Mengurai Kekusutan RUU Tipikor

Oleh Samsul Wahidin

Peluang untuk disahkannya RUU Pengadilan Tipikor oleh DPR masa jabatan sekarang semakin tertutup. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “mengadu" ke presiden ihwal tidak kunjung selesainya RUU Pengadilan Tipikor dibahas di DPR. Untuk itu, pemerintah berancang-ancang mengeluarkan perppu jika pada saatnya RUU tersebut tidak bisa dituntaskan DPR. Dalam hal ini, waktu yang tersisa untuk bertemunya para wakil rakyat itu adalah pada masa sidang Juni-Agustus.

Namun, tampaknya harapan untuk bisa tuntas sangat tipis. Mengingat bahwa teknis penggodokan RUU itu masih berada pada tahap pembuatan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan penggalian aspirasi masyarakat.

Permasalahan UU itu krusial, tidak saja menjaga bangkrutnya republik dari jarahan para koruptor. Secara yuridis, hal tersebut juga memenuhi amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Di dalamnya menyebut bahwa pemerintah dan DPR harus segera memperkuat basis konstitusi pemberantasan korupsi melalui pembentukan Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Batas waktunya dipatok sampai 19 Desember 2009.

Kendala Teknis
Masih panjang tahapan yang harus ditempuh RUU tersebut di DPR sebelum final menjadi UU yang mengikat. Dari hitungan pembahasan nantinya, setelah selesai inventarisasi DIM dan penggalian aspirasi masyarakat, masih harus dibahas (lagi) dalam pansus sebelum diparipurnakan. Hitungan sederhana, hal itu akan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan. Namun, tetap masih bisa diselesaikan pada masa sidang Juni-Agustus, asal komitmen untuk itu tidak sekadar lip service.

Secara teknis, anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor itu sebanyak 50 orang. Di antara anggota sebanyak itu, 12 suara berasal dari Golkar. Karena itu, komitmen Fraksi Partai Golkar boleh disebut sangat menentukan untuk bisa terwujudnya UU itu sebagai manifestasi pemberantasan korupsi di tanah air. Apakah komitmen politik yang selama ini mereka dengungkan sejalan dengan kenyataan, kinerja mereka pada pansus itu bisa dipandang sebagai parameternya.

Dari DIM yang sampai ke masyarakat, ternyata belum ada kesepakatan mengenai materi UU tersebut. Misalnya, kemanakah naungan pengadilan itu nanti, bagaimanakah komposisi majelis hakimnya, bagaimanakah hukum acaranya, serta kedudukan dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang kini sedang dirundung “duka” karena ketuanya kena kasus. Masyarakat diharapkan memberi masukan berkenaan dengan materi UU itu untuk lebih memberikan legitimasi yang kuat kalau jadi diselesaikan.

Secara teknis, di samping keadaan di atas, ada masalah lain. Para anggota dewan sedang disibukkan konsolidasi setelah pemilu legislatif dan persiapan pemilu presiden. Dalam hal ini, dari Pansus RUU Pengadilan Tipikor tersebut, sekitar 70 persen anggotanya mencalonkan lagi dan ternyata sebagian besar terpilih. Hal itu berarti mereka sudah menguasai medan, berkenaan dengan kinerja Pengadilan Tipikor.

Dari sisi kinerja parpol, belum tuntasnya pembahasan atas RUU itu memperkuat tesis bahwa partai politik yang memiliki fungsionaris di DPR belum memiliki komitmen yang berkenaan dengan kehadiran Pengadilan Tipikor. Padahal, siapa pun yang sependapat dengan pengadilan itu akan memberikan justifikasi atas penindakan secara tegas terhadap para koruptor tersebut. Bahkan ada kesan, para pimpinan parpol sengaja membiarkan RUU Pengadilan Tipikor itu “bubar jalan" dan di akhir deadline nanti terdakwa korupsi kembali diadili di pengadilan umum.

Kendala Substantif
Ibarat obat, dosis Pengadilan Tipikor itu akan memberikan efek lebih kuat terhadap keberadaan KPK. Lembaga superbodi itu nanti bersifat permanen, ketika orientasi pengadilannya tidak lagi bersifat ad hoc seperti sekarang. Pengadilan itu nanti juga bisa setara dengan lembaga yang sudah ada, yaitu pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara. Meski, tidak di setiap kabupaten/kota ada Pengadilan Tipikor.

Pada awal kelahiran KPK, perdebatan yang berkembang di DPR ibarat akan melahirkan macan. Apakah akan dibekali taring dan kuku yang kuat atau akan dikebiri sedemikian rupa sehingga kewenangannya kecil dan terbatas. Ternyata yang kemudian berhasil adalah kewenangan yang begitu besar sehingga “memakan" induk (DPR) yang melahirkannya.

Dalam kurun waktu singkat saja, setidaknya delapan anggota DPR telah diseret ke Pengadilan Tipikor (ad hoc). Mereka adalah Saleh Djasit, Noor Adenan Razak, Al Amin Nasution, Hamka Yamdu, Anthony Zedra, Sarjan Taher, Bulyan Royan, Yusuf Emir Faisal, dan sebagainya. Sementara itu, yang sedang tarik ulur dan lebih heboh adalah kasus Agus Condro yang belum menemukan kepastian karena akan melibatkan banyak lagi anggota DPR.

Tidak terlalu salah masyarakat menilai bahwa memang ada semacam keengganan DPR yang memberikan kewenangan begitu besar kepada KPK untuk melahirkan UU Pengadilan Tipikor. Seolah ada penyesalan terstruktur pada akibat kinerja KPK yang mereka lahirkan, yang ternyata “memakan" induknya sendiri.

Jadi, kendala substantif terkait dengan alotnya pembicaraan tentang RUU Tipikor ini lebih disebabkan traumatik terhadap kinerja pengadilan itu nanti. Apalagi, pemberantasan korupsi tidak kenal masa jabatan. Artinya, yang pernah menjabat DPR beberapa periode sebelumnya pun tidak luput dari penyisiran KPK. Apalagi, dengan kehadiran Pengadilan Tipikor itu.

Kalau memang tidak ada kendala dan anggota DPR merasa dirinya bersih, seharusnya tidak ada ganjalan dalam pembahasan RUU itu. Bahkan, komitmen yang kuat untuk segera menuntaskan RUU tersebut memberikan citra bersih kepada para anggota dewan terhormat.

Dengan (akan) dilahirkannya perppu tentang Pengadilan Tipikor, hal itu malah mendegradasi kepercayaan terhadap keberadaan DPR. Meski sebentar lagi masa jabatan mereka habis, seharusnya komitmen untuk memberantas korupsi justru diperkuat.

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, ketua Program Doktor Ilmu Hukum Unmer Malang

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 26 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts