paripurna untuk seorang kawula.

Persiapan untuk mencapai kesempurnaan iman itu demikian sakral, sehingga orang Jawa yang mau menunaikan ibadah haji mempersiapkan dirinya untuk lebur, mati, dan nyawiji dalam sifat-sifat Allah. Haji dalam “bahasa kultural orang Jawa” disebutkan sebagai “kaji” yang maknanya tekad wis nyawiji yaitu suatu niat sungguhsungguh untuk manunggaling kawula Gusti dengan segenap rasa dan jiwa.

Dengan latar belakang inilah, kita memahami, kenapa orang Jawa yang mau menunaikan ibadah haji butuh persiapan panjang, khususnya persiapan mental, hati, dan jiwa. Orang yang akan menunaikan haji harus mempunyai hati yang sumeleh, ikhlas, rendah hati,dermawan,dan penuh kasih. Persiapan ini bagi orang Jawa yang benar-benar memahami makna hakiki haji tidak gampang sampai-sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) hingga akhir hayatnya (1988) belum sempat menunaikan haji.

Kenapa demikian? Menurut cerita KH Wardan Dipodiningrat,penasihat Keraton Yogya dan salah seorang Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, HB IX pernah menyatakan bahwa dirinya belum mampu dan pantas secara rohani untuk menunaikan ibadah haji. HB IX merasa masih banyak kotoran jiwa dan dosa yang harus disucikan sebelum benar-benar memutuskan untuk menunaikan ibadah haji.

Sampai akhir hayatnya, beliau pun rupanya masih terus mempersiapkan hati dan jiwanya untuk menunaikan ibadah haji. Betapa nilai spiritual haji dalam pandangan seorang raja Jawa. Gambaran tersebut menunjuk kan kerendah-hatian HB IX dalam memandang dirinya di hadapan Allah, sehingga beliau masih merasa malu untuk menunaikan ibadah haji.

Peneliti LP3ES Jakarta Dr Ignas Keleden dalam tulisannya tentang HB IX mengungkapkan arak-arakan awan ikut mengiringi jasad Sultan ke peristirahatan terakhir. Matahari yang panas langsung redup dan angin berhembus semilir seakan ikut mengantarkan HB IX untuk menemui Tuhannya.Dalam bahasa santri, apa yang dikatakan Ignas menggambarkan bahwa HB IX meninggal dengan khusnul khatimah sesuai harapan semua orang Islam.

Proses Spiritual

Kisah bagaimana kebesaran Allah dalam melihat niat suci ibadah haji, misalnya, pernah diungkapkan seorang ulama bernama Abdullah bin Mubarok di Arab Saudi. Saat itu Abdullah sedang melaksanakan ibadah haji.Entah bagaimana, sang ulama tibatiba tertidur di lantai Masjidilharam, Mekkah dan bermimpi melihat dua orang malaikat sedang berdialog. Salah satu malaikat bertanya kepada temannya, berapa orang yang ibadah hajinya diterima Allah?

Sang Malaikat yang ditanya menjawab, hanya satu orang, namanya Muwaffaq dari Damsyik (Damaskus). Abdullah kaget! Setelah ibadah hajinya selesai, dia mencari Muwaffaq,orang yang hajinya diterima Allah tersebut. Setelah bertemu, sang ulama makin kaget lagi karena Muwaffaq ternyata adalah orang miskin dan tidak pernah sampai ke Mekkah.Dengan penasaran, Abdullah bertanya, “Kenapa malaikat menyebutkan hanya Anda yang ibadah hajinya mabrur?”

Muwaffaq pun bercerita bahwa dia memang pernah berniat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tapi bekalnya habis di perjalanan karena melihat banyak sekali orang miskin dan dia membagikan bekalnya kepada mereka sampai habis. Kisah-kisah di atas–Muwaffaq dan HB IX–menggambarkan bahwa ibadah haji sebetulnya lebih merupakan suatu proses perjalanan spiritual ketimbang fisikal.

Itulah sebabnya, orang Jawa akan mempersiapkan hati dan rohaninya sebelum menunaikan ibadah haji agar mereka mendapat pengalaman spiritual. Makin banyak pengalaman spiritual yang dialaminya selama menunaikan ibadah haji, makin besar pula harapan orang Jawa untuk menjadi muslim yang baik. Pinjam tesis MC Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java, ibadah haji merupakan salah satu tahapan akhir proses transformasi keislaman orang Jawa.

Dengan menunaikan ibadah haji,atribut kultural orang Jawa yang sebelumnya berbau Hinduism dan politeisme berubah menjadi monoteisme dan Islam. Melalui haji inilah, orang Jawa akhirnya melihat diri mereka secara alamiah memiliki identitas pokok yang didefinisikan Islam (Azra,2009). Untuk menggambar kan bagaimana kuatnya proses Islamisasi orang Jawa melalui ibadah haji ini, misalnya, bisa kita lihat dalam perjalanan hidup Pak Harto.

Peneliti sosiologi Islam dari Barat yang terjebak kategorisasinya Geertz dalam melihat Islam di Jawa (abangan, priyayi, dan santri) nyaris tidak bisa memahami perjalanan spiritual Pak Harto— orang yang disebut Allan A Samson sebagai an abangan military general—yang sangat berpengaruh dalam kehidupan bangsa Indonesia (Army and Islam in Indonesia,1972). Bagaimana mungkin seorang presiden yang lahir dari kultur Jawa abangan, di masa tuanya membangun 999 masjid di seluruh Indonesia melalui yayasan Amal Bhakti Pancasila yang digagasnya?

Kenapa itu terjadi? Jawabnya karena orang Jawa dalam proses transformasi budayanya—sejak zaman pra- Islam,Hindu,dan Buddha—kini telah sampai pada penemuan identitas dirinya, yaitu Islam. Meski demikian, orang Jawa tidak meninggalkan sejarah dan budaya masa lalunya yang dianggapnya sebagai warisan nenek moyang yang tetap harus dihormati secara kultural. Dari gambaran inilah,kenapa ibadah haji bagi orang Jawa mempunyai makna yang sangat penting.

Tidak seperti orang kaya di kota metropolitan di mana ibadah haji dilakukan dengan sangat mudah melalui ONH Plus dengan penekanan mempunyai cukup uang, bagi orang Jawa ibadah haji butuh persiapan mental, hati, dan jiwa. Ibadah haji adalah manifestasi dari kaji yaitu tekad wis nyawiji (tekadnya sudah menjadi satu)—yaitu usaha tanpa lelah secara fisikal dan spiritual demi membersihkan hati dan menyucikan rohani untuk menuju ke haribaan Allah (manunggaling kawula Gusti). 

M BAMBANG PRANOWO
Direktur Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta

-

Arsip Blog

Recent Posts