Ritual Mutilasi Purba

Oleh Thomas Pudjo Widijanto

Inilah ritual yang dilakukan Teater Ruang dalam lakon Mutilasi Purba, Sabtu dan Minggu (21-22/1), di Dusun Dawung, Kelurahan Danukusuman, Solo. Bukan pementasan di sebuah gedung terhormat, melainkan bermain di sanggarnya sendiri di lereng tanggul Sungai Bengawan Solo, di tengah kampung berpenghuni padat.

Anda harus berjalan di atas tanggul yang sempit dan kondisi jalan gelap jika ingin mencapai tempat pementasan itu. Di salah satu lereng tanggul yang tak jauh dari bekas lokalisasi Silir inilah Sanggar Teater Ruang berada. Bukan bangunan megah, melainkan hanya jajaran tiang beton, yang dindingnya dibuat dari anyaman bambu selayaknya bangunan bedeng-bedeng ketoprak tobong, kesenian sandiwara tradisional yang pentas keliling di setiap kota.

”Tanah yang kita tempati ini milik negara. Jadi kalau kita terusir, tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Djoko Bibit Santoso, sutradara dan penulis lakon Mutilasi Purba yang dipentaskan malam itu. ”Ya, di tempat ini kami berproses, berlatih, dan menyelenggarakan pentas. Kami tidak mau berpentas di gedung-gedung kesenian,” katanya.

Begitulah Teater Ruang. Keberadaannya seperti ingin membangun sebuah tonil yang mirip dengan kelompok wayang orang Sriwedari. Bukan saja ingin menjadikan tempat ini sebagai ruang ekspresi berkarya, melainkan tempat inilah yang menjadi arena rutin bagi Teater Ruang untuk mempersembahkan karya-karyanya.

”Bukan ingin menolak untuk pentas di luar kota, kalau di Solo ingin menonton Teater Ruang, ya, datanglah ke sanggar kami,” kata Bibit. ”Kami terus berkarya dan pentas rutin. Tidak ada orang nonton tidak masalah, kami tetap pentas.”

Eksplorasi
Proses kreatif itu tampaknya dijaga betul oleh Teater Ruang. Seperti karya-karya sebelumnya, lakon Mutilasi Purba ini pun sarat dengan simbol-simbol untuk menyampaikan gagasan. Tampaknya bagi Teater Ruang, alur lakon bukan menjadi pilihan. Alur lakon dipandangnya hanya sebagai serpihan-serpihan kisah. Yang ditampilkan lakon Mutilasi Purba adalah bagaimana serpihan-serpihan kisah hidup itu digugat dan dimaknai untuk menjaga keutuhan peradaban manusia yang kian compang-camping.

Mengambil kisah Ramayana dalam lakon gugurnya Kumbakarna. Kumbakarna (Djoko Bibit Santoso) amat benci akan terjadinya perang besar antara Kerajaan Ayodya yang dipimpin oleh Prabu Rama dan Kerajaan Alengka yang dipimpin Prabu Rahwana, kakak Kumbakarna.

Kumbakarna tidak memihak kakaknya (Rahwana), tetapi dia juga benci pada Prabu Rama, hanya persoalan perebutan perempuan yang bernama Dewi Sinta, harus terjadi peperangan besar.

Kumbakarna tak ingin terjadi peperangan, dia ingin mencegah pertumpahan darah. Namun yang terjadi Rahwana gugur, tubuhnya dimutilasi oleh tentara Prabu Rama. Inilah mutilasi purba bahwa sesungguhnya mutilasi itu sudah terjadi sudah sejak lama, meskipun itu hanya dalam kisah.

Kasus mutilasi, pencacahan tubuh manusia menjadi beberapa bagian, atas tubuh Rahwana ini, kemudian berkembang ke peristiwa kini. Lewat dialog tiga tokoh peronda (Danang Permono, Helmy Prasetyo, dan Galuh Tulus Utama), lakon ini bukan lagi memaknai mutilasi sebagai kekejaman kriminalitas.

Lewat dialog tiga peronda itu, dikisahkan bahwa sesungguhnya mutilasi terjadi di berbagai lini kehidupan. Dan inilah, sebagaimana diteriakkan tiga tokoh peronda itu, bahwa telah terjadi mutilasi sosial di mana-mana.

Seperti diungkapkan oleh para peronda, hilangnya badak bercula, harimau sumatera, minimnya jumlah komodo, orang hutan, gajah, cendrawasih, merak, dan anoa adalah sebuah mutilasi lingkungan yang begitu kejam dengan menipisnya habitat hutan. Peristiwa Kedungombo, Lumpur Lapindo, Situ Gintung, Bank Century, Freeport, runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara, tewasnya mahasiswa dalam kasus demonstrasi di Semanggi, penghilangan penyair Wiji Thukul, tewasnya buruh Marsinah adalah kisah nyata sebuah mutilasi sosial yang tergilas arus politik yang sulit dipahami arahnya.

Bobot dari lakon ini memang masih layak diperdebatkan. Namun, kesungguhan eksplorasi dari pementasan Mutilasi Purba ini, dengan pencahayaan yang hanya menggunakan korek api lidi, sungguh menunjukkan kelompok ini telah berjuang untuk meraih estetika pemanggungan yang layak diapresiasi.

Demikian juga ilustrasi musiknya, hanya menggunakan perkusi sederhana dan itu pun hanya sesekali dimunculkan. Demikian juga setting panggung, sangat minimalis. Praktis tak ada properti sama sekali, apalagi megah. Hanya kain hitam sebagai latar belakang panggung.

Ya, di balik nyala korek api itu, Teater Ruang mencoba memberontak kembalinya nilai peradaban. (ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)

-

Arsip Blog

Recent Posts