Tindak Korupsi Wakil Rakyat

Oleh Mahi M. Hikmat

Makin lengkaplah, Indonesia berstempel negara terkorup di dunia. Indonesia yang dikenal sebagai negara santun dan religius di mata dunia, kini makin hina dina. Hasil pengungkapan tindak korupsi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) merupakan bukti riil bahwa semua lembaga negara di Indonesia, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sudah menjadi sarang bercokolnya sejumlah koruptor.

Pascajatuhnya rezim Orde Baru, banyak pihak mempersepsi bahwa korupsi hanya terjadi di eksekutif. Prasangka itu pun dibuktikan dengan diseretnya sejumlah pejabat eksekutif ke meja hijau. Aksi curi-mencuri uang rakyat itu pun tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi terjadi juga di daerah. Sejumlah bupati dan wali kota terpaksa harus menangis di balik jeruji besi.

Indikasi ini sangat beralasan. Pada era itu, dominasi eksekutif dalam semua lini pemerintahan sangat kuat, nyaris lebih kuat dari lembaga mana pun. Sistem politik dan pemerintah di Republik Indonesia saat itu, sangat bertumpu dan berakhir di lembaga eksekutif. Lembaga pemerintah ini tidak hanya mendominasi segala aspek kehidupan negara, tetapi sekaligus menjadi kekuatan hegemonik yang amat determinan.

Bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan porak-porandanya tatanan Orde Baru melahirkan harapan besar. Kekuasaan yudikatif dan legislatif yang mulai pulih. Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat maupun di daerah tidak lagi menjadi "kacung stempel" penguasa. Dalam beberapa segi, wakil rakyat ini mulai memiliki kedudukan lebih istimewa ketimbang eksekutif.

Dalam satu persepsi, menguatnya posisi wakil rakyat makin melegakan hati rakyat. Namun, dalam persepsi lain, ternyata menguatnya posisi wakil rakyat ini telah melahirkan ekses negatif. Paling tidak, telah memberikan peluang kepada wakil rakyat untuk bertindak sewenang-wenang dengan mengatasnamakan rakyat. Dulu, eksekutif hanya bisa "berselingkuh" terhadap rakyat, tetapi wakil rakyat kini, selain bisa mengadali rakyat juga bisa menjadi mitra korup eksekutif, bahkan menekan eksekutif dengan mengatasnamakan rakyat.

Ekses negatif tersebut terus terjadi dan sudah lama terjadi. Di daerah aksi-aksi menggondol uang rakyat sudah banyak terbukti dilakukan anggota DPRD, sehingga banyak di antara mereka yang sudah mendekam di penjara. Kasus yang sama pun kini mulai terkuat lebar dilakukan wakil rakyat di DPR RI, seperti dugaan suap terhadap anggota Komisi V DPR RI Bulyan Royan, kasus aliran dana BLBI Rp 31,5 miliar yang diduga melibatkan anggota DPR Hamka Yandhu, kasus alih fungsi hutan lindung di Kab. Bintan yang melibatkan anggota Komisi I DPR Al Amin Nasution.

Sejatinya, sejak awal harus sudah dapat diprediksi bahwa para wakil rakyat sangat potensial melakukan tindak korupsi. Mulai masa penjaringan, para calon wakil rakyat sudah dihadapkan berbagai kesulitan. Berbagai isu cost politics membumbui langkah mereka. Benar atau tidak, sempat pula muncul kabar bahwa untuk masuk pada bursa calon anggota legislatif di beberapa partai, mereka harus merogoh kocek sampai ratusan juta rupiah, bahkan untuk Pemilu 2009 ini dikabarkan sampai miliaran rupiah. Andaikan benar, sama halnya mereka menanamkan pondasi serbauang. Misi idealisme mereka mulai terkotori dengan nilai-nilai yang serbamateri.

Setelah lolos masa itu pun, para calon anggota legislatif harus berhadapan dengan masa kampanye, yang jelas-jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Merupakan hal yang logis jika mereka pun menuntut "modal politik" tersebut kembali, bahkan dengan laba dan bunganya.

Sejak lahirnya era reformasi, peran anggota legislatif makin kuat dibandingkan dengan orde sebelumnya. Hal itu terlihat dari menguatkan sejumlah kewenangan DPR, yakni memiliki kewenangan penuh dalam bidang legislasi, anggaran, pengawasan terhadap pemerintah, serta melakukan uji kepatutan (fit and proper test) bagi sejumlah pejabat publik seperti Gubernur Bank Indonesia. Dengan kewenangan di bidang legislasi, anggota legislatif diharapkan dapat melahirkan peraturan yang berpihak kepada rakyat, tetapi bukan hal yang tidak mungkin juga mereka pun bertindak terlalu mengedepankan kepentingan pribadi atau partainya. Isu "jual beli" peraturan demi kepentingan kelompok tertentu pun tak jarang menjadi bagian dari sisi gelap bagi mereka.

Kewenangan anggota legislatif di bidang anggaran yang lebih kuat dari eksekutif, dalam konteks idealis, diharapkan dapat melahirkan kebijakan anggaran yang lebih memilihak pada kepentingan rakyat. Namun, bukan hal yang tidak mungkin isu santernya sejumlah anggota legislatif yang alih profesi menjadi "calo anggaran" pun dapat terjadi.

Kewenangan anggota legislatif untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan, memberikan peluang luas kepada mereka untuk melahirkan keputusan yang dilatarbelakangi kepentingan akseptabilitas politik atau materi serta janji.

Apakah realitas itu akan terjadi pula pada pemilu dan Pascapemilu 2009 ini? Kalau memang proses rekruitmen para calon wakil rakyat dalam berjuang meraih kursi legislatif masih tetap serbamateri, mulai proses penentuan partai politik, pengurutan nomor calon, kampanye, sampai masa pemilihan masih gemerlap dengan perilaku money politics, tentu kelelahan rakyat yang ikut memilih, puluhan triliun dana rakyat untuk membiaya penyelenggaraan pemilu, akan sia-sia.

Jika kemarin bangsa ini luluh lantak akibat ulah sejumlah pejabat Orde Baru, pada era ini pun porak-poranda karena ulah para reformis khianat, dan hari esok kita makin menyimpan pesimistis, hancurlah agenda reformasi bangsa ini untuk beranjak dari caci maki bangsa lain. Tak bedanya nasib bangsa Indonesia ini keluar dari mulut buaya masuk pada mulut harimau, sudah jatuh tertimpa tangga.

Kendati begitu kita tak perlu putus asa. Masih banyak jalan menuju Roma. KPK masih ada dan semoga terus komit untuk memberantas semua pelaku korupsi tanpa pandang bulu dan tanpa tebang pilih.

Nurani kejujuran masih tetap hidup dan akan tetap hidup, kendati hanya di sebagian rakyat Indonesia dan semoga dapat menjadi lentara penerang yang terus meluas di antara kegelapan. Insya Allah, esok lusa kejujuran dan kebenaran tetap akan menjadi pemenang. Hal ini tentunya sangat bergantung pada kita, rakyat Indonesia. Roda perubahan tidak lama lagi bergulir, Pemilu wakil rakyat 2009 akan segera tiba. Semua sangat bergantung pada rakyat Indonesia, mau memilih dengan hati nurani atau dengan gadai lembaran rupiah? Semua mengandung konsekuensi dan kitalah yang akan menuai hasilnya.

Mahi M. Hikmat, mahasiswa S-3 Unpad, dosen UIN Sunan Gunung Djati, Unfari, Unpas, dan Unikom Bandung

Sumber: Pikiran Rakyat, 06 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts