Alam Pikir Feodal dan Sikap Permisif

Oleh Kenedi Nurhan

Dalam novel Imperium-nya Robert Harris, sosok pejabat korup macam Gaius Verres tak berkutik di hadapan Cicero. Lewat metafora yang sangat terkenal bahwa ”ikan membusuk mulai dari kepala...”, orator ulung dari Romawi ini bukan saja membuat Verres dan antek-anteknya tak berdaya, tetapi yang lebih penting adalah bangkitnya moralitas publik.

Ada banyak pelajaran yang bisa disimak dari sepenggal kisah perjuangan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) melawan korupsi serta pelanggaran moral dan etika kekuasaan menjelang runtuhnya Republik Romawi pada awal abad pertama Masehi. Meski ruang dan waktu yang membentang begitu panjang, lebih dari 20 abad (baca: 2.000 tahun!), ternyata struktur perilaku koruptif dan penyimpangan moralitas kekuasaan di pemerintahan masih tetap bertahan hingga hari ini. Tak terkecuali di Indonesia.

Bagi F Budi Hardiman, dosen filsafat di pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Universitas Indonesia (UI), kisah Cicero menyadarkan kita bahwa publik tidak boleh tinggal diam. Sebab, dalam sistem politik yang korup, korupsi—juga soal integritas dan moralitas pejabat publik—adalah ”agenda harian” yang tidak pernah mereka sadari sebagai kejahatan. Dalam kaitan ini, keberanian moral untuk melakukan semacam intervensi politis—taruhlah seperti lewat kepiawaian retorika model Cicero dengan berbagai salurannya—menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan sebagai alat perjuangan.

Dalam lembar majalah kebudayaan Basis (edisi November-Desember 2008), Budi Hardiman bahkan melihat anatomi kejahatan Verres yang dibeberkan Cicero di pengadilan Republik Romawi memiliki kesejajaran dengan wajah kejahatan para pejabat korup di republik ini: Indonesia!

Diceritakan bahwa Gaius Verres tak hanya merampok koleksi seni Sthenius, rakyatnya sendiri. Guna menghilangkan jejak kejahatannya, Verres bahkan mengadili dan menghukum sang pemilik koleksi yang ia rampok. Pejabat tinggi ini juga menerima sogok dari preman-preman. Ketika Cicero berhasil membawa kasus ini ke pengadilan, Verres menyogok para penegak hukum dan petugas peradilan.

Menurut Budi Hardiman, tidak perlu kata-kata eksplisit khusus untuk menjelaskan bahwa hal serupa terjadi di Indonesia. Cukup nama Verres diganti dengan nama pejabat yang terbukti korup, lalu kasus-kasus mereka dispesifikkan: entah soal impor sapi fiktif, kasus BLBI, penggelembungan dana bencana (juga model penggelembungan hasil suara dan skandal kasus daftar pemilih tetap alias DPT pemilu), atau apa pun yang telah dan masih mungkin terjadi.

”Kasus Verres yang dibeberkan Cicero menyediakan sebuah ’matriks’ yang pas untuk memahami anatomi kejahatan korupsi pejabat di negeri ini,” tutur Budi Hardiman.

Didorong sikap permisif
Kalau dalam beberapa tahun terakhir—juga hari ini—kita seperti disuguhi tontonan terhadap pelanggaran moral dan etika kekuasaan yang begitu vulgar, yang bisa membuat perut jadi mual, boleh jadi itulah tipikal dari watak kekuasaan yang sesungguhnya ada di negeri ini. Alih-alih memaknai jabatan sebagai perwujudan dari tanggung jawab, dan kedudukan sebagai risiko, yang terjadi justru pertama-tama kekuasaan diterjemahkan sebagai kesempatan mendapatkan fasilitas dan berbagai kemudahan.

Ironisnya, persepsi yang keliru tentang kekuasaan ini begitu tumbuh subur di masyarakat kita. Padahal, seperti diingatkan oleh budayawan-sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu sesungguhnya bukanlah anugerah yang pantas dirayakan. Jabatan adalah suatu tanggungjawab dengan sederet implikasi yang sudah menunggu.

”Mestinya, seseorang yang diberi kedudukan dan jabatan, pertama-tama ia harus menghadapinya sebagai suatu risiko. Ini yang tidak disadari bahwa kekuasaan itu semacam racun yang harus ada justru untuk mengobati sakit. Begitulah analoginya. Sebab itu, ia (kedudukan dan jabatan) merupakan suatu risiko, bukan semacam gula-gula yang serba manis,” tutur Ignas Kleden.

Ungkapan bahwa kedudukan dan jabatan sebagai suatu amanah, yang kerap dikemukakan saat seseorang ditunjuk untuk mendudukinya, juga hanya sebatas slogan tanpa pemahaman yang benar tentang konsekuensi-konsekuensinya. Belum muncul kesadaran bahwa apa yang disebut sebagai amanah sesungguhnya penuh dengan ”tabu- tabu” yang tidak boleh dilakukan dalam kekuasaan.

Di sini kata kuncinya adalah pembatasan! Mengapa? Ignas Kleden mengingatkan ada dua hal yang harus menjadi catatan. Pertama, kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak pernah membatasi diri. Kedua, kekuasaan cenderung selalu membenarkan diri dan tidak tidak pernah mau disalahkan.

Menyikapi watak dasar kekuasaan yang demikian, mestinya kekuasaan dilaksanakan secara terbatas. Kekuasaan juga harus selalu dikontrol dan dikritik. Mengingat watak dasar kekuasaan cenderung memperbesar diri dan selalu membenarkan diri, maka harus ada rambu-rambu berupa kontrol diri dan kontrol sosial.

Dalam konteks kekuasaan, kontrol diri dan kontrol sosial menjadi penting bagi para pejabat yang memiliki kesempatan menyelewengkan kekuasaan yang ada pada dirinya. Meski harus disadari bahwa terlalu berlebihan bila masyarakat berharap adanya pemimpin panutan, yang punya kapasitas moral di atas rata-rata, namun setidaknya seseorang yang memiliki kekuasaan harus meningkatkan kontrol atas dirinya sendiri.

”Dalam konsep demokrasi dan kepemimpinan, seorang pemimpin sama dengan orang kebanyakan. Kita hanya bisa berharap dia orang saleh, tapi dia sesungguhnya tidak memiliki kelebihan kapasitas secara moral. Namun, yang perlu dituntut dari dirinya—mengingat dia punya kekuasaan—dia harus bisa mengekang diri sendiri lebih besar daripada orang kebanyakan,” kata Ignas Kleden.

Tuntutan ini bisa dipahami, mengingat sebagai penguasa ia memiliki kesempatan untuk menyeleweng. Di sinilah pentingnya menciptakan semacam mekanisme kontrol yang lebih keras atas diri sendiri bagi seorang pejabat publik. ”Kalau yang bersangkutan tidak bisa mengontrol dirinya agar tidak menyeleweng, maka dia harus dikontrol secara sosial. Lewat mekanisme kontrol sosial, dia dipaksa selalu berjalan dalam koridor moral tersebut,” jelas Ignas Kleden.

Celakanya, bukan kontrol sosial yang berkembang di negeri ini. Justru alam pikir feodal yang masih dominan. Peningkatan status seseorang diposisikan dengan sendirinya membawa peningkatan kekayaan, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Seolah-olah pengembangan kekuasaan selalu berakibat peningkatan kekayaan. Kemakmuran seakan-akan hanya akibat dari peningkatan status. ”Sementara itu, tidak pernah dipertanyakan bagaimana itu (peningkatan kekayaan dan kesejahteraan) bisa terjadi. Ini kan tidak benar,” katanya.

Tanpa disadari, masyarakat kita yang masih berada dalam alam pikiran feodal ini punya peran besar dalam menyebarluasnya kelakuan-kelakuan yang korup. Bahkan, tak jarang masyarakat kagum bila ada pejabat, termasuk di tingkat rendah sekalipun, di lingkungannya bisa menyumbang ini dan itu. Padahal, mereka tahu gaji seseorang sebagai pejabat sebetulnya tidak mampu untuk memberikan berbagai sumbangan semacam itu. Tidak ada kecenderungan untuk mempertanyakan dari mana asal-usul uang sumbangannya.

”Dengan kata lain, sikap permisif masyarakat jugalah yang ikut membuat korupsi berkembang. Alhasil, orang tidak takut korupsi karena masyarakat hanya melihat hasilnya. Masyarakat tidak mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang menjadi kaya karena suatu jabatan,” ujar Ignas Kleden. Jadi, sebetulnya masyarakat menciptakan semacam impunity terhadap perilaku korup di kalangan pejabat… (ken)

Kenedi Nurhan, Wartawan Harian Kompas

Sumber : Kompas, Jumat, 8 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts