Pemberantasan Korupsi di Parlemen

Oleh: Tasyriq Hifzhillah

“Korupsi sudah membudaya di antara bangsa Indonesia.” Itulah kata-kata profetis dari Bung Hatta, salah satu proklamator Indonesia, yang ternyata benar. Betapa tidak! Menurut berita yang dilansir situs Detiknews.com (Kamis, 25/09/08), sedikitnya 25 anggota Komisi IV DPR periode 2004–2009 diduga pernah menerima uang suap, terkait pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Api-Api (Pantai Air Telang), Sumatera Selatan. Mereka menerima jatah bervariasi, mulai Rp 25 juta hingga Rp 775 juta.

Belum lagi kunjungan sejumlah anggota DPR ke Eropa yang menuai pro-kontra di masyarakat. Setidaknya ada rombongan DPR yang melancong ke Frankfurt, Berlin, Milan, dan Swiss. Lawatan ke luar negeri ini dinilai banyak pihak hanya menghamburkan uang saja dan termasuk bagian dari korupsi (Detiknews.com, Rabu, 08/10/08). Fakta-fakta itu semakin menambah panjang kasus korupsi wakil rakyat tersebut. Meskipun kian banyak anggota DPR yang melakukan korupsi, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, rawan praktik korupsi.

Survei korupsi yang dilansir Transparency Internasional (TI) Indonesia tahun 2007 menyebutkan, parlemen dan partai politik adalah lembaga paling korup sejak dua tahun berturut-turut. Kalau di era Orde Baru korupsi terjadi secara terpusat dalam struktur eksekutif, setelah reformasi, terutama di era otonomi daerah, praktik korupsi justru menyebar dan meluas ke lembaga legislatif, karena terjadi kongkalikong antara keduanya dan membentuk lingkaran setan. Terjadilah korupsi berjamaah yang sangat sistematis dan kerugian negara yang disebabkannya terhitung sangat besar.

Praktik korupsi terkait pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Api-Api ini dilakukan oleh pelaku birokrasi dalam struktur negara dan swasta karena mereka mempunyai jabatan struktural yang melahirkan kewenangan atau kekuasaan (power). Dalam konteks seperti inilah, apa yang dikatakan oleh Lord Acton menjadi benar bahwa power tends to corrupt, kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan.

Dalam budaya politik yang belum mempunyai sistem pengawasan memadai, para elite birokrasi cenderung mengoptimalkan posisinya untuk keuntungan diri sendiri. Lebih berbahaya lagi jika penyelewengan kekuasaan tersebut terinstitusionalisasi, sehingga akan lahir jaringan praktik korupsi yang sangat kuat dan sulit dibongkar karena satu sama lain saling menutupi dan melindungi.

Praktik korupsi inilah yang menyebabkan kerusakan dan disfungsi struktur negara. Struktur negara yang sedianya menjadi alat untuk melayani dan mensejahterakan rakyat, menjadi mandul dan justru menyebabkan kesusahan dan kesengsaraan rakyat. Karena korupsi, kekuatan ekonomi sebuah negara, pasti akan menjadi rapuh dan bahkan lumpuh. Tentu yang dirugikan dalam kondisi seperti ini adalah rakyat, terutama rakyat kecil.

Rakyat yang dengan susah payah memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi kewajiban sebagai warga negara dengan membayar pajak dan kewajiban lainnya, tidak mendapatkan balasan dari sikap mereka sebagai warga negara yang baik tersebut. Karena banyaknya praktik korupsi, uang negara yang seharusnya didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat banyak, hanya terkonsentrasi dan dimanfaatkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sangat terbatas. Inilah yang menyebabkan kesenjangan ekonomi menjadi semakin menganga.

Praktik korupsi akan hilang jika ada tindakan yang konsisten dan tegas, serta semangat yang total dari aparat hukum dan masyarakat. Kesatupaduan aparat dan masyarakat dalam memerangi korupsi akan sangat berpengaruh terhadap hasil upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Karena itu, kerja sama antara kedua komponen ini, terutama saat ini, adalah sebuah keniscayaan. Selama ini, tidak ada tindakan yang memadai dari aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Yang terjadi selama ini, aparat hukum hanya memberikan hukuman kepada maling ayam dan maling kecil saja. Sementara orang yang nyata-nyata merugikan negara karena telah menilap uang miliaran dan bahkan triliunan rupiah dibiarkan bebas berkeliaran dan lari ke luar negeri. Banyak kasus korupsi tidak sampai masuk ke ruang pengadilan. Prosesnya berhenti hanya sampai penyelidikan dan penyidikan saja.

Dalam kondisi menjamurnya budaya korupsi, harus dilakukan upaya terapi kejut yang bisa melahirkan efek jera kepada para pelaku korupsi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melaksanakan hukuman berat secara nyata. Tidak hanya vonis yang tidak pernah terlaksana eksekusinya atau membiarkan mereka memperoleh perlakuan khusus dalam ruang penjara. Hanya dengan cara ini mata rantai korupsi bisa terputus.

Studi Banding
Oleh karena itu, ada baiknya kita mengaca pada peraturan yang berlaku, antara lain di Malaysia, dalam Prevention of Corruption Act 1961 (Act 57) Pasal 14; di Singapura, dalam Prevention of Corruption Act (Chapter 241), Pasal 8; dan di Hongkong, dalam Prevention of Bribery Ordinance (Chapter 201), Ordinance 1970, Added 1974, Pasal 10 ayat 1.

Di ketiga negara ini, umumnya orang takut melakukan korupsi karena susah sekali menghindarkan diri dari penyidikan jika benar-benar melakukan korupsi seperti menerima atau memberi suap, karena tersangkalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindakan korupsi sebagaimana yang disangkakan, bukannya oleh pihak kejaksaan.

Kemudian tentang pengenaan sanksi hukuman yang berat bagi para koruptor. Di Malaysia, misalnya, berdasarkan Anti Corruption Act 1997, jika seseorang terbukti melakukan korupsi, maka ia akan dikenakan hukuman minimum penjara 14 hari dan denda 10.000 ringgit Malaysia atau 5 kali nilai korupsi/suap, tergantung mana yang lebih besar nilainya. Sedangkan di Cina, seorang koruptor diancam hukuman mati.

Di Negara Tirai Bambu itu, setiap tahunnya, puluhan orang (termasuk pejabat pemerintah dan elite partai) dieksekusi karena terbukti korupsi. Jikapun sang koruptor tak dihukum mati, maka karier mereka di pemerintahan maupun di partai bakal langsung tamat. Tidakkah Indonesia perlu belajar dari Cina dalam hal ini? Tak heran jika di Beijing, pada akhir 1995, berani menjadi tuan rumah dalam Konferensi Internasional Antikorupsi. Sebab, peringkat korupsi mereka di dunia memang selalu turun, dari tahun ke tahun.

Jika dibandingkan dengan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yang hanya menetapkan ancaman maksimum seumur hidup dan denda maksimum 30 juta rupiah, dan vonis akhir masih tergantung pada pembelaan pengacara terdakwa, maka jelaslah bahwa Indonesia memang “sangat ramah” terhadap para koruptor.

Untuk lembaga antikorupsi independen dengan kewenangan yang sangat besar dalam memerangi korupsi. Di Hongkong, misalnya, ada ICAC (Independent Commission Against Corruption) yang dapat menangkap, menggeledah, maupun menyita tanpa surat perintah dan membekukan harta, serta menyita dokumen atau paspor tersangka korupsi, sehingga sangat sulit baginya untuk melarikan diri ke luar negeri. Hongkong sendiri saat ini menempati peringkat pertama negara paling bersih dari korupsi di dunia.

Sedangkan di Singapura ada CPIB (Corruption Practices Investigation Bureau), yang bertugas untuk menerima pengaduan dan berwenang melakukan investigasi terhadap praktik-praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta. CPIB juga melakukan investigasi terhadap para pejabat pemerintah yang dicurigai melakukan pelanggaran dan malpraktik. Institusi ini berwenang untuk meninjau ulang prosedur administrasi di departemen-departemen untuk mengeliminasi terjadinya praktik korupsi. Komisi ini bekerja efektif karena adanya dukungan politik penuh dari pihak pemerintah. Hasilnya, Singapura menjadi negara yang bersih dari praktik korupsi.

Keberhasilan Singapura kemudian memacu Malaysia untuk membentuk badan yang sama, ACA (Anti Corruption Agency), yang berada langsung di bawah kantor Perdana Menteri. Badan ini memiliki kewenangan penuh untuk mengusut kasus-kasus korupsi, semisal melakukan penyelidikan masalah suap atau korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan ACA berhak menyita dokumen atau barang, memeriksa rekening bank, dan menahan para tersangka serta menuntutnya ke pengadilan dengan sistem pembuktian terbalik.

Akhirnya, yang juga tak kalah penting adalah memperkuat masyarakat sipil agar gerakan melawan korupsi menjadi gerakan massif yang mengakar. Masyarakat yang kuat bersama-sama pers yang bebas niscaya mampu menjalankan fungsi kontrolnya secara efektif terhadap perangkat penyelenggara negara. Pemerintahan boleh berganti, tetapi masyarakat yang kuat akan menjadi benteng bagi kebiasaan korupsi yang terbukti merusak negeri tercinta ini.

Tasyriq Hifzhillah, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (melayuonline.com & wisatamelayu.com), Yogyakarta

Sumber: Detik.com, Senin, 13 Oktober 2008
-

Arsip Blog

Recent Posts