Etos Politik KPK

Oleh: Rocky Gerung

SETELAH pemilu presiden usai, kita kembali masuk dalam hal-hal konkret politik nasional. Yang amat merisaukan hari-hari ini adalah kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi. Masalahnya bukan sekadar friksi antarlembaga (Polri-KPK-Kejaksaan-Parlemen), tetapi yang lebih mendasar adalah etos politik antikorupsi itu sendiri.

Artinya, kekuatan moral yang mendorong pembentukan KPK itu kini merosot menjadi transaksi kepentingan di antara elite penyelenggara negara. Sangat kuat terkesan usaha untuk mengurangi peran strategis lembaga itu, padahal peran-peran konvensional lembaga hukum lainnya (Polisi dan Kejaksaan) belumlah maksimal.

KPK memang dibentuk karena lembaga-lembaga utama penegak keadilan (Polisi, Jaksa) tidak mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi. Jadi, status KPK sebetulnya adalah ”darurat”, yaitu mengambil alih sementara fungsi-fungsi pemberantasan korupsi yang gagal dijalankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Dalam sistem ketatanegaraan, KPK adalah auxiliary organ, yaitu lembaga bantuan yang diaktifkan untuk mendorong peran normal Jaksa dan Polisi.

Jadi, bila Jaksa dan Polisi sudah mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi, dengan sendirinya KPK tidak lagi diperlukan. Karena itu, bila KPK masih terus berprestasi ”menangkap” koruptor, itu artinya pemerintah gagal memfungsikan Polisi dan Jaksa dalam urusan pemberantasan korupsi. Isu inilah yang justru hilang dari pembahasan publik soal ”nasib KPK” hari-hari ini.

Ada yang Terganggu
Karena itu, bila ada upaya memangkas fungsi-fungsi dasar KPK (penyidikan, penyadapan, dan penangkapan), jelas bahwa ada pihak yang terganggu dengan kekuasaan (yang dianggap) berlebih yang melekat pada KPK. Padahal, justru kekuasaan berlebih itu dan pandangan bahwa korupsi adalah extra-ordinary crime yang menjadi alasan moral dibentuknya KPK. Artinya, karena kekuasaan Polisi dan Jaksa tidak cukup diefektifkan dalam pemberantasan korupsi, dibentuklah lembaga auxiliary itu untuk mengambil alih kelambanan dan kelalaian lembaga-lembaga utama (Polisi dan Jaksa).

Jadi, bila sekarang eksistensi KPK ingin diakhiri, harus dibuktikan bahwa Polisi dan Jaksa sudah mampu menjalankan fungsi-fungsi pemberantasan korupsi secepat dan seefektif prestasi KPK selama ini. Bila tidak, akan terkesan bahwa friksi KPK-Polisi-Jaksa hari-hari ini adalah sekadar kompetisi ego institusi yang tidak mendasar. Bahkan, lebih jauh lagi, publik akan menilai bahwa ada kekuasaan dan kepentingan politik besar yang mendorong friksi itu. Spekulasi ini dapat justru menjadi ruang manuver bagi para koruptor yang sedang ”dibidik” KPK, atau mereka yang ”sakit hati” oleh manuver KPK.

Bagaimanapun, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari berhasil. Terus-menerus kita mencatat perbuatan korup di parlemen, eksekutif, dan lembaga peradilan. Itulah sebabnya persepsi internasional tentang indeks korupsi Indonesia masih sangat buruk. Seharusnya ukuran ini menjadi peringatan tentang beban yuridis yang masih harus dipikul KPK. Di belakang beban itu terletak juga nasib ekonomi dan bisnis kita, yaitu melemahnya kondisi investasi karena turunnya kredibilitas negara akibat tingginya tingkat korupsi.

Jadi, keseluruhan kisruh seputar ”nasib” KPK hari-hari ini adalah juga menyangkut keseluruhan problem ekonomi dan politik kita hari-hari ke depan. Kaitan-kaitan itulah yang seharusnya dihitung cermat agar sentimen-sentimen institusional dan kepentingan-kepentingan kekuasaan tidak tampil ”kasar” dalam persaingannya dengan KPK.

Reformasi kita dirikan di atas fondasi bangsa yang rapuh karena korupsi. Mentalitas dan sistem birokrasi sedang kita upayakan pembersihannya. Begitu juga parlemen, yang terus mendapat predikat buruk dalam soal korupsi. Diperlukan kurikulum ”etika publik” untuk mengorientasikan para politisi dan birokrat kita agar paham tentang prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Kurikulum itulah yang harus kita wujudkan sebagai wawasan Nusantara yang sesungguhnya.

Bila hari-hari ini kita perlu memberi dukungan kepada KPK, itu adalah refleks etis kita terhadap kepungan berlebih terhadap upaya dasar reformasi, yaitu pemberantasan korupsi. Dan jika korupsi memang telah disepakati sebagai extra-ordinary crime, diperlukan lembaga seperti KPK yang merupakan manifestasi extra-ordinary force yang secara tak langsung juga semacam super body. Tak boleh ada yang menggerutu untuk itu.

Tentu, kredibilitas KPK hanya mungkin dipertahankan bila sungguh-sungguh para agen antikorupsi di KPK menjaminkan kebersihan dirinya di depan publik. Memang inilah konsekuensi etis perjuangan antikorupsi: hanya malaikat yang mampu bertanggung jawab kepada Tuhan! Mendekati kualitas malaikat adalah etos kerja yang harus dipegang oleh KPK.

Rocky Gerung, Pengajar Filsafat Universitas Indonesia (UI), Jakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 17 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts