Mengelak Aroma Busuk Politik

Oleh Ahmad Sahidah

Masa transisi, dari rezim tangan besi ke demokrasi, bisa disandera oleh kehendak kelompok tertentu untuk memaksakan kepentingannya sehingga menyebabkan pembusukan politik. Faktor-faktor pembusukan harus diungkap dan dikikis sebelum masyarakat menjadi korban.

Buku ini melengkapi khazanah ihwal asal-muasal tatanan dan pembusukan politik dalam sejarah manusia. Mengingat satu disiplin tak memadai, Francis Fukuyama memanfaatkan pendekatan lain terkait kehendak manusia berkuasa, seperti antropologi, ekonomi, dan biologi. Penulis, yang pernah menggemparkan jagat keilmuan dengan The End of History, ini tidak lagi terperangkap pada pembedaan ilmu sosial dan alam yang diandaikan oleh Wilhem Dilthey, filsuf Jerman. Tentu, dengan pengandaian melalui pelbagai disiplin, siapa pun akan lebih utuh melihat naluri manusia asali, kekuasaan.

Karya pertama dari dua jilid ini melihat dua isu besar, yaitu asal-muasal institusi politik dan proses pembusukan politik. Yang pertama bisa dilacak sejak prasejarah hingga masa revolusi Perancis dan Amerika. Di antara jejak ini, ada warisan penting, seperti sejarah peradaban China, India, dan Islam. Misal, model birokrasi modern yang sesungguhnya telah dijalankan pada masa Dinasti Ming. Di sini, sistem pengangkatan dan promosi pejabat publik didasarkan pada merit, bukan kedekatan emosional dengan penentu keputusan. Pendek kata, sejarah kekuasaan mengandaikan pelbagai warisan kebudayaan dunia. Di sisi lain, pembusukan juga terjadi pada rentang waktu yang sama, dan tentu saja faktor pelemahan itu berulang hingga era kini.

Secara ideal, lembaga politik harus menuju pada pengelolaan modern, yang disebut sebagai ”menuju Denmark”. Negara ini dianggap sebagai sebuah tempat mitos karena mempunyai lembaga politik dan ekonomi yang baik: stabil, demokratis, damai, makmur, inklusif dan tingkat korupsi yang sangat rendah. Namun, yang perlu dicermati bahwa kemajuan itu tidak diraih begitu saja. Orang Denmark sendiri adalah keturunan Viking, suku yang menaklukkan banyak negara Eropa. Perilaku barbarian suku ini telah dikenal dunia. Pada akhirnya, keturunan mereka berhasil mengembangkan tiga penyangga lembaga politik, yaitu negara, aturan hukum, dan akuntabilitas secara meyakinkan (halaman 14-16).

Penyebab pembusukan

Di tengah perkembangan lembaga politik, pembusukan kadang terjadi ketika sistem gagal menyesuaikan dengan perubahan zaman. Menurut Fukuyama, ada semacam hukum perlindungan institusi di mana manusia adalah binatang yang mengikuti aturan. Mereka lahir untuk menyesuaikan dengan norma-norma sosial yang ada di sekitar dan mengembangkan aturan itu dengan makna dan nilai transenden. Ketika lingkungan sekitarnya berubah dan tatanan baru muncul, acap kali ada keterputusan antara lembaga yang ada dan kebutuhan baru. Oleh karena itu, tradisi lama wantoks (patron-client) di Papua Niugini dan Kepulauan Salomon masih bertahan. Di sini, Orang Besar yang dipilih sebagai wakil rakyat dalam sistem ”Westminter” menggelontorkan anggaran belanja pada sukunya sendiri untuk merawat dukungan.

Selain itu, pembusukan bisa disebabkan oleh masyarakat sipil yang maju. Kelompok-kelompok yang didasarkan pada fanatisme etnik atau rasial menyebarkan ketidaktoleranan. Kelompok kepentingan bisa menanam modal dalam usaha pencarian rente hingga titik penghabisan. Politisasi berlebihan terhadap konflik ekonomi dan sosial bisa melumpuhkan masyarakat dan meruntuhkan legitimasi institusi demokratis (halaman 472).

Penyebab pembusukan yang lain adalah patrimonialisme, yakni kecenderungan ”alamiah” manusia untuk mengutamakan keluarga dan teman. Model politik semacam ini, yang telah lama dipraktikkan dalam sejarah kesukuan oleh China, India, dunia Muslim dan Eropa, akhirnya ditinggalkan menuju pembentukan lembaga politik yang netral. Pun, dalam politik modern, praktik pengutamaan kerabat kadang muncul. Oleh Fukuyama, ini disebut sebagai repatrimonialisme.

Agar kronisme tidak meruyak, pemerintahan yang diberi amanah harus menegakkan akuntabilitas dan hukum, dua pilar penting dalam perkembangan politik. Akuntabilitas berarti penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat dan meletakkannya di atas kepentingan dirinya. Pertanggungjawaban semacam ini bisa dicapai dengan pelbagai cara, di antaranya melalui pendidikan moral (halaman 322). Lagi-lagi, cara ini juga telah lama dijalankan oleh China sebelum era modern.

Penegakan hukum juga perlu mendapat perhatian, yang harus dibedakan dengan legislasi. Yang pertama merupakan sejumlah aturan abstrak tentang keadilan yang mengikat seluruh komunitas. Dengan kata lain, hukum harus didasarkan pada nilai-nilai universal, bukan primordial. Terkait dengan peranan hukum dalam masyarakat, Fukuyama mengurai kesamaan antara dunia Muslim dan Kristen. Dalam dua agama semitik ini, hukum berakar pada Tuhan Yang Esa, yang menetapkan yurisdiksi universal dan merupakan sumber dari semua kebenaran dan keadilan (halaman 278). Namun, dalam perjalanan sejarah, keduanya menanggapi secara berbeda mengenai hubungan antara negara dan agama.

Perlu dimaklumi bahwa pembusukan politik itu bisa melemahkan pemerintahan, bahkan yang sebelumnya tak terbayangkan akan terjadi. Imperium Osmaniyah yang sangat kuat akhirnya tumbang. Salah satu faktor pembusukan berasal dari kalangan elite yang tak lagi memperhatikan kepentingan orang ramai dan lebih mengutamakan kelompok tertentu. Pada masa yang sama, hukum dan akuntabilitas dilanggar untuk memuluskan akal bulus segelintir elite.

Dengan menekankan pada proses pembusukan sebuah pemerintahan, sejatinya bisa juga ditelusuri banyak informasi tentang persaingan manusia dari pelbagai belahan dunia. Bagaimanapun, buku ini alurnya tak sepenuhnya bernuansa ilmu politik, tetapi juga sejarah dan filsafat, meski refleksi yang terakhir tak lagi membuat dahi berkerut karena dijelaskan melalui contoh- contoh perilaku manusia kebanyakan yang akrab di telinga. Sayangnya, Fukuyama masih tersandera pada citra keunggulan Eropa dalam banyak hal sehingga harus menulis subbab khusus tentang eksepsionalisme (paham pengecualian) benua yang namanya berasal dari legenda dalam mitologi Yunani ini.

Ahmad Sahidah Dosen Filsafat dan Etika pada Universitas Utara Malaysia

• Judul: Political Branding & Public Relation: Saatnya Kampanye Sehat, Hemat, dan Bermartabat • Penulis: Silih Agung Wasesa • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2011 • Tebal: xxxvi + 321 halaman • ISBN: 978-979-22-6901-7

Reformasi politik nasional membawa perubahan pada sistem pemilihan yang lebih semarak. Di sisi lain, ongkos pemilihan umum turut menjadi lebih mahal, termasuk biaya yang harus dikeluarkan tiap kandidat, seperti biaya kampanye atau tim sukses. Pemilihan langsung juga memaksa politisi untuk membangun citra, tetapi terkadang citra yang dibangun tanpa diiringi usaha kurang memberikan pendidikan politik untuk rakyat.

Menangkap kekhawatiran tersebut, publikasi ini menawarkan alternatif membangun citra dan kampaye dengan biaya murah dan tepat sasaran. Kuncinya, menggunakan cara-cara pencitraan yang lebih sistematis dan cerdas. Salah satunya adalah membentuk komunitas eksternal politik, mengembangkan loyalitas kepada mereka yang memiliki simpati atau kedekatan dengan merek politik.

Langkah yang perlu dilakukan adalah membangun program yang berkelanjutan dan konsistensi pesan dalam program-program yang dibuat. Keuntungan yang didapat adalah budget pengembangan komunitas yang relatif murah. Ini terjadi karena targetnya dimulai dari komunitas yang terkecil. Bahkan, simpatisan yang merasa nilainya selaras dengan komunitas politik akan dengan sukarela menggunakan dana pribadi untuk berkontribusi.

Selain membentuk komunitas, dalam bagian lain Leila Mona Ganaiem menunjukkan perlunya mengelola personal branding sebagai sebuah strategi pemasaran politik. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah penggalian terhadap diri kandidat, kredibilitas, dan juga kepribadiannya. (YOG/Litbang Kompas)

• Judul: Ayat-ayat Filosofi Satyanegara • Penulis: Satyanegara • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011 • Tebal: xii + 245 halaman • ISBN: 978-979-22-7468-4

Satyanegara terlahir dengan nama Oei Kim Sing di Kudus, Jawa Tengah. Ia dididik dengan keras oleh sang ibu yang seorang guru. Lulus SMA, ia memutuskan pergi ke Jepang untuk menempuh pendidikan kedokteran berbekal uang seadanya dan tanpa kemahiran berbahasa Jepang. Kenekatannya dilatarbelakangi dorongan sang ibu yang sangat menginginkan ada putranya yang menjadi dokter.

Persepsi masyarakat terhadap keluarga guru sebagai golongan ekonomi lemah, serba terbatas, serta sederhana, membuat Satyanegara muda minder. Meledaklah dalam jiwa yang masih kekanak-kanakan keinginan untuk menonjol, menunjukkan kebolehannya. Ia pun menjadi sosok yang terkenal ”iseng”. Gerak-gerik unik yang selalu mengundang tawa membuatnya selalu dilibatkan dalam acara panggung yang diselenggarakan sekolah. Peran pelawak selalu ia bawakan, bahkan sampai saat ia di Jepang. Pada peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia di KBRI Jepang, sandiwara perjuangan kemerdekaan yang seharusnya sarat nuansa patriotik menjadi pertunjukan komedi karena ulahnya.

Dikenal sebagai orang iseng, bukan berarti kehidupannya penuh dengan kejenakaan. Hidup di negeri seberang bergantung dari beasiswa membuatnya harus berjuang. Tak jarang ia kelaparan karena kiriman beasiswanya datang terlambat dan sering kali dihinggapi keputusasaan. ”Kuda yang baik tidak memakan rumput yang telah dilalui”, petuah dari sang ayah membangkitkannya. Keuletan menjadikannya seorang dokter bedah saraf yang memilih untuk kembali ke tanah air setelah hampir 14 tahun bermukim di Jepang. (DRA/Litbang Kompas)

-

Arsip Blog

Recent Posts