Menggugat Kekuasaan Anggaran DPR

Oleh Roby Arya Brata

Skandal-skandal suap yang melibatkan oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa dilepaskan dari potensi koruptif kekuasaan DPR yang besar dalam menentukan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Kasus dugaan suap oleh AHD, anggota Komisi V DPR, yang diduga terkait dengan proses penyusunan anggaran stimulus proyek pengembangan fasilitas laut dan udara di kawasan timur Indonesia, menyadarkan kita akan rawannya kekuasaan tersebut disalahgunakan. Kekuasaan itu berpotensi membuka peluang lobi-lobi politik koruptif antara oknum anggota DPR dan kelompok-kelompok kepentingan dan bisnis. Jika dibiarkan, keadaan ini bisa mendistorsi proses perumusan kebijakan publik yang berbahaya bagi proses demokrasi.

Tidak seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat yang secara tegas menganut ajaran separation of power dan memberikan kekuasaan membentuk undang-undang (legislative powers) kepada Kongres, Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya menganut prinsip distribution of power di antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pasal 1 ayat 1 Konstitusi AS menyatakan, "All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representative". Dalam UUD 1945, presiden tidak hanya memegang kekuasaan (eksekutif) pemerintahan (pasal 4 ayat 1), namun ia juga berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (pasal 5 ayat 1).

Kekuasaan legislatif presiden diperkuat dengan ketentuan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya, jika presiden atau DPR tidak setuju terhadap RUU tersebut, RUU demikian tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 3). Namun, semangat perancang Perubahan UUD 1945 rupanya hendak mengembalikan atau memperkuat kekuasaan legislatif DPR sebagaimana dinyatakan dalam pasal 20 ayat 1, "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang". Selain itu, jika dalam waktu 30 hari presiden tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang (pasal 20 ayat 5). Dengan kata lain, kekuasaan legislatif presiden lemah. Hal ini berbeda dengan kekuasaan presiden AS untuk memveto RUU dari Kongres dan mensyaratkan dua pertiga suara Kongres agar RUU yang diveto tersebut sah menjadi undang-undang.

Secara perbandingan, dasar konstitusional penyusunan bujet di AS adalah Pasal 1 ayat 9 klausula 7 Konstitusi AS yang menyatakan, "No Money shall be drawn from the Treasury, but in Consequence of Appropriations made by Law; and a regular Statement and Account of the Receipts and Expenditures of all public Money shall be published from time to time". Selanjutnya proses penyusunan bujet diatur dalam Budget and Accounting Act 1921. Meskipun presiden AS tidak memiliki kekuasaan legislatif, dalam hal bujet, ia berwenang mengajukan budget request, yang penyusunan proposalnya dilakukan oleh The Office of Management and Budget, kepada Kongres yang berisi rencana anggaran pendapatan dan belanja negara.

Atas dasar proposal inilah, melalui proses perancangan budget resolution, Komisi Anggaran DPR dan Senat AS kemudian menyetujui atau menolak pengalokasian anggaran secara individual pada program-program pemerintah federal. Selanjutnya presiden AS dapat menyetujui atau memveto Budget Bill dari Kongres tersebut.

Dalam kenyataannya, sebagaimana banyak para pakar politik-ekonomi berpendapat, kekuasaan yang besar dari Kongres untuk menentukan anggaran tersebut telah membuka peluang lobi-lobi politik yang cenderung mendistorsi proses demokrasi dan pembuatan kebijakan. Mancur Olson dalam bukunya yang fenomenal, The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation, and Social Rigidities (1982), bahkan berpendapat bahwa pengaruh kelompok-kelompok kepentingan, seperti asosiasi serikat pekerja dan petani kapas, melalui lobi-lobi politiknya yang cenderung proteksionis dan antiteknologi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya stagflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Berpotensi koruptif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden dan DPR untuk menyusun RUU APBN. Pasal 23 ayat 1 menyatakan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, sedangkan pasal 23 ayat 2 memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Lalu sejauh manakah kewenangan DPR dalam menentukan APBN? Kekuasaan DPR dalam menentukan APBN kuat, yaitu dapat menolak RUU APBN yang diajukan presiden (pasal 23 ayat 3). Selain itu, dalam Pasal 20-A ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Lebih jauh lagi, berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa usul perubahan itu dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan defisit anggaran. Selanjutnya Pasal 15 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 memberikan kewenangan yang lebih kuat lagi kepada DPR dengan menentukan bahwa, "APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja".

Karena itu, berdasarkan analisis di atas, kita dapat mengatakan bahwa dalam hal APBN, DPR tidak hanya memegang kekuasaan legislatif, namun juga melaksanakan kekuasaan eksekutif, yaitu dengan terlalu jauh ikut campur dalam menentukan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja—suatu fungsi yang seharusnya menjadi kekuasaan penuh presiden sebagai kepala eksekutif penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Hal ini tentunya akan menyulitkan pelaksanaan fungsi manajemen oleh presiden—di mana perumusan budgeting atau APBN yang buruk, sebagai akibat intervensi DPR yang terlalu jauh dan mungkin koruptif, tentu akan berpengaruh buruk pula terhadap pelaksanaan fungsi manajemen lainnya, seperti perencanaan (planning) dan pengendalian (controlling) program pemerintah.

Selain itu, "ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran (kepada) legislatif sebagai pemegang kendali bujet menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal" (Abimanyu 2005). Akibatnya, efektivitas perumusan dan implementasi kebijakan dan program pemerintah dapat terganggu.

Keadaan ini berpotensi koruptif jika kekuasaan DPR yang terlalu jauh dalam penyusunan APBN tersebut membuka peluang lobi-lobi dan patronase politik korup bagi kelompok-kelompok kepentingan dan bisnis. Hal ini tentu, seperti yang dikhawatirkan Mancur Olson, dapat mendistorsi proses demokrasi, menyebabkan stagflasi, dan pada tingkatan tertentu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, pemerintah dapat menggunakan argumentasi konstitusional untuk menolak intervensi DPR yang terlalu jauh, apalagi yang koruptif, dalam proses penyusunan APBN. Pemerintah dapat mengemukakan bahwa fungsi budgeting (penyusunan APBN) merupakan fungsi yang melekat pada kekuasaan presiden sebagai kepala eksekutif penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Selain itu, karena hanya bersifat usulan, pemerintah dapat menolak kewenangan DPR, berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN. Atau dengan argumen yang sama, karena berpotensi koruptif dan inkonstitusional, lembaga swadaya masyarakat antikorupsi dapat memohonkan pengujian konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 15 ayat 3 tersebut. Argumen konstitusional lainnya adalah pengertian fungsi anggaran DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20-A ayat 1 UUD 1945 dan dijelaskan oleh penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, tidak termasuk di dalamnya hak DPR untuk menentukan APBN yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Roby Arya Brata, Pengamat Hukum

Sumber: Koran Tempo, Selasa, 21 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts