Percepatan RUU Pengadilan Tipikor

Oleh Ida Syafrida Harahap

Semarak Pemilihan Umum 2009 kian terasa. Pada saat yang sama, gerakan antikorupsi kembali menghadapi ujian yang dilematis. Proses legislasi atas Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berjalan maksimal. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi mencermati perlunya pembenahan di semua peraturan yang terkait dengan pemberantasan korupsi, termasuk UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Tipikor.

Namun, hingga saat ini belum ada satu pun yang mendapat prioritas, minimal perhatian, dari para legislator. Padahal wacana hingga studi pembenahan sistem pemberantasan korupsi sudah berkembang di berbagai elemen, seperti akademisi, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, KPK, dan di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, internalisasi pola dan kebiasaan dalam proses legislasi telah menghambat inisiatif dan kreativitas untuk percepatan pemberantasan korupsi.

Memimpin gerakan pemberantasan korupsi
Jika selama ini gerakan antikorupsi identik dengan KPK dan jauh dari DPR, sudah saatnya citra positif tersebut diletakkan pula pada lembaga perwakilan rakyat. Limitasi waktu dalam pembentukan Pengadilan Tipikor sebagaimana yang dikehendaki dalam putusan MK kian dekat. Hitung-hitungan jangka waktu pembahasan RUU telah menghabiskan cukup banyak waktu dan pikiran. Sebab, pola pembahasan masih mengacu pada standar proses legislasi yang selama ini dilakukan oleh DPR dan pemerintah.

Banyak kalangan meminta Presiden mengeluarkan perpu sebagai antisipasi lambatnya proses legislasi. Namun, mendobrak kebiasaan legislasi di DPR seharusnya dapat menjadi prioritas pilihan, karena pertama, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang yang mencerminkan kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara. Keterlibatan pemerintah maupun lembaga lain dalam proses legislasi hanya salah satu upaya kontrol dan penyeimbang yang dapat dikemas dalam bentuk transparansi proses dan manajemen partisipasi publik secara lebih profesional.

Kedua, pola dan kebiasaan proses legislasi adalah aturan yang dibuat secara internal. Dalam hal ini, segala bentuk penyimpangan yang didasarkan pada putusan MK, implementasi Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC), dan percepatan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang bertentangan dengan norma dan hukum yang ada.

Penyimpangan dari standar yang selama ini ada dapat dilegitimasi dengan mengeluarkan sebuah aturan internal yang bersifat khusus dan insidental. Karena bagaimanapun kekuasaan legislasi hakikatnya ada di tangan DPR. Ketiga, jika selama ini DPR identik dengan anggota per anggota yang notabene adalah perwakilan dan kepentingan politik, kini saatnya DPR bertindak secara institusional mewakili kepentingan bangsa dan negara. Nantinya hal ini akan menjadi gerakan progresif dan pintu masuk dalam menata sistem parlemen secara menyeluruh.

Percepatan proses legislasi
Diperlukan beberapa langkah untuk menjawab pekerjaan rumah DPR dalam pembentukan paket UU antikorupsi. Pertama, membentuk tim ahli. Waktu yang minim, ditambah adanya masa reses dan kampanye Pemilu 2009, dapat disiasati dengan menyerahkan proses perumusan RUU Pengadilan Tipikor kepada sebuah tim yang bersifat ad hoc. Tim ini terdiri atas pakar antikorupsi yang memiliki kompetensi dan integritas yang telah teruji di kancah perkorupsian Indonesia. Tim berada di bawah tanggung jawab DPR, bukan sekadar komisi. Tentunya tim ini tetap dapat bekerja meskipun dalam masa reses atau kampanye. Untuk menghindari pembentukan tim yang berlarut-larut dan memakan waktu, setiap fraksi dalam komisi terkait berhak mengajukan dua nama ahli. Nantinya keputusan ada di tangan pimpinan DPR.

Tim ahli setidaknya dapat berjumlah tujuh hingga sembilan orang. Kedua, inventarisasi masukan dan identifikasi permasalahan. Karena waktu yang sempit, penelitian dan studi banding tidak menjadi pilihan dalam proses legislasi. Sehingga pengumpulan serta pengolahan ide dan wacana yang telah berkembang di berbagai elemen menjadi prioritas strategi, termasuk menginventarisasi RUU Pengadilan Tipikor yang telah dibentuk oleh berbagai elemen. Nantinya hasil inventarisasi tidak lagi menjadi produk yang bersifat personal, melainkan menjadi produk DPR.

Di sinilah partisipasi aktif masyarakat dan elemen lain diharapkan dapat dikelola dengan maksimal. Selanjutnya identifikasi berbagai permasalahan konseptual dan faktual dapat dilakukan. Hasil dalam tahap ini adalah RUU Pengadilan Tipikor disertai rumusan revisi UU KPK dan UU Tipikor.

Ketiga, elaborasi pemikiran. Tahap elaborasi dilakukan secara simultan. Substansi peraturan yang hendak dikaji dibagi menjadi beberapa topik utama. Masing-masing dikaji oleh lembaga yang kompeten dan secara praktis bersentuhan langsung dengan hal yang dikaji. Beberapa hal pokok yang perlu diperdalam adalah, sistem kelembagaan, hukum acara, manajemen sumber daya manusia, dan anggaran. Kajian mengenai sistem kelembagaan, di antaranya mengenai kedudukan dan kewenangan, dapat dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif antara tim ahli dan akademisi dan Mahkamah Agung. Hukum acara dapat dibahas bersama KPK dan hakim Pengadilan Tipikor. Sistem manajemen SDM dapat dibahas bersama MA, BKN, dan profesional. Sedangkan untuk sistem anggaran dapat dibahas bersama Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Terakhir, tim ahli melakukan penyelarasan dan finalisasi RUU. Kemudian hasilnya disampaikan dalam sidang komisi. Tahap ini harus diprioritaskan untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor. Keempat, sidang paripurna dan pengesahan. Meskipun langkah-langkah yang ada diprioritaskan untuk membentuk RUU Pengadilan Tipikor, dengan kompetensi yang dimiliki tim ahli dan efektivitas elaborasi ide, tidak tertutup kemungkinan revisi UU KPK dan UU Tipikor dapat terselesaikan pada saat yang bersamaan.

Efektif, efisien, dan berkualitas. Reformulasi proses legislasi haruslah dapat menjawab ketiga prinsip tersebut. Hal terburuk dan tercepat yang dapat dilakukan DPR adalah semua ketentuan mengenai Pengadilan Tipikor yang sudah tercantum dalam UU KPK secara utuh dimasukkan ke RUU Pengadilan Tipikor. Namun, hal tersebut akan lebih mendapat apresiasi positif daripada dengan sengaja membiarkan UU Pengadilan Tipikor tidak terbentuk. Karena MK tidak sedikit pun mempermasalahkan content dari ketentuan tersebut. Namun, jika DPR berhasil mengemas proses legislasi menjadi prosedur yang sederhana dengan output yang mampu mendukung percepatan pemberantasan korupsi, semua elemen negara patut memberikan standing applause. Sebab, di pengujung masa jabatan, DPR telah mampu mengambil posisi sebagai pemegang kuasa pembentuk undang-undang.

Ida Syafrida Harahap, Peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

Sumber: Koran Tempo, Senin, 06 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts