Potensi Selingkuh Insentif Pajak Penghasilan

Oleh Bambang Soesatyo

Stimulus PPh Pasal 21, bahkan masih dalam konsep sekalipun, sudah membuka peluang penyimpangan. Stimulus yang satu ini pun tidak berkeadilan karena diskriminatif. Penyimpangan atas stimulus PPh 21 sangat terbuka karena pekerja yang boleh menikmati insentif ini diseleksi. Semua orang tahu bahwa kita sering tidak becus melakukan proses seleksi. Obyektivitas dikorbankan karena semangat berperilaku menyimpang dan kolutif sangat kuat; ada lobi, tawar-menawar, sampai suap.

Pekerja yang boleh menikmati insentif dari PPh 21 ini adalah mereka yang pendapatannya di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang bukan direksi. Kalau Anda berada dalam kelompok pekerja ini, jangan dulu yakin bisa menikmati insentif pembebasan PPh ini. Soalnya, status perusahaan andalah yang menjadi faktor penentu.

Menurut aturan mainnya, terhadap perusahaan yang ingin mendapatkan keringanan, pemerintah melihat dulu rekam jejaknya dalam kepatuhan membayar pajak. Terpenting, stimulus diprioritaskan untuk sektor padat karya dan perusahaan dengan kinerja ekspor bagus. Maka, Kantor Pajak akan menilai perusahaan apa saja yang layak mendapat insentif pajak ini. Adu argumentasi tentang sektor mana yang berhak, banyak menyita waktu. Sudah pasti jumlah perusahaan yang berminat sangat banyak. Padahal besaran dana yang dialokasikan dalam paket stimulus fiskal hanya Rp 6,5 triliun.

Beberapa industri yang sudah dianggap layak mendapat insentif adalah industri tekstil, alas kaki, perabotan, baja, elektronik, makanan, dan kerajinan. Bisa dipastikan bahwa hari-hari ini intensitas lobi dari asosiasi-asosiasi industri sangat tinggi. Kalau boleh curiga, oknum-oknum dari kantor pajak pun mulai “buka praktek” untuk jasa melayani para pelobi dari dunia usaha. Pada tahap inilah potensi penyimpangan itu sangat terbuka.

Kriteria yang begitu abu-abu bagi pekerja penikmat insentif PPh ini praktis menjadi celah perselingkuhan antara oknum pajak dan pengusaha. Kriterianya abu-abu karena target kebijakannya dibuat mengambang. Peruntukan insentifnya sangat jelas, yakni penghapusan pajak penghasilan karyawan. Namun, persyaratan untuk mendapatkan insentif itu ditentukan oleh kinerja perusahaan. Tinggi-rendah atau baik-buruk persyaratan kinerja perusahaan pun amat sangat tidak tegas, karena hanya disebutkan padat karya, menyerap banyak tenaga kerja, dan berorientasi ekspor. Pembatasan total nilai insentif yang hanya Rp 6,5 triliun pun secara tidak langsung mendorong para pengusaha berebutan untuk mendapatkannya.

Bisa dipastikan, sangat banyak perusahaan yang mengajukan klaim bahwa karyawannya berhak mendapat insentif itu. Karena kriteria abu-abu tadi, perusahaan yang jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan pun akan mengajukan klaim. Kantor-kantor pajak tingkat wilayah pasti sibuk menerima klaim itu. Maka, lobi plus iming-iming suap pun bertebaran. Para kontraktor yang mengerjakan proyek sektor pekerjaan umum pasti yakin pekerjanya berhak mendapat insentif itu. Begitu juga para kontraktor sektor perumahan dan bangunan kantor atau pusat belanja. Toh, proyek mereka padat karya. Di Jabodetabek dan kota-kota besar lain, jumlah proyek kelompok ini terbilang banyak dan melibatkan mungkin sampai jutaan pekerja.

Mungkinkah semua pekerja mendapatkan insentif PPh 21 itu? Kalau perusahaan kontraktor mengajukan klaim insentif itu dan mendapatkannya, adakah jaminan para pekerja mereka tahu dan menerimanya? Belum tentu, mengingat sebagian pekerja belum melek peraturan, bahkan banyak yang tidak peduli peraturan. Insentif PPh 21 untuk perusahaan berorientasi ekspor tampak sangat rumit. Katakanlah pada produk ekspor dari kelompok industri tekstil, alas kaki, dan makanan. Siapa yang berhak mendapatkannya? Karyawan perusahaan eksportirnya ataukah karyawan pada usaha-usaha skala kecil yang menerima pekerjaan subkontrak untuk memenuhi kewajiban eksportir?

Kita tahu bahwa perusahaan eksportirnya sendiri tidak dalam kelompok padat karya, karena lebih banyak mengurusi order alias pekerjaan administratif. Eksportir produk tekstil merek tertentu tentu tidak mengerjakan sendiri produknya, karena dia hanya mengantongi spesifikasi produk. Si eksportir akan menyerahkan pengerjaan produknya ke industri kecil skala rumahan dan mewajibkan mereka memenuhi spesifikasi produk. Pertanyaan serupa juga patut dimunculkan untuk kelompok industri makanan. Pekerja pada industri pengolahan ataukah penyedia bahan baku yang berhak mendapatkan insentif itu? Dalam industri alas kaki, yang padat karya itu penyedia bahan bakunya, bukan perusahaan eksportirnya.

Melihat semangat insentif itu, kita khawatir banyak industri padat karya skala rumahan yang berhak menerima insentif itu, tapi tidak bisa mendapatkannya karena status mereka yang bukan eksportir. Jumlah mereka sangat banyak, tetapi tidak terorganisasi dengan baik. Hak mereka mendapatkan insentif itu bisa digugurkan karena alasan per industri tidak menampung banyak pekerja.

Bagi oknum di kantor pajak, gugurnya hak industri skala rumahan itu menguntungkan mereka karena membuka peluang lebih besar bagi industri skala menengah dan besar. Perusahaan-perusahaan dari dua kelompok pasti berlomba-lomba. Proses seperti itulah yang justru diharapkan oknum-oknum di kantor pajak.

Dengan alasan alokasi insentif yang minim, tentu tidak semua klaim harus dipenuhi. Kantor pajak harus pilih-pilih untuk menetapkan pekerja dari perusahaan apa yang berhak mendapatkan insentif itu. Dari proses pilih-pilih itulah terbuka peluang selingkuh antara perusahaan dan oknum di kantor pajak. Terpenting bagi kedua belah pihak adalah sama-sama diuntungkan. Perselingkuhan itu membuka peluang bagi oknum pajak untuk mendapatkan uang sogok. Manajemen perusahaan tentu harus mendapatkan untung. Caranya, karena namanya selingkuh, tentu saja perolehan insentif itu tidak diumumkan kepada karyawan. Diam-diam, manajemen perusahaan tetap mengenakan PPh 21 atas gaji pekerjanya, tapi potongan PPh itu tidak disetorkan ke kas negara, melainkan dinikmati sendiri oleh perusahaan atau oknum dalam perusahaan itu. Pemerintah memang mengancam akan mengenakan sanksi berat terhadap perusahaan yang memanipulasi insentif PPh 21 ini. Tapi mengawasi realisasi insentif ini menjadi begitu sulit karena aturan mainnya yang serba abu-abu tadi.

Insentif ini mutlak hak pekerja. Merekalah yang berhak menikmatinya. Atas nama kepentingan kesejahteraan pekerja, insentif PPh 21 diberikan jika perusahaan mau mengalihkan dana untuk membayarkan PPh kepada karyawan. Untuk itu, perusahaan wajib mencatatkan gaji kotor atau gaji yang belum dipotong untuk PPh pada setiap slip gaji karyawan.

Jika seorang karyawan menerima gaji Rp 5 juta per bulan, tarif PPh yang berlaku adalah 15 persen atau Rp 750 ribu per bulan. Jika fasilitas pembebasan PPh karyawan digunakan, perusahaan harus menuliskan besaran gaji karyawan itu menjadi Rp 5,750 juta. Maka, penghasilan bersih karyawan tersebut bertambah dari Rp 5 juta menjadi Rp 5,750 juta per bulan. Strategi penguatan daya beli, dengan demikian, terwujud.

Penguatan daya beli pekerja itu membawa konsekuensi logis bagi pemerintah, yakni hilangnya penerimaan negara yang riil karena pemerintah tidak akan menerima lagi penerimaan PPh karyawan. Sayang, kebijakan ini dirasakan diskriminatif. Sebab, tidak semua pekerja bisa menikmati insentif penguatan daya beli ini.

Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Perdagangan dalam Negeri Kadin/Ketua Umum Ardin Indonesia

Sumber: Koran Tempo, Kamis, 23 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts