Koruptor Tak Punya Tempat di Sepak Bola

Oleh Anton Sanjoyo

Masih adakah harapan sepak bola memberikan pesan-pesan moral dan kejujuran? Di tengah makin kuatnya arus ketamakan manusia, di tengah apatisme bahkan ketidakpercayaan orang kepada pengelola olahraga, khususnya sepak bola, benua tua Eropa kembali memberi harapan bahwa masih ada setitik sinar terang di ujung lorong gelap.

Jumat lalu, Romania memberi contoh bagaimana seharusnya sepak bola melindungi diri dari kehancuran yang disebabkan oleh koruptor dan mafia wasit. Polisi Romania menahan dua wasit dan seorang mantan Wakil Presiden Komisi Wasit Romania (CCA) atas tuduhan suap dan korupsi. Pengadilan di Petesti—sebelah utara ibu kota Bucharest—memerintahkan polisi untuk menahan wasit veteran Sorin Corpodean dan asisten wasit Marcel Lica atas tuduhan menerima suap. Corpodean dan Lica sudah dibebastugaskan sejak Selasa lalu dan akan ditahan selama 29 hari untuk diinterogasi. Dua wasit lain dimintai keterangan meski tidak ditahan.

Selain itu, polisi juga menahan Ketua CCA Gheorghe Constantin dan presiden klub FC Arges Cornel Penescu. Mereka ditangani khusus oleh penyidik antikorupsi. Keterangan resmi menyebutkan, Penescu mengirimkan uang sebesar 70.000 euro (sekitar Rp 980 juta) ke rekening Constantin yang disebut sebagai uang ”perlindungan” wasit.

Dalam beberapa pekan terakhir, sepak bola Romania memang diguncang skandal korupsi dan suap. Skandal bermula dari ditemukan sejumlah bukti pengiriman uang secara ilegal kepada korps wasit yang melibatkan presiden klub Steaua Bucharest, Gigi Becali.

Skandal ini membuat Komite Olimpiade Romania (COSR) Octavian Morariu meradang dan meminta komisi antikorupsi bertindak cepat untuk ”membersihkan” sepak bola dari penyakit paling laten pada olahraga terpopuler sejagat ini. ”Ini waktu yang tepat bagi Federasi Sepak Bola Romania untuk membersihkan diri, seperti yang terjadi di Italia dan Polandia,” ujar Morariu, seperti dikutip AFP, Jumat lalu.

Hantu korupsi dan skandal suap memang belum lama ini juga mengganggu Polandia. Awal April lalu, sebanyak 17 orang, termasuk direktur klub dan wasit, dijebloskan ke penjara rata-rata lebih dari empat tahun setelah terbukti kongkalikong dalam pengaturan hasil pertandingan, korupsi, dan suap-menyuap. Ini adalah pengadilan korupsi sepak bola terbesar yang pernah digelar di Polandia.

Sementara itu, kasus korupsi sepak bola yang terjadi di Italia, dan terkenal dengan nama skandal calciopoli, memang terjadi pada tahun 2006, tetapi dampaknya masih terasa sampai sekarang. Calciopoli merupakan pengungkapan skandal korupsi terbesar yang dilakukan Federasi Sepak Bola Italia dan memakan korban belasan wasit dan direktur, serta pemilik klub.

Juventus kehilangan gelar juara dan dihukum degradasi ke Serie B, sementara sejumlah klub lain seperti AC Milan dan Fiorentina dikenai hukuman pengurangan nilai dan harus terseok-seok saat mengikuti musim kompetisi 2006-2007.

Calciopoli merupakan malu besar bagi bangsa Italia meski mereka kemudian membayar kontan dengan merebut Piala Dunia 2006. Namun, di tingkat klub, Italia kehilangan pamornya sebagai negara kiblat sepak bola. Dalam tiga tahun terakhir, Italia praktis terseok-seok di arena antarklub Eropa.

Di dalam negeri, sepak bola Italia kehilangan kepercayaan penontonnya yang enggan datang ke stadion. Namun, karena keseriusan Federasi Sepak Bola Italia dalam mengembalikan citra baiknya, lambat laun penonton kembali meramaikan stadion meski belum benar-benar pulih seperti era sebelum 2006.

Kontribusi Azwar Anaz
Pembongkaran skandal suap, korupsi, dan mafia wasit pun sebenarnya merupakan pengalaman pahit yang pernah dialami sepak bola Indonesia. Seperti halnya di Eropa, borok justru berasal dari tubuh korps wasit, dan pada Maret 1998, PSSI secara tegas menjatuhkan sanksi 20 tahun tak boleh aktif dalam sepak bola kepada Djafar Umar, yang kala itu menjabat wakil ketua komisi wasit.

Tidak hanya Djafar, delapan wasit juga dijatuhi sanksi berat setelah penyelidikan maraton yang dilakukan Tim Penyelesaian Masalah Perwasitan (TPMP), yang diketuai Adang Ruchiatna.

Kebusukan dalam sepak bola Indonesia itu sebenarnya sudah terendus lama, namun baru terungkap lewat celotehan Manajer Persikab Kabupaten Bandung Endang Sobarna. Endang ”menyanyi” tentang kolusi wasit dan jual beli pertandingan pada rapat lengkap pengurus PSSI yang dihadiri Ketua Umum PSSI Azwar Anaz, awal Februari 1998.

”Nyanyian merdu” Endang kemudian memaksa Azwar yang memang dikenal sebagai pribadi santun dan jujur untuk membentuk TPMP yang ketuai Adang. Tim ini, dengan sokongan semua pihak, termasuk polisi, pemain, dan pelatih, akhirnya sukses membongkar jaringan mafia wasit Indonesia.

Selain Endang, Azwar menjadi figur penting pemberantasan korupsi dan kolusi dalam sepak bola. Tanpa political will dari ketua umum PSSI yang jujur dan bermoral baik, seperti Azwar, mustahil memberantas penyakit korupsi yang memang sudah laten itu.

Seperti kata Octavian Morariu, yang masih mendambakan sepak bola sebagai pengirim pesan-pesan moral kepada kaum muda, Azwar pun sering melontarkan impiannya tentang pembangunan karakter bangsa lewat sepak bola. ”Sepak bola harus menjadi bagian penting dari pembangunan karakter bangsa. Kita membutuhkan orang-orang yang jujur dan bermoral baik di dalamnya,” ujarnya.

Kita sungguh merindukan figur-figur santun, jujur, dan bermoral baik seperti Azwar Anaz untuk memimpin olahraga Indonesia, khususnya sepak bola yang kian digandrungi anak-anak muda.

Anton Sanjoyo, Wartawan Harian Kompas

Sumber: Kompas, Minggu, 26 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts