Antibodi Korupsi untuk Legislator Baru

Oleh Adnan Topan Husodo

Komisi Pemberantasan Korupsi berencana memberikan kuliah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat baru supaya mereka dapat terhindar atau menghindar dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang sudah menjadi penyakit parah di lingkungan legislatif. Bentuk perkuliahan sebagaimana dikabarkan banyak media massa adalah dengan orientasi dan siraman pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi kepada anggota Dewan hasil pemilu legislatif 2009.

Pertama kali membaca usul KPK itu, saya agak bingung dan kemudian bertanya-tanya. Salah satu yang muncul dalam benak pikiran adalah apakah KPK sudah kehilangan cara untuk memberantas korupsi sehingga pendekatan yang diambil lagi-lagi dengan ceramah. Terus terang, kepercayaan saya terhadap efektivitas rencana ini sangatlah tipis. Setali tiga uang dengan pesimisme saya terhadap keberhasilan agenda deklarasi antikorupsi oleh seluruh partai politik peserta Pemilu 2009, yang telah diinisiasi KPK beberapa waktu lalu.

Faktanya memang demikian. Tak lama setelah deklarasi, Abdul Hadi Djamal, anggota DPR sekaligus calon legislator DPR dari Partai Amanat Nasional, dicokok KPK karena dugaan menerima suap dana stimulus. Buntutnya pun makin panjang karena pengakuannya dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain, sebut saja Rama Pratama (Partai Keadilan Sejahtera) dan Jhonny Allen Marbun (Partai Demokrat). Terakhir, KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (Partai Golkar) dan Emir Moeis (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai saksi.

Metode yang mengasumsikan ketidakpahaman sebagai faktor utama korupsi sudah lama menuai kritik, apalagi jika diharapkan dapat mengerem laju korupsi di DPR, yang masuk ranah state capture of corruption. Hasil penelitian Anwar Shah dan Jeff Huther atas program antikorupsi dengan pendekatan cost-benefit analysis menunjukkan adanya fakta empiris bahwa kegiatan yang berkaitan dengan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran antikorupsi bagi kalangan pejabat negara/birokrasi tidak memberikan banyak pengaruh. Alasannya sederhana: pejabat negara pada dasarnya sudah memahami hakikat dari tindak pidana korupsi. Masalahnya, dalam situasi ketika keadaan governance sebuah negara sangat buruk, kemauan dan kemampuan memberantas korupsi menjadi hilang (World Bank, 2000).

Saya khawatir pendekatan KPK yang serba apa adanya ini merefleksikan dua hal. Pertama, rasa frustrasi kalangan internal KPK dengan berbagai macam program antikorupsi yang masih membuka peluang besar bagi terjadinya korupsi di berbagai level dan tempat. Kedua, tiadanya landasan berpikir yang cukup kuat untuk mendesain sebuah agenda dan strategi dalam pemberantasan korupsi. Sudah dapat diterka kegagalan demi kegagalan akan kita temui setiap kali agenda pemberantasan korupsi hanya menyentuh wilayah permukaan, bukan pada jantung persoalannya. Apalagi jika hanya ingin mengisi kegiatan pemberantasan korupsi dengan agenda seremonial.

Sebenarnya dari sisi output, sepak terjang KPK telah memetik hasil, meski tidak terlalu mengubah posisi Indonesia secara global, yakni naiknya indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2008 menjadi 2,6 poin dari tahun sebelumnya sebesar 2,3. Namun, perlu diingat bahwa yang dinilai sebagai keberhasilan pemberantasan korupsi oleh KPK adalah penegakan hukumnya, bukan yang lain-lain, apalagi yang terkesan basa-basi, seperti deklarasi, komitmen antikorupsi pejabat publik, seminar antikorupsi, dan ceramah antikorupsi. Ini artinya pendekatan penegakan hukum perlu dipertahankan, sekaligus ditingkatkan, terutama pada sisi profesionalitas para penyidik KPK, sehingga mereka dapat membongkar dan menginvestigasi berbagai macam kasus korupsi yang kian rumit dan canggih.

Karena tipologi korupsi di DPR bukanlah soal miskinnya pengetahuan (baca: kebodohan), melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih kompleks, memberantas korupsi di DPR tidak dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan. Malah gagasan ini sangat kontradiktif jika dikaitkan dengan korupsi sebagai kejahatan white collar crime (kejahatan kerah putih).

Korupsi anggota parlemen yang bak cendawan di musim hujan merupakan bagian dari persoalan relasi kuasa di antara kelompok bisnis, politik-birokrasi, dan masyarakat. Ketidakseimbangan di antara berbagai aktor tersebut (lack of checks and balances) telah melahirkan budaya politik yang penuh suap. Kebutuhan akan biaya politik yang tinggi dan hasrat mempertahankan kekuasaan kian mendorong terjadinya perselingkuhan yang keji antara kelompok bisnis dan politik-birokrasi.

Proteksi bisnis, kebijakan publik yang menguntungkan secara sepihak, dan alokasi sumber daya publik yang diarahkan untuk menciptakan hubungan simbiosis mutualisme antara aktor bisnis dan politik-birokrasi semakin menjadi-jadi tatkala aturan mengenai pengawasan internal anggota DPR, sebagai perumus kebijakan publik, kode etik, dan konflik kepentingan, tidak ditata dengan baik.

Demikian halnya jika sebuah sistem pemilu tidak ditunjang oleh mekanisme transparansi dan pertanggungjawaban dana politik (kampanye) yang kukuh. Situasi ini sangat tidak menguntungkan masyarakat sipil dan media karena, sebagai aktor governance yang memiliki peran melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan, dukungan politik untuk memperkuat posisi mereka menjadi lemah.

Kita jangan lengah dengan melihat korupsi sebagai masalah utamanya. Penyakit korupsi hanyalah gejala atau bayangan dari gagalnya sistem politik-birokrasi yang akuntabel dan transparan. Tanpa memperbaiki semua silang-sengkarut dalam tata hubungan di antara berbagai aktor governance, korupsi merupakan masalah bagi sistem politik mana pun.

Tak mengherankan jika banyak studi yang menjelaskan bahwa sistem politik yang menganut asas demokrasi bukan formula baku untuk menghapuskan korupsi. Bahkan sebaliknya, korupsi bisa menjadi lebih parah. Hal itu sudah kita alami sendiri pasca-otonomi daerah, yakni banyak kepala daerah dan anggota DPRD, termasuk pejabat birokrasi, terjerat kasus korupsi.

Karena itu, antibodi korupsi bagi DPR baru bukanlah dengan ceramah antikorupsi kepada mereka. Dengan modal hasrat berkuasa yang sangat tinggi--calon legislator gagal banyak yang depresi karena kehilangan banyak uang--pembiayaan kampanye yang fantastis minus transparansi dan akuntabilitas, sebagian besar niat untuk terpilih menjadi anggota DPR adalah supaya menjadi kaya. Artinya, kita harus sadar sejak awal bahwa, begitu mereka dilantik menjadi anggota DPR, pada saat itu juga potensi korupsinya muncul.

Cara menghalanginya, menurut saya, bisa terbagi ke dalam tiga hal. Pertama, reformasi internal DPR dengan mendorong keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam berbagai pengambilan keputusan sehingga tidak ada kongkalikong atau politik dagang sapi. Merumuskan ulang kode etik anggota DPR yang dapat memberikan sabuk pengaman bagi kemungkinan lahirnya potensi korupsi dan konflik kepentingan serta memperkuat posisi pengawas internal DPR. Gagasan ini harus dikawal oleh KPK dan kalangan antikorupsi sehingga bangunan sistem internal DPR ke depan bisa lebih menjamin akuntabilitas dan transparansi.

Kedua, memperkukuh posisi kontrol masyarakat dan konstituen untuk mengendalikan perilaku anggota Dewan. Sementara saat ini aturan main masih menempatkan partai politik sebagai pemegang otoritas untuk mengganti anggota DPR sewaktu-waktu, ke depan, hak publik untuk mengusulkan pergantian anggota DPR harus diakomodasi. Dengan demikian, anggota Dewan memiliki ikatan yang lebih jelas terhadap konstituen yang memilihnya.

Ketiga, KPK harus lebih memperkuat agenda pengawasan di lembaga parlemen dengan meningkatkan operasi penegakan hukum, terutama bagi kalangan elite DPR. Masalahnya saat ini, yang ditangkap KPK adalah anggota DPR biasa, bukan pemegang kendali utama kekuasaan. Jika mereka yang sangat berpengaruh terjerat, efek jera akan melanda DPR.

Oleh Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Sumber: Koran Tempo, Rabu, 6 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts