Cara Sufi Berantas Korupsi

Oleh Sehat Ihsan Shadiqin

Sampai saat ini, korupsi masih dianggap penyakit yang paling berbahaya dalam tubuh pemerintah dan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, kesadaran untuk menghapus praktek ini terus disuarakan oleh berbagai kalangan. Pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk membantu terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek korupsi, di antaranya dengan mendirikan berbagai badan dan melahirkan undang-undang yang bertujuan meminimalisir dan bahkan menghapus praktek korupsi. Di kalangan masyarakat lahir organisasi-organisasi yang secara intens berusaha membongkar praktek korupsi yang terselubung untuk kemudian melaporkannya kepada pihak yang berkompeten untuk menanganinya.

Yang paling menggembirakan adalah kesadaran kolektif masyarakat untuk memberikan cap jelek kepada koruptor. Seseorang yang telah dituduh sebagai koruptor dianggap sebagai sosok yang tidak memiliki kehormatan dan kredibilitas di mata masyarakat. Bahkan seorang anak yang bapaknya dituduh korupsi bisa saja disisihkan oleh teman-temannya karena dianggap “tercemar” dengan uang korupsi bapaknya. Kesadaran ini tentunya tumbuh dari nurani masyarakat yang menginginkan berjalannya pemerintahan di negeri ini dengan jiwa yang bersih dan dilakukan dengan jujur. Kondisi ini berimbas pada besarnya “siksaan” yang diterima oleh seorang koruptor sebelum ia masuk penjara. Bisa jadi, disisihkan oleh masyarakat jauh lebih menderita dibandingkan dengan mendekam di dalam penjara.

Kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi ini tentu saja tidak muncul tiba-tiba. Hal ini diawali oleh pengetahuan yang benar mengani bahaya korupsi bagi diri, masyarakat dan negara. Kesadaran ini kemudian membangun keinginan untuk menjadikan korupsi sebagai penyakit yang harus dihindari. Oleh sebab itu mereka menempatkan korupsi sebagai standar moral calon pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak melakukan korupsi. Selain itu ia juga mampu mengontrol bawahannya untuk tidak terlibat dalam praktek korupsi. Bahkan lebih jauh ia mampu menciptakan sebuah sistem yang dapat menutup kemungkinan terjadinya praktek korupsi.

Pemberantasan korupsi
Ada beberapa upaya yang telah dilakukan selama ini untuk memberantas korupsi. Pertama, pendekatan hukum normatif. Pendekatan ini dilakukan dengan mendirikan lembaga-lembaga yang bertujuan melakukan audit terhadap lembaga pemerintah atau sipil yang terindikasi melakukan korupsi khususnya yang merugikan negara. Di Indonesia saat ini terdapat KPK (Komisi Pemberantasan korupsi). Terlepas dari berbagai kekurangannya komisi ini dinilai telah sukses menghantarkan sejumlah pejabat korup ke hotel prodeo. Ini menyebabkan KPK mulai disegani dan dianggap sebagai lembaga yang mampu membongkar praktek korupsi.

Sedikit demi sedikit masyarakat mulai menggantungkan harapan kepada lembaga ini. Selain itu pemberantasan korupsi dengan pendekatan ini juga dilakukan melalui pengesahan berbagai undang-undang dan berbagai kebijakan pemerintah yang mengatur sistem pemerintahan bersih dan bebas korupsi. Sistem di atas memiliki suatu kelemahan yaitu, kesadaran yang terbangun adalah kesadaran semu seseorang atau sebuah lembaga tidak melakukan korupsi sejauh ia merasa terpantau oleh KPK atau memiliki kemungkinan terjerat dengan undang-undang. Namun jika ia merasa aman dan dapat terbebas dari pengawasan maka ia kembali melakukan korupsi. Tentunya ini adalah bahaya laten yang dapat menggerogoti tubuh pemerintahan secara diam-diam. Ia akan mewariskan prilaku ini kepada generasi sesudahnya sehingga sulit diberantas.

Kedua, pendekatan penyadaran. Selain pendekatan normatif, selama ini juga telah dilakukan usaha-usaha penyadaran pada masyarakat, baik kampanye bahaya korupsi maupun ajakan untuk menolak melakukan korupsi. Usaha ini dilakukan untuk memberikan kesadaran internal kepada masyarakat sehingga mereka secara sadar sendiri tidak melakukan korupsi, diketahui atau tidak oleh orang lain, terpantau atau tidak oleh KPK. Kesadaran ini diharapkan dapat mencegah korupsi dari dalam diri seseorang yang berpotensi melakukan korupsi. Dari kesadaran internal seseorang akan dengan sadar dan pilihan sendiri meninggalkan segala perbuatan yang memungkinkan ia terjerumus pada hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan masyarakat umum. Usaha ini merupakan usaha yang sangat tepat.

Sayangnya, masih ada kelemahan bila dikaitkan dengan komitmen jangka panjang yang mereka lakukan. Bisa saja orang yang tersadarkan untuk tidak melakukan korupsi dan benar-benar tidak melakukannya, namun ini tidak menjamin ia menjadi seorang pribadi yang baik dan bermanfaat pada masyarakat dalam ranah lainnya. Tidak melakukan korupsi hanya kesadaran sebagai personal yang terlibat dalam pemerintahan untuk menyelamatkan keuangan negara dan tidak merugikan masyarakat umum.

Namun sikap ini hanya bertahan dalam hl ini saja, sementara dalam konteks kehidupan sosial yang lain, ia adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga terlibat dalam perilaku yang yidak terpuji. Karenanya diperlukan sebuah usaha integral yang dapat menyadarkan manusia untuk tidak melakukan korupsi dari personalnya sendiri dan ia mampu mentransfer kesadaran ini kepada banyak orang. Selain itu kesadaran akan keharuan menjaga masyarakat dan memberikan manfaat kepada masyarakat banyak bukan hanya dari aspek tidak melakukan korupsi saja, namun juga dalam segala aspek kehidupan yang lain.

Kesadaran Sufistik
Dalam tradisi Islam, kesadaran permanen, integral dan mendasar dilatih dalam tradisi sufi. Para sufi menyandarkan kebenaran dan pemantauan pada hati dan kesadaran ruhaniahnya. Di sisi terdalam dari hati manusia ada sebuah titik nurani yang tidak dapat ditipu dan disalahkan. Ia mengetahui dengan benar apa yang dilakukan manusia. Ia menyadari benar kesalahan yang dilakukan manusia. Namun ia bukan penentu bagi kebijakan yang dilakukan manusia. Sebab di samping nurani, manusia masih memiliki hati, akal dan nafsu. Ketiga hal inilah yang selalu bergumul untuk memenangkan pandangannya yang kemudian dilaksanakan oleh manusia.

Di sisi lain kesadaran sufistik di dasari pada prinsip ihssan yang diajarkan Nabi. Ihsan adalah kesadaran di mana seseorang selalu melihat Tuhan dalam semua benda, semua tindakan, semua perilaku yang dilakukannya. Kesadaran ini membuahkan penghindaran terhadap perilaku yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Manusia yang menyadari ada Tuhan di dalam sebuah kantor maka ia tidak akan menjadikan kantornya sebagai lahan maksiat dan penipuan. Orang yang sadar ada Tuhan dalam lingkungan di mana ia tinggal, maka ia tidak akan melakukan sebuah tindakan yang merusak dan merugikan orang lain. Di sana ia akan menampilkan kebenaran, ia akan melakukan kejujuran dan melahirkan kasih sayang di antara manusia. Dengan demikian akan lahir sebuah kehidupan yang tenteram dan penuh kasih sayang.

Kesadaran sufistik menjadi permanen karena ia dikonstruk dengan latihan dan ketekunan. Kesadaran sufistik tidak lahir tiba-tiba dengan hanya melakukan pelatihan selama dua hari atau satu minggu. Ia adalah kesadaran yang diperoleh dari kontemplasi dan proses perenungan terhadap hakikat kehidupan. Meskipun ia adalah ajaran agama, paradigma sufistik berbeda dengan formalitas beragama yang sering dipraktekkan selama ini. para sufi menyadari akan hakikat dan keberadaan dirinya di hadapan Tuhan.

Ia adalah seorang yang memberikan persembahan terbaik pada Tuhan dengan amalan-amalannya. Para sufi adalah mereka yang berlomba-lomba hendak mendapatkan kasih dan cinta Tuhan sehingga mereka berusaha menunjukkan perilaku yang paling terpuji di hadapan-Nya. Nah, kesadaran yang demikian tentu saja akan menutup peluang bagi berbagai praktik korup seperti yang ada selama ini. Wallahu’a’lam.

Sehat Ihsan Shadiqin, Dosen Tasawuf Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sumber: Harian Aceh, Selasa, 12 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts