Mengapa Orang Korup?

Oleh Yusuf Rahman

Mengapa orang Islam masih korupsi? Sementara agamanya melarang? Ini berasal dari pertanyaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi sambutan pada suatu acara keagamaan. Presiden tidak menyebut penganut agama lain, mungkin karena penganut Islam mayoritas sehingga ketika mereka korup dampaknya amat luas.

Perbuatan tercela itu tergolong tindak pidana yang dilarang hukum positif kita, sementara hukum syariah melarangnya pula karena ia termasuk perbuatan munkar, yaitu berbuatan terlarang dengan sanksi dosa. Berbagai jawaban atas pertanyaan itu dapat dikemukakan tergantung pada pendekatan yang digunakan.

Mengapa Korup?
Manusia, adalah makhluk paling baik bentuknya (QS 95:4) dan Sang Pencipta melengkapinya dengan pelbagai dorongan (keinginan) untuk mendukung kehidupannya. Salah satu dorongan yang relevan dengan tulisan ini adalah dorongan/keinginan memiliki dan lebih khusus lagi dorongan memiliki harta (QS 3:14). Dengan memiliki harta orang selain dapat memenuhi kebutuhan fisik diri dan keluarganya, juga dapat melaksanakan berbagai ibadah yang berkaitan dengan harta (ibadah maliyah) seperti infak, zakat, naik haji dan sebagainya.

Orang tergoda melakukan korupsi guna memenuhi dorongan untuk memiliki harta sebanyak mungkin, suatu dorongan yang sulit terpuaskan karena “manusia bila memiliki satu lembah emas ia ingin lembah kedua”.

Di sisi lain, lingkungan yang semakin materialistik-hedonis dan iman yang melemah, mendorong pula orang menempuh jalan pintas. Dari sudut pandang Islam, dorongan yang keliru itu dapat dicegah antara lain melalui peningkatan mutu salat dan penguatan iman.

Pencegahan Melalui Salat
”Dan tegakkanlah salat karena salat itu mencegah perbuatan keji (zinc) dan munkar” (QS 29:10). Dalam kategori munkar itu termasuklah perbuatan korupsi. Salat akan menghentikan perbuatan korupsi. Bahwa masih terjadi gap seperti dikemukakan di atas, kita seharusnya tidak mempersoalkan kebenaran firman Tuhan tetapi mempertanyakan kualitas salat, apa ia termasuk kategori rusak.

Dalam sebuah hadis disebutkan “Barang siapa yang salatnya tidak mencegahnya berbuat keji dan munkar, maka Tuhan akan jauh darinya”. Dalam kondisi seperti itu, “Salatnya: rusak” dan `tidak disebut salat lagi”, jelas Nabi. Sungguh merugilah orang itu karena ditegaskan Nabi lagi “Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba Allah di akhirat adalah salat. Bila salatnya baik, baiklah pula semua amalannya, dan bila salatnya rusak, rusak pula segala amalannya”.

Tidakkah itu kerugian besar karena tak ada lagi “catatan positif” yang dibuat malaikat untuknya dalam menghadapi peradilan Tuhan. Di sisi lain, tidak ada lagi kesempatan memperbaiki salat yang rusak itu. Rugi kan? Maka mumpung masih hidup lakukanlah introspeksi agar tidak lagi terdapat salat yang rusak itu dengan lebih dulu melakukan tobat dalam arti sebenarnya, menyesali perbuatan yang salah itu dan berjanji dengan Tuhan untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanyanya.

Cegah dengan Penguatan Iman
Setidaknya terdapat dua aspek iman yang perlu diperhatikan dengan sungguh, sunguh. Pertama, rasa malu. Nabi menegaskan “malu itu bagian dari iman”. Seorang pensyarah hadits mengatakan, kelakuan orang yang kehilangan rasa malu ibarat kelakuan hewan memakan milik siapa saja. Berapa banyak penyelenggara negara yang hidup hanya dari gaji tetapi memiliki kekayaan yang jauh melebihi penghasilannya yang sah, sementara ia tidak merasa malu. Anehnya masyarakat tidak mempersoalkan perangai pelaku white collar crime itu. “Bila kamu tidak punya malu lagi buatlah apa saja yang kamu mau” demikian Nabi menyatakan ketidaksukaannya. Kedua, aspek penguatan iman terkait dengan hari akhirat. Agar terhindar dari neraka, selama di dunia orang harus melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan munkar. Dalam keseharian kita menyebut amar maruf nahi munkar.

Melakukan perbuatan korupsi dan perbuatan munkar lainya mengindikasikan orang tidak beriman pada hari akhirat sebab beriman pada sesuatu tidak hanya dibenarkan oleh hati dan diikrarkan oleh lidah, tetapi lebih-lebih disertai perbuatan baik. Melakukan korupsi dan perbuatan terlarang lainnya pada hakikatya mengingkari hari berhisab itu. Perlu kiranya dicatat bahwa dalam waktu cukup lama setelah diangkat menjadi Rasul, dakwah Nabi Muhammad SAW hanyalah dua -iman pada Allah dan iman pada hari akhirat.

Penegakan Hukum
Sekiranya salat dan iman seseorang tak mangkus (efektif), mencegahnya melakukan perbuatan korupsi maka diperlukan intervensi negara melalui penegakan hukum. Artinya, yang bersangkutan dihadapkan ke depan pengadilan seperd difahami dari Hadis Nabi. “Siapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah (hentikan) dengan tangannya, bila tak mampu maka dengan lidahnya, dan bila tak mampu juga), maka dengan hatinya, itu iman paling lemah.

Kata tangan dalam hadis ini bukan dalam arti denotasi atau hakiki (arti sebenarnya), jadi bukan secara fisik, tetapi dalam arti konotasi atau majazi (arti kiasan). Di sini maksudnya kekuasaan. Ketika digunakan arti hakiki, maka seseorang menjadi hakim sendiri dan ini bisa menimbulkan anarkisme.

Dalam sistem ketatanegaraan kita kekuasaan itu-dijalankan pemerintah dan dalam hal ini oleh kekuasaan kehakiman. Artinya sang koruptor harus diadili, sebagaimana dikehendaki Nabi. Beliau menyebutkan, umat terdahulu itu binasa karena bila yang mencuri orang tak berpangkat hukum diabaikan dan bila yang mencuri orang berpangkat hukum ditegakkan. “Demi Allah sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri akan aku potong tangannya”, ungkap Nabi SAW.

Jadi yang dituntut itu penegakan hukum yang berkeadilan, tidak tebang pilih, tidak pandang bulu. Sementara sang koruptor hendaknya menyadari bahwa hukum di dunia tidak membebaskannya dari hukum di akhirat. Oleh karena itu orang yang belum terkontaminasi oleh korupsi harus berpikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan tercela dan terkutuk itu agar marwah tetap terjaga.

H Yusuf Rahman MA, mantan Rektor IAIN Suska Pekanbaru, Riau.

Sumber: Riau Pos, Jum`at, 27 Maret 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts