Melawan Korupsi Melalui Pengawasan Keuangan Partai dan Keuangan Kampanye - Pengalaman Eropa: Suatu Analisa Komparatif

Oleh : Uwe Johannen

Pengantar
Saya memilih memfokuskan pembahasan dalam presentasi saya, pada apa yang saya lihat sebagai gagasan paling mendasar di balik konferensi ini, yakni mengembangkan strategi untuk mengurangi peluang korupsi. Studi National Democratic Institute (NDI) dan Council of Asian Liberals and Democrats (CALD) telah menyediakan informasi yang bermanfaat tentang bentuk-bentuk reformasi yang telah diperkenalkan di wilayah Asia. Hasilnya dijabarkan dengan usulan reformasi internal dan eksternal yang diarahkan pada: 1) Pemilihan Kandidat dan Kepemimpinan, 2) Manajemen Keuangan dan Penggalangan dana dan, 3) Standar etika, pelatihan dan disiplin.

Studi NDI-CALD menemukan bahwa, “dari delapan negara dalam studi ini, Korea dan Thailand memiliki peraturan nasional yang paling detail dan tajam untuk mengurangi korupsi politik dan politik uang. Malaysia, Kamboja dan Philipina memilliki kerangka legilasi yang relatif lemah dalam pengaturan keuangan politik dan keuangan partai, dan meskipun Indonesia telah mengesahkan beberapa undangundang keuangan politik tahun 1999, peraturan-peraturan ini belum sepenuhnya ditegakkan atau pun belum diimplementasikan. Nepal dan Taiwan masih dalam proses pembahasan undang-undang.” Saya yakin sekarang Anda kenal dengan semua situasi tersebut.

Pengalaman Eropa
Skandal-skandal Pendanaan Politik Reformasi, dalam kaitannya dengan upaya melawan korupsi di dalam sistem Politik Eropa, pada umumnya didorong oleh skandal yang terjadi dan difokuskan pada pengawasan terhadap keuangan partai politik dan pendanaan kampanye pemilu. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan berbagai negara Eropa banyak dan beragam, tetapi masih memungkinkan kita untuk menarik beberapa kesimpulan yang berguna dan mungkin akan bermanfaat untuk membandingkan hal ini dengan kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari studi NDI-CALD.

Hampir setiap negara komunitas Eropa pernah mempunyai skandal keuangannya sendiri. Untuk memahami upaya apa yang telah dilakukan untuk membuat keuangan partai lebih transparan, kita perlu mempertimbangkan skandal-skandal di bawah ini. Contoh-contoh berikut diambil dari beberapa negara dan komunitas partai sendiri.

Perancis
Jika sebuah kaset video tentang seorang tukang suap politik tingkat tinggi yang dipublikasikan setelah ia meninggal bisa dipercaya, partai presiden Jacques Chirac mendanai kampanyenya yang sukses di tahun 1995 dengan uang pelicin ilegal dari perusahaan-perusahaan yang memenangkan tender-tender tertutup pekerjaan publik. Tuan Chirac menolak memenuhi tuntutan untuk menjelaskan sendiri soal ini, setelah kaset itu dipublikasikan.

Jerman
Setelah skandal Flick 1984, ditemukan bahwa soal-Flick ternyata diketahui telah melakukan pembayaran politik illegal besar-besaran kepada partai-partai utama sejak tahun 1981, diduga sebagai bentuk pertukaran bagi kemudahan bisnis. Ketua Parlemen dan dua menteri mengundurkan diri. Pada tahun 2000, Helmut Kohl terpaksa mundur dari jabatannya sebagai ketua kehormatan partai menyusul terungkapnya fakta adanya sumbangan ilegal kepada CDU semasa ia menjadi Kanselir. Subsidi publik untuk CDU dipotong sebesar 3,5 juta dolar Amerika sebagai denda akibat skandal tersebut. Mantan Kanselir Kohl menyaksikan reputasinya sebagai salah seorang negarawan Eropa paska-perang-dunia terkemuka menjadi tercemar setelah terungkap bahwa ia secara pribadi telah menerima sumbangan uang tunai sebesar 1 juta dolar secara rahasia -dan oleh sebab itu ilegal- dari sumber-sumber yang hingga kini enggan disebutkannya.

Italia
Temuan pada tahun 1993 tentang adanya ikatan rahasia antara politisi-politisi papan atas, bos-bos mafia dan para pengusaha meruntuhkan seluruh konstruksi politik Italia, menghancurkan Partai Demokrasi Kristen yang telah berkuasa di negara ini sejak Perang Dunia II.

Spanyol
Pada tahun 1991, Partai Sosialis Spanyol mengalami kehancuran yang kritis akibat tuduhan suap politik yang dilakukan pada masa kampanye 1989 yang disamarkan sebagai kontrak konsultasi dengan perusahaan FILESA.

Inggris
Citra bersih mengkilap Perdana Menteri Tony Blair terpukul oleh terungkapnya fakta bahwa partainya, Partai Buruh, pada 1997 menerima donasi 1 juta pound (1,46 juta dolar) dari Bernie Ecclestone, bos mobil balap Formula One. Pemerintahan Partai Buruh kemudian mengecualikan Formula One dari larangan iklan rokok yang diberlakukan di seluruh Eropa. (Partai) Buruh terpaksa mengembalikan uang tersebut ketika “hadiah” itu diketahui publik.

Di Inggris, skandal-skandal konflik kepentingan yang menimpa para anggota Parlemen mencapai titik di mana kepercayaan publik pada menteri-menteri pemerintahan yang “umumnya dipercaya untuk bicara kebenaran” turun hingga hanya 11% (bandingkan dengan dokter dan guru pada peringkat 84% dan pembaca berita televisi 72%). Sementara kebanyakan kelompok pekerjaan mengalami peningkatan peringkat selama periode sepuluh tahun, peringkat para menteri dan politisi, yang memang sudah sangat rendah, bahkan semakin turun.

Politisi Inggris pada umumnya mengalami kejatuhan politik bukan karena dinyatakan bersalah melakukan tindakan kriminal, melainkan karena kesalahan dalam pertimbangan mereka sendiri. Meski demikian, di Eropa daratan, termasuk Belgia, Italia, Australia, Perancis dan Spanyol, tokoh-tokoh politik secara aktif diselidiki dan dihukum pidana karena pelanggaran terhadap kepercayaan.

Undang-undang tentang Partai Politik dan Keuangan Partai
Sama halnya dengan di Asia, setiap negara Eropa memiliki kerangka hukumnya sendiri dalam hal pengaturan partai politik dan keuangan partai. Perbedaan antar negara cukup besar dalam hal sejauh mana partai politik diakui dalam konstitusi dan undang-undang mereka. Di Jerman, contohnya, Pasal 21 Konstitusi (Psl, 21, I, II GG) mengacu pada peran partai-partai:

Partai-partai politik harus berpartisipasai dalam membentuk kehendak politik rakyat. Partai-partai secara bebas dapat didirikan. Pengorganisasian internal partai harus sesuai dengan prinsip demokrasi. Mereka harus mengumumkan kepada publik sumber-sumber dan penggunaan dana mereka dan aset-aset mereka.

Partai-partai yang, karena alasan tujuan mereka atau perilaku pendukungnya, berupaya merusak atau menghapuskan tata aturan dasar demokrasi bebas atau membahayakan eksistensi republik federal Jerman adalah inkonstitusional. Pengadilan Konstitusi Federal akan memutuskan dalam soal inkonsitutionalitas.

Kontras dengan contoh pengaturan langsung konstitusional partai politik di Jerman, ada negara-negara lain di mana partai politik tidak pernah diakui undang-undang. Secara hukum, mereka tidak berbeda dengan asosiasi sukarela atau klub. Mereka harus tunduk pada peraturan pemerintah yang mengatur asosiasi-asosiasi sukarela demikian. Contohnya, di Belgia, partai politik adalah asosiasi de facto dan tidak memiliki personalitas hukum; oleh sebab itulah rekening mereka tidak menjadi subyek pengawasan fiskal samasekali. Di Irlandia, partai politik umumnya dianggap sebagai asosiasi non-corporasi atau organisasi sukarela swasta dan eksistensi mereka tidak diatur oleh hukum. Situasi serupa dijumpai pula di Luxembourg.

Undang-undang pemilu setiap negara adalah hal berikutnya yang perlu ditinjau untuk melihat peraturan-peraturan terkait dengan partai politik dan kandidatkandidat. Di samping itu, dibanyak negara undang-undang yang menyebutkan partai politik ditemukan dalam beberapa bagian yang berbeda di buku statute.

Kebutuhan untuk mencari diberbagai tempat –termasuk tempat-tempat yang tak terduga- undang-undang menyangkut partai politik dapat diilustrasikan dengan situasi di Inggris belum lama ini: Pembatasan dalam iklan politik yang dibayar pada televisi tercantum dalam Undangundang Televisi, 1954, s 3 (1), pembatasan khusus soal donasi untuk partai politik oleh serikat pekerja dan asosiasi pemilik perusahaan diambil dari Undang-undang Serikat Kerja tahun 1913 dst.

Dalam soal donasi dari perusahaan-perusahaan, Undang-undang Perusahaan-perusahaan tahun 1967 adalah penting. Status hukum Partai Konservatif baru didefinisikan oleh Pengadilan sebagai efek samping dari suatu kasus hukum yang aneh dimana Kantor Pusat Partai Konservatif mengajukan gugatan terhadap inspektur pajak untuk memenangkan hak untuk membayar pajak pendapatan atas pendapatan investasinya, dan bukan pajak perusahaan. Definisi hukum “partai politik” diberikan pula di dalam Undang-undang Keuangan, 1975 bagian 1 (11)(2) yang sama anehnya, yang mendefinisikan persyaratan yang mengatur pengecualian pajak terhadap pajak perpindahan modal (i.e. pajak warisan) yang dapat diklaim untuk hibah kepada partai politik.

Peraturan Pembelanjaan Kampanye
Pembelanjaan Kampanye telah dilihat sebagai suatu yang paling berkontribusi pada korupsi di partai politik dan secara negatif mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, dan hal ini telah menjadi wilayah pengaturan paling penting. Pemerintah Inggris, misalnya, telah menerapkan suatu “pembatasan pembelanjaan kampanye”. Dibawah peraturan yang saat ini sedang dibahas di parlemen, partai-partai politik akan dilarang membelanjakan lebih dari 20 juta British pound (29 juta dolar) masing-masing pada setiap kampanye pemilu. Pada kampanye terakhir, partai Konservatif membelanjakan 28 juta (48 juta dolar) dan partai Buruh membelanjakan 15 juta (22 juta dolar).

Meskipun angka-angka di atas sangat tak berarti dibandingkan pengeluaran kampanye Amerika, partai-partai tidak terlalu perlu banyak pengeluaran, sebab stasiun-stasiun TV dan radio diwajibkan untuk memberikan waktu tayang gratis kepada partai-partai utama selama masa kampanye, sementara pemasangan iklan dilarang. Pada saat yang sama, partai- partai Inggris dibawah undang-undang baru ini akan diwajibkan untuk membuka identitas donor-donor terbesar mereka, dan menolak dana dari luar negeri. Jenis pembaruan seperti ini, menurut para pengamat politik, menjadi esensial jika tidak ingin kehilangan kepercayaan pemilih kepada para pemimpin politik mereka.

Banyak pemerintahan telah berusaha untuk mengatur dan mensubsidi dana politik dengan berbagai cara dan dengan peraturan-peraturan yang terdaftar di sini, yang diterapkan secara penuh atau sebagian di banyak negara Eropa.

Disamping batasan pengeluaran dan kontribusi (seperti contoh Inggris di atas), ada juga peraturan keterbukaan yang mewajibkan penyebutan kontributor-kontributor kampanye dan partai dalam mengungkapkan jumlah dana yang masing-masing disumbangkannya.

Ada juga larangan terhadap jenis-jenis kontribusi tertentu dan terhadap jenis-jenis pembelanjaan tertentu.

Aturan tentang pemberian fasilitas bebas biaya atau harga murah bagi partai-partai dan kandidat (bebas perangko bagi materi pemilu, dan pembebasan fasilitas subsidi untuk siaran partai-partai di televisi dan radio), dirancang untuk membatasi biaya kampanye pemilu.

Subsidi publik, seperti pembayaran keuangan untuk partai-partai atau kandidat-kandidat dari dana publik dirancang untuk membatasi kebutuhan akan kontribusi dari pihak swasta dan perusahaan.

Masalah yang timbul karena Aturan tentang Pendanaan Politik di Eropa Mungkin ada manfaatnya untuk mengkaji beberapa cara bagaimana pembaharuan-pembaharuan di tahun-tahun terakhir di Eropa tersebut dihindari.

Sebuah kajian tentang teknik-teknik mengalahkan niat baik undang-undang tersebut mungkin memiliki nilai praktis. Seorang ilmuwan Jerman, Karl-Heinz Nassmacher, telah membuat ringkasan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami para reformis di negara-negara Barat: praktek politik selama hampir dua dekade telah menekankan kembali paradoks yang umum tercipta karena langkah-langkah reformasi konstitusi. Penerapan peraturan perubahan melahirkan kebutuhan untuk lebih banyak (dan lebih kompleks) pembaharuan legislasi. Berbagai pembatasan rumit yang didesain untuk mengontrol arus uang yang masuk ke dalam proses-proses politik telah mendorong pada politisi profesional untuk melibatkan diri dalam pencarian kreatif terhadap celah potensial baik dalam penerapan undang-undang yang sedang berlaku ataupun ketika merancang amandemen yang diperlukan.

Perubahan legislasi memiliki kecenderungan menciptakan masalah baru yang tidak terduga. Bukti untuk ini adalah serangkaian pembaharuan terhadap undang-undang perubahan di beberapa negara seperti Perancis, Italia dan Jerman. Di bawah ini adalah dua alasan mendasar mengapa terbukti betapa sulitnya merancang undang-undang yang memuaskan untuk mengatur pendanaan politik.

Pertama, apa yang disebut celah (loopholes). Meskipun kontribusi terhadap partai partai-politik dan kampanye pemilu adalah dua dari saluran-saluran paling penting dan paling langsung dimana uang dapat digunakan untuk mempengaruhi politik, namun keduanya bukanlah satu-satunya saluran yang ada. Pembatasan terhadap pendanaan partai dan pemilu tampaknya tidak akan terbukti efektif apabila bentukbentuk pendanaan lain yang “secara politik relevan” tetap tidak dibatasi.

Kedua, penegakan yang tidak memadai. Di suatu bidang yang kontroversial dan kompleks seperti pendanaan partai-partai dan kampanye, undang-undang membutuhkan pengawasan dan implementasi yang efektif. Artinya, penegakan undang-undang menuntut adanya sebuah otoritas yang kuat yang diberi kekuasaan hukum yang cukup untuk mengawasi, memverifikasi, menyelidiki dan jika perlu memprakarsai suatu proses hukum. Namun, hukum yang tidak ditegakkan seringkali adalah norma yang berlaku.

Jerman menyediakan contoh dramatis dari betapa rutinnya hukum yang terkait dengan dana politik tidak ditegakkan. Pengungkapan di awal tahun 1980an seputar “Flick Affair” mengisyaratkan bahwa telah terdapat 1800 kasus pelanggaran hukum yang melibatkan semua partai-partai besar, beberapa dari tokoh politik paling senior dan banyak perusahaan terkemuka negara itu, yakni kasus-kasus tersebut rutin diabaikan karena hukum tidak ditegakkan.

Menulis pada 1994, Alexander dan Rei Shiratori melaporkan bahwa di Italia sebuah penyelidikan yang terlambat telah membuka tabir pelanggaran yang telah berlangsung bertahun-tahun. “Penyelidikan yang disebut `Operasi Tangan Bersih` itu telah memakan korban nyawa tujuh pejabat tinggi, termasuk seorang mantan menteri, yang bunuh diri setelah menerima pemberitahuan resmi bahwa mereka sedang dibawah penyelidikan karena diduga melanggar undang-undang tentang keuangan partai. Sejauh ini, 1500 politisi—termasuk dua mantan perdana menteri—dan beberapa pengusaha telah dipenjara atau diinterograsi, dan enam menteri pemerintahan serta empat ketua partai politik terbesar mengundurkan diri dari jabatannya.”

Korupsi politik telah merajalela di Perancis, sebagian karena dibawah hukum Perancis, hukuman untuk kesalahan sangat ringan, dan juga karena sudah terlalu lama sistem peradilan tidak bekerja dengan baik. Namun demikian, isu tentang kebutuhan untuk penegakan hukum menghadirkan dilema yang lain. Di satu pihak, hukum tidak ada artinya jika tidak ditegakkan. Di pihak lain, tuntutan akan akuntabilitas bisa jadi terbukti sangat membebani sehingga malah akan memperbesar biaya kampanye dan akan membuat warga negara biasa berpikir dua kali untuk maju meraih jabatan politik.

Model-model Peraturan tentang Keuangan Partai dan Kampanye
Beberapa negara Eropa, seperti Spanyol dan Perancis, telah mengadopsi sebuah “model publik” dalam hal keuangan partai, yang melarang partai-partai politik untuk menerima uang tanpa batas dari donor perusahan atau serikat-serikat pekerja. Ketika negara mendanai partai-partai politik tentu saja ia bebas memutuskan sifat dan besaran bantuan yang diberikan. Pengaturan yang ada sangatlah beragam. Beberapa negara menawarkan penggantian biaya kampanye pemilu yang cakupannya cukup luas, termasuk biaya rutin partai serta kegiatan-kegiatan tertentu.

Di Spanyol prinsip-prinsip pengaturan yang sama mengatur pemberian subsidi publik. Pertama, ada subsidi-subsidi “pemilu”. Hukum mendefinisikan suatu kontribusi dari negara terhadap pengeluaran kampanye yang dapat dibayarkan tidak hanya untuk partai-partai politik tetapi juga untuk federasi partai-partai dan kelompok-kelompok pemilih, sejauh mereka memenangkan paling sedikit satu kursi. Kontribusi ini proporsional dengan jumlah suara yang diperoleh. Di bawah “model publik”, partai-partai diberi bantuan oleh negara, dengan harapan untuk mengurangi nafsu mereka terhadap donasi besar dari swasta. Tetapi ternyata harapan tersebut tidak terpenuhi, dan partai-partai selalu saja berhasil mencari cara-cara menelikung undang-undang, khususnya ketika penegakan hukum sangat lemah, untuk mengumpulkan dana dari perusahaan-perusahaan dengan cerdiknya.

Negara-negara lain, seperti Inggris, telah mengadopsi sebuah “model swasta”, di mana partai-partai tidak perlu mengungkapkan dari mana mereka mendapatkan uangnya, dan mereka bebas mengumpulkan dana dari badan usaha, serikat-serikat kerja dan, hingga beberapa waktu yang lalu, bahkan juga dari orang-orang asing. Sementara itu, di Amerika Serikat, di mana aturan keterbukaan yang diterapkannya merupakan yang paling ketat di dunia, pengunaan panitia aksi-politik dan cara-cara “uang lunak” berarti hampir tidak ada batas terhadap siapa yang boleh menyumbang, atau berapa banyak, seperti sumbangan swasta/perusahaan.

“Model swasta” memperbolehkan perusahan-perusahaan untuk mendanai partai politik, tetapi menerapkan persyaratan transparansi untuk melacak hubungan-hubungan mereka. Model ini mengasumsikan bahwa melarang donasi perusahaan sama saja artinya dengan menciptakan ilegalitas. “Uang lunak” sendiri tidaklah illegal di Eropa, hanya dibatasi dan diharuskan terbuka.

Kesimpulan dari Eropa dan Asia
Negara-negara Eropa masih terus bereksperimen dengan undang-undang tentang keuangan partai, tetapi eksperimen mereka telah memperlihatkan satu hal: legislasi mungkin hanya dapat membentuk ulang aturan pemainan pembelian pengaruh. Langkah-langkah reformasi yang akan membentuk suatu demokrasi yang lebih responsif terhadap seluruh rakyat, betapapun besar dompet-dompet mereka, membutuhkan pergeseran budaya yang lebih dalam.

Pengamatan kita atas sistem-sistem yang berbeda yang ditetapkan oleh berbagai negara Eropa yang mengatur partai politik dan kampanye memperlihatkan bahwa, meskipun teknik yang dipilih seringkali sangat berbeda jauh, kekhawatiran yang menggaris bawahinya tetap sama, meskipun tujuan pengaturannya berbeda antara satu negara dengan negara lain tergantung masalah-masalah yang khas yang telah berfungsi sebagai pemicu pembaharuan.

Mengumumkan semua kontribusi politik. Tujuannya umumnya adalah untuk mewajibkan semua sumbangan agar transparan sehingga para politisi tidak berani mengadakan kesepakatan gelap sebagai balas jasa atas kontribusi tersebut.

Mempromosikan keadilan. Tujuan pembatasan jumlah uang yang boleh dibelanjakan oleh politisi bukan hanya untuk mengontrol permintaan akan donasi, melainkan juga untuk mengurangi signifikansi kesenjangan sumberdaya antara organisasi-organisasi politik yang kaya dan miskin.

Mengontrol cepatnya pertumbuhan biaya kampanye. Cara yang paling efektif sepertinya adalah dengan menyediakan liputan media gratis bagi semua partai sebagai pengganti iklan politik.

Mempromosikan berbagai partai politik. Para pendukung subsidi keuangan bagi partai-partai menekankan bahwa demokrasi membutuhkan adanya partai-partai politik yang kuat dan kompetitif. Agar partai politik mampu menampilkan diri mereka kepada para pemilih, dan agar mereka mampu melakukan riset tentang kebijakan alternatif, mereka memerlukan biaya untuk mempekerjakan sejumlah staf yang memadai. Cara terbaik untuk memastikan bahwa partai-partai memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan fungsi demokratisnya adalah dengan memberikan subsidi kepada mereka dari dompet dana publik.

Mendorong partisipasi akar rumput. Menurut pandangan ini, ciri penting partai yang demokratis adalah bahwa ia merupakan organisasi sukarelawan yang bergantung pada dukungan dan usaha para anggotanya. Mereka tidak boleh bergantung baik pada negara maupun kontributor besar swasta. Keuangan mereka harus didasarkan pada sejumlah besar uang anggota yang kecil-kecil.

Pemimpin partai-partai demokratis perlu menarik pengikut-pengikut yang akan memberikan dukungannya karena alasan idealis. Itulah sebabnya makan penting bagi partai-partai yang demokratis untuk menerima sumbangan dana, tetapi hanya sebagai tambahan dari bantuan yang diterimanya dari anggota-anggota biasa dalam melaksanakan tugas-tugas menjelang pemilu. Saya mengikuti alur pandangan bahwa salah satu tujuan utama dikeluarkan regulasi soal pendanaan politik mestinya adalah untuk mendorong partisipasi individu secara luas melalui pembayaran berskala kecil dan iuran. Tujuan ini terutama penting dalam sebuah Negara demokrasi yang baru di mana organisasi-organisasi partai masih lemah dan perlu merekrut anggota.

Kadang ada yang berargumentasi bahwa tidaklah realistis mengharapkan partai-partai politik di wilayah dunia yang pendapatannya sangat rendah untuk mengumpulkan dana secara signifikan dari iuran anggota. Dalam kondisi seperti itu, sumber uang satu-satunya yang tersedia adalah hibah dari dana publik atau dari donor asing. Tetapi ada landasan yang kuat bagi penolakan atas pandangan ini. Terdapat suatu bahaya khusus di negara-negara demikian, yaitu bahwa pertumbuhan organik partai-partai teredam oleh `racun emas` dalam bentuk bantuan hibah seperti itu. Apabila pemimpin-pemimpin partai dapat mengambil keuntungan dari bantuan keuangan, mereka akan terus kehilangan akarnya di tingkat daerah. Tunjangan keuangan jangka pendek yang terlalu murah hati dan didasari maksud baik telah banyak menghancurkan partai-partai di cukup banyak negara demokrasi baru.

Reformasi internal partai dan pembaharuan legilasi eksternal partai di Eropa berjalan seiring. `Akar` struktur Partai Demokratis dapat ditemukan di banyak konstitusi negara-negara Eropa. Apakah konstitusi atau undang-undang khusus kepartaian yang menuntut demokrasi internal, pada dasarnya adalah norma yang berlaku, paling tidak di permukaan. Yang menarik, soal ini diterapkan sebagai persyaratan bagi negara-negara yang mendaftarkan diri sebagai anggota perluasan Komunitas Eropa.

Pelajaran apa yang dapat diambil dari semua ini? Survey NDI-CALD menyimpulkan bahwa “legislasi eksternal yang ketat, meskipun merupakan pendekatan yang menarik bagi upaya melawan korupsi politik, ternyata ada kerugiannya”. Kerugian yang utama ternyata adalah soal penegakan, yakni sulitnya badan-badan penegakan hukum melacak data aktual tentang kegiatan, pengeluaran serta pendapatan partai. Pengalaman Eropa jelas-jelas menguatkan kesimpulan tersebut.

Kompleksitas yang tercakup dalam pengawasan pendanaan politik berarti bahwa setiap langkah mengeluarkan undang-undang baru perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Peraturan akan menjadi tidak ada artinya kecuali diciptakan juga sistem penerapannya yang terencana secara baik, professional dan, netral.

Studi NDI-CALD juga menunjukkan bahwa “undang-undang dapat pula menciptakan insentif yang menyimpang. Di Korea dan Thailand, misalnya, partai-partai menjelaskan bahwa banyak donor lebih suka namanya tidak disebutkan, sehingga undang-undang keterbukaan publik memaksa partai-partai untuk menolak dukungan keuangan yang sebetulnya sangat mereka butuhkan itu, atau melanggar undang-undang. Bahkan banyak laporan menyebutkan bahwa legislasi, seperti misalnya persyaratan pelaporan yang rumit, telah mendorong praktek-praktek tersebut di atas ke bawah tanah.

Bahkan di Jerman, di mana mantan konselir Kohl sendiri yang mengeluarkan undang-undang baru anti korupsi yang ketat di tahun 1980an, menjelang terungkapnya skandal-skandal sebelumnya, ternyata jelas bahwa legislasi terbaik pun tidak mampu menghentikan Christian Democratic Party dari menimbun jutaan dolar illegal di rekening bank rahasia di Swiss. “Undang-undang menjadikan kita semua penjahat, lapor seorang Anggota Parlemen”, demikian dikutip dalam studi NDI-CALD. Menurut studi itu, Taiwan telah belajar bahwa pembatasan terhadap pengeluaran dan sumbangan kampanye sesungguhnya mengurangi transparansi dan karena itu negeri ini sedang mempertimbangkan untuk mencabut hukuman bagi pelanggaran terhadap batasan-batasan ini. Dengan mencabut hukuman yang tercantum dalam legilasi tersebut, pemerintah berharap hal itu akan—untuk pertama kalinya—memperoleh penilaian yang akurat tentang pengeluaran dan sumbangan-sumbangan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, legislasi seringkali dapat mengalahkan maksud yang dikandungannya sendiri, yaitu mempromosikan transparansi yang lebih besar dalam keuangan politik.

Jepang memiliki sejarah yang menarik terkait dengan hal ini. Di Jepang, seperti juga di Eropa, reformasi terjadi karena adanya serangkaian skandal pada tahun 1990-an yang melibatkan pembayaran sebagai seorang politisi dari partai berkuasa, Liberal Demokrat (LDP) yang pembelanjaan kampanye pemilunya sangat besar. Sebagai akibatnya, Undang-undang Pengawasan Pendanaan Politik diubah dengan maksud agar arus sumbangan politik bisa lebih transparan. Gagasan utamanya adalah untuk memindahkan tanggung jawab penggalangan dana politik dari perorangan politisi kepada partai. Aturan ini sejalan dengan diperkenalkannya subsidi pemerintah untuk partai-partai politik, yang merupakan satu bagian penting lain dari paket reformasi politik 1994.

Setelah masa transisi lima tahun mulai dari Januari 1995, sumbangan dari perusahaan, serikat-serikat kerja, dan organisasi lainnya kepada anggota Diet perorangan dianggap ilegal. Sejak 1 Januari 2000, anggota Diet hanya diperbolehkan menerima dana dengan jumlah terbatas dari donor perorangan (hingga 1,5 juta yen per tahun), akan tetapi dapat menerima dukungan tak terbatas dari cabang-cabang partai di daerah dan kantor dewan pimpinan pusat. Banyak anggota Diet dari partai LDP mengubah kelompok dukungan pribadi mereka menjadi cabang partai di daerah, beberapa politisi bahkan mendirikan beberapa cabang di satu daerah pemilihan untuk menyediakan fasilitas bagi donor perusahaan yang berminat agar terus memberikan sumbangannya.

Pengalaman Eropa tampaknya menyarankan bahwa pembatasan terhadap pengeluaran mungkin lebih efektif daripada upaya untuk membatasi jumlah sumbangan. Sebagaimana diperlihatkan oleh proses reformasi di Eropa yang didorong oleh adanya skandal, publik dan media massa memainkan peran penting sebagai watchdog dalam hal sumbangan politik dan keuangan partai. Skandal-skandal yang luas dipublikasikan telah menggerakkan publik untuk menuntut pembaharuan. Kebebasan pers dan beragamnya koran, majalah dan radio serta TV yang mapan yang tertarik pada politik adalah persyaratan dasarnya.

Salah satu pelatihan seminar yang dilaksanakan oleh Yayasan kami di Jerman bertajuk ”Strategi Pemberantasan Korupsi”. Intinya training itu menyimpulkan bahwa untuk melawan korupsi, adanya media yang bebas dan mandiri serta pers bebas sangat penting. Akses pada informasi dan pemanfaatannya secara kritis, adalah pra-kondisi bagi media publik, yang memonitor akuntabilitas penguasa dan mewakili perang melawan korupsi.

Selain undang-undang kebebasan akses pada informasi dan undang-undang yang efektif mendifinisikan fitnah dan pencemaran nama baik dengan maksud untuk melindungi pers dan publik, perlu pula mengakhiri sensor politik dan mencari standar profesional yang lebih tinggi bagi jurnalis. Harus ada upaya untuk menghentikan diskriminasi dan campur tangan pemerintah dalam kasus kritik terhadap pemerintah atau standar professional yang berlaku serta kemandirian dan akuntabilitas para pegawai pemerintah. Agar reformasi dapat menjadi agenda publik, media harus bebas dan aktif. Hal ini merupakan agenda pra-reformasi yang penting.

Apa saja pelajaran utama yang kita ambil dari Eropa? Bukti empiris dan kesaksian pribadi dari pengurus partai menunjukkan secara jelas bahwa tekanan dari luar terhadap partai yang didapat dari legislasi yang lebih ketat atau bahkan pengajuan rancangan undang-undang pembaruan yang diadvokasikan tanpa diterapkan, media yang kritis serta opini publik seringkali menjadi awal, memprovokasi ataupun memicu reformasi internal partai. Skandal-skandal partai, citra publik yang negatif dan hasil-hasil pemilu yang buruk pada akhirnya telah mendorong para pembaharu di dalam partai untuk menantang pemimpin mereka, membangun konstituensi bagi perubahan dan mendorong penyesuaian yang lebih berani terhadap mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur tradisional.

Proses pembaruan tentu saja tidaklah merupakan transisi yang mulus karena adanya kepentingan tertentu dan diikuti oleh perebutan kekuasaan. Akan tetapi imbalannya sangat signifikan dan lebih dari jelas. Meningkatnya jumlah anggota, perekrutan kandidat berkualitas tinggi, hasil jajak pendapat yang meningkat, liputan media yang positif, hasil pemilu yang sangat baik dan perubahan pemerintahan, pada umumnya menjadi kompensasi atas reformasi partai.

Salah satu contoh konkrit adalah partai WD di Belanda, yang jumlah pemilihnya meningkat tiga kali lipat dan sekarang berkuasa di Netherland dengan agenda pembaruan yang jelas. Partai-partai anti-reformasi, yang berkeras mempertahankan praktek-praktek tradisional yang tidak transparan dan enggan menangani masalah korupsi, menerima hukuman pahit dari para pemilih, dan dalam beberapa kasus, bahkan hilang dari kancah politik, seperti yang terjadi pada partai Christian Democrats di Italia.

Banyaknya keuntungan dari memajukan demokrasi internal, akuntabilitas dan transparansi semakin terlihat jelas di dalam sistem kepartaian Eropa. Para pelopor dalam reformasi partai telah mengakui bahwa partai-partai politik terpaksa menerapkan pembaharuan terhadap struktur internal secara mendalam dengan tujuan untuk modernisasi, profesionalisasi dan penyesuaian pada lingkungan yang berubah serta tantangan-tantangan baru. Langkah yang merupakan keharusan ini dilihat sebagai sebuah soal survival jangka panjang dan pada akhirnya keberhasilan politik.

Para kritikus partai-partai tradisional berpendapat bahwa pengaturan masyarakat sipil secara korporasi bisnis dan bahkan juga birokrasi negara telah mengalami proses besar penyesuaian struktural dan modernisasi selama beberapa dekade terakhir, sementara banyak partai politik masih mempertahankan gaya kepemimpinan, keuangan dan pengorganisasian lama. Perilaku ini dipandang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pemerintahan demokrasi modern, oposisi parlementer dan kompetisi politik maju yang menuntut terciptanya masyarakat yang pluralistik. Dikatakan bahwa partai-partai politik terpaksa harus membangun struktur-struktur yang modern, professional, dan berfungsi baik serta menghapuskan praktek-praktek korupsi lama, ketiadaan transparansi serta sistem otoriter jika mereka bercita-cita menjadi pemimpin partai politik negara-negara modern.

Stabilitas keuangan partai-partai politik serta pengurangan jenis-jenis penggalangan dan pembelanjaan dana yang secara demokratis meragukan atau bahkan sama sekali tidak dapat diterima jelas akan menjadi isu kunci pengembangan demokrasi di Asia pada tahun-tahun dan dekade mendatang. Sebagian dari perkembangan baru yang di sebutkan di atas, kecenderungan yang menandakan makin besarnya tuntutan akan transparansi yang lebih besar serta legitimasi bagi transaksi-transaksi keuangan di bidang politik mungkin akan semakin menyulitkan partai politik yang masih ingin melanjutkan bentuk-bentuk tradisional penyalahgunaan keuangan.

Seperti telah ditunjukkan, soal ini tidak hanya merupakan persoalan orang Asia semata melainkan masalah universal partai-partai politik di seluruh dunia. Asia, tentu saja, memiliki hak untuk membuat kesalahannya sendiri dan menjalani berbagai eksperimen, dan sesungguhnya, cukup mengejutkan menyaksikan betapa dekatnya institusi-institusi dan aspirasi-aspirasi demokratis di wilayah ini dengan standar internasional. Itu sebabnya sangatlah direkomendasikan adanya tukar pengalaman dan saling belajar satu sama lain, di antara partai-partai di kawasan ini serta dari luar.

Uwe Johannen, Mantan Direktur Regional Friedrich-Naumann-Stiftung untuk Asia Tenggara dan Asia Timur.

Makalah ini disampaikan pada acara Lokakarya yang diadakan oleh National Democratic Institute (NDI) dan Council of Asian Liberals and Democrats (CALD) pada tanggal 14-16 Januari 2002 di Bangkok, Thailand. Lokakarya yang dihadiri oleh para anggota NDI dan CALD dan juga para pengamat tersebut bertajuk “Political Party Strategies to Combat Corruption”.

Sumber: Forum-Politisi.org, Kamis, 25 Maret 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts