Korupsi Nasionalisme, Nasionalisme Koruptor

Oleh Saratri Wilonoyudho

Perbincangan tentang makna nasionalisme sebenarnya tidak begitu istimewa karena paham ini sudah muncul lebih dari seratus tahun, setidaknya dalam dataran teoretis. Namun, jika hal itu dikaitkan dengan realitas dan perkembangan krisis yang menjangkiti negeri ini sejak dua dasawarsa terakhir, perbincangan tentang nasionalisme menjadi cukup menarik.

Yang dimaksud nasionalisme tentu bukan sekadar semangat cinta tanah air atau semangat perang melawan penjajah. Wujud nyata nasionalisme adalah setiap perbuatan atau karya nyata yang benar-benar ditujukan untuk kejayaan negeri, untuk kemaslahatan bersama, dan menghindari perbuatan yang diperkirakan merusak negara, dan seterusnya. Itulah wujud nyata nasionalisme.

Dengan kata lain, pemahaman tentang nasionalisme tentunya bukan sekadar pemahaman tentang hal-hal yang berbau "administratif" kebangsaan. Misalnya, saya bukan bangsa Malaysia atau bukan bangsa Amerika. Kalau nasionalisme hanya didasarkan pada masalah-masalah sederhana seperti itu, yang menjadi pertanyaan, mengapa Sumatera dan Malaysia yang satu ras Melayu tidak menjadi satu bangsa Indonesia? Sebaliknya, orang-orang Papua yang keriting dan hitam malah masuk menjadi bangsa Indonesia?

Benar bahwa berdirinya sebuah negara adalah soal ''kesepakatan administratif" dan Ben Anderson menyebutnya semacam imagined communities. Karena itu, Cak Nun pernah menganjurkan bahwa dalam penyikapan seperti ini, manusia Indonesia mestinya melangkah lebih jauh untuk menuju pada tahap pascanasionalisme yang menyentuh wilayah universalitas dari hakikat kemanusiaan.

Dengan kata lain, setiap warga negara sebenarnya memerlukan penyempurnaan integritas dengan mentransendensikan dirinya dari kotak primordialisme untuk bergerak menjadi manusia pascapartai, pascaaliran ideologi, pascaetnis serta formalisme agama, dan sebagainya. Nasionalisme tidak saja mengantarkan pada pencapaian akhir sebagai sebuah universalitas, melainkan juga mengantarkan pada getaran-getaran spiritual bahwa kita adalah saudara. Pertama sebagai sesama umat Tuhan dan kedua sebagai sebuah bangsa yang harus saling mengasihi, senasib sepenanggungan.

Menurut Ben Anderson, masyarakat Indonesia dan paham kebangsaan lahir, tumbuh, dan berkembang bersama-sama. Penyebaran paham kebangsaan yang tumbuh sejak abad XX dimotori oleh para priayi berpendidikan Barat, tokoh agama, kaum pedagang. Kala itu masih sederhana bentuknya, yakni untuk membedakan "kita" dan "mereka".

Pahitnya penjajahan memunculkan rasa senasib sepenanggungan, dan oleh karenanya "bangsa" Indonesia harus berdiri sebagai sebuah negara merdeka. Karena itu, dapat dipahami jika para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara kemudian berikrar dalam Sumpah Pemuda. Mereka sepakat untuk mewujudkan "masyarakat yang dibayangkan". Tekad itulah yang dimotori oleh paham nasionalisme.

Jadi, latar belakang tersebut juga menunjukkan bahwa kesepakatan untuk mendirikan negara Indonesia bukan hanya dalam kesepakatan administratif, namun nasionalisme digunakan sebagai "perangkat keras" untuk menjalankan "perangkat lunak" yang disebut universalitas kemanusiaan. Nasionalisme adalah raga dari universalitas nilai kemakhlukan manusia. Dengan demikian, nasionalisme adalah dataran terendah dari hakiki kemanusiaan. (Emha Ainun Nadjib, 1995).

***

Para pakar ilmu sosial semacam Geller dan Smith sudah lama mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa atau nation bukanlah sesuatu hal yang objektif dalam sejarah, namun merupakan kondisi psiko-sosiologis -istilah Giddens- yang subjektif sifatnya. Dengan kata lain, lahirnya sebuah bangsa diawali dengan rasa subjektivitas, dengan aroma kolektivitas karena adanya perasaan yang sama, senasib dan sepenanggungan.

Karena itu, para pendiri negeri ini, mulai Wahidin Sudirohusodo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Hatta, hingga Agus Salim, juga memulainya dari pergerakan nasional berupa kobaran semangat kesamaan yang dilanjutkan dengan ikrar atau sumpah untuk berniat hidup bersama.

Titik itu menjadi jelas bahwa salah satu tolok ukur seseorang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi apabila sebagian besar hidup dan perjuangannya turut berandil dalam menegakkan negara, lewat cara dan kemampuan masing-masing. Sedangkan, bagi seorang pemimpin, tolok ukur rasa nasionalime ditunjukkan oleh keseriusannya untuk menjaga persatuan, mengutamakan kepentingan rakyat, negara, dan bangsa, serta tidak mengkhianati rakyat dengan cara korupsi atau mementingkan kepentingan sendiri maupun kelompoknya.

Karena itu, tingkah laku para koruptor yang terus menggerogoti negara (misalnya), pada prinsipnya, tidak saja mengkhianati kesepakatan bernegara sebagai bangsa yang senasib sepenanggungan. Namun, juga sebuah penggerogotan nilai-nilai hakiki kemanusiaan, yakni kasih sayang.

Gambaran singkat tersebut mengantarkan pada pemahaman bahwa para koruptor sama sekali tidak memiliki jiwa nasionalisme karena tindakannya menyengsarakan jutaan masyarakat Indonesia sebagai sebuah nation. Kalau demikian, hukuman yang pantas bagi mereka adalah "keluar sebagai bangsa Indonesia".

Saratri Wilonoyudho, peneliti dan dosen Universitas Negeri Semarang

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 20 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts