Serangan Balik Virus Koruptor

Oleh: Zainal Arifin Mochtar

ANGGAPAN lama yang menempatkan pemberantasan korupsi dan para koruptor seperti virus dan antivirus memang benar adanya. Besarnya upaya pemberantasan korupsi sering kali diimbangi dengan besarnya serangan balik para koruptor. Apalagi ketika pemberantasan korupsi masuk pada ranah-ranah yang penting dan menjadi pusat dari sirkulasi kekuasaan. Dan kita semua paham jika pusat kekuasaan yang tidak terawasi secara baik sering kali menjadi sarang korupsi.

Kali ini serangan balik para koruptor kembali mengemuka. Dulu, kebanyakan bentuknya adalah memperkarakan atau melakukan judicial review secara sporadis pada undang-undang yang melandasi penegakan hukum antikorupsi. Ada beberapa yang berhasil, namun ada juga yang gagal total. Apalagi pada pengujung 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) seakan mengubur ruang serangan balik dengan menguatkan hampir keseluruhan kewenangan luar biasa Komisi Pemberantasan Korupsi. Misalnya kewenangan penyadapan. Ketika banyak ditentang orang, MK malah menegaskan bahwa penyadapan bagian dari keistimewaan KPK, yang tentunya bukan merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia.

Tidak hanya pada penyadapan, MK juga mempertahankan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan batas waktu tiga tahun. MK, dalam pertimbangan di putusan tersebut, menyatakan secara tegas bahwa ada kepentingan besar menegakkan pemberantasan korupsi, karena korupsi telah menjadi kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes) yang mengancam hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. MK kala itu telah menjadi antivirus yang cukup telak dalam membersihkan serangan balik virus koruptor

Virus baru
Namun, sebagai virus, kali ini serangan balik hadir dengan model baru. Lebih dahsyat. Dulu mereka terlihat sebagai serangan orang yang sedang jadi tersangka di persidangan korupsi, kali ini mereka tersamar. Malah hadir seakan-akan dalam wajah aparat negara.

Model virus baru bukan lagi mengganggu aturan hukum pemberantasan korupsi secara review, tapi juga secara preview. Bahkan, sebelum UU itu jadi, ia diganggu. Misalnya aturan hukum mengenai Pengadilan Tipikor. Sejujurnya, jika melongok pada kemampuan KPK menegakkan hukum antikorupsi, peran Pengadilan Tipikor tidak kalah kecilnya. Karena itu, virus ini bekerja untuk menggerogoti Pengadilan Tipikor dengan tujuan menghalang-halangi terbentuknya pengadilan itu. Padahal, jika kita tidak kunjung memiliki UU Pengadilan Tipikor, pada pengujung 2009 kita berpeluang kehilangan Pengadilan Tipikor, yang menjadi tandem KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

Model preview juga hadir melalui perubahan UU Tindak Pidana Korupsi. Alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, malah menunjukkan pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi. Ada puluhan poin krusial tapi kontroversial dalam rancangan aturan hasil kerja pemerintah ini. Dalam rancangan ini, kewenangan penuntutan KPK akan dihilangkan dan hanya dibatasi hingga penyidikan. Bahkan perihal penyadapan juga tidak diatur di dalamnya. Padahal sepak terjang dan kemampuan optimum KPK dalam memberantas korupsi sangat tertolong oleh adanya kewenangan penyadapan ini. Tanpa penyadapan, para koruptor dengan mudah hilang dan berkilah dari tuduhan korupsi.

Bukan hanya hingga di situ, virus koruptor juga keluar dengan serangan balik atas para komisioner KPK. Beberapa komisioner KPK diganggu dengan tuduhan-tuduhan pelanggaran pidana. Padahal belum ada bukti konkret yang dapat diterima akal sehat sebagai bagian dari perbuatan pidana, jika memang dilakukan oleh para komisioner. Lebih jauh dari itu, isu yang berkembang juga menunjukkan persaingan tidak sehat. Bahkan labelisasi "buaya versus cicak" yang, menurut laporan disematkan oleh seorang petinggi lembaga penegak hukum, menunjukkan ada hal yang tidak tepat. Karena itu, wajar jika publik menduga jangan-jangan inilah potret yang menjelaskan mengapa para komisioner KPK tengah diganggu dengan tuduhan perbuatan pidana.

Memang sulit diterima akal sehat. Mengapa kehadiran virus-virus tersebut seakan-akan perpanjangan tangan dari kuasa negara. Undang-undang yang terganggu tentu saja buah tangan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif yang gagal dan lalai dalam perumusan legislasi. Tidak kalah herannya perihal petinggi lembaga penegak hukum yang menjanjikan akan menghajar "cicak" yang mau mengganggu "buaya". Boleh jadi ada "kuasa" besar yang bermain dengan meminjam wajah negara untuk menebarkan ancaman virus ini.

Antivirus
Tampaknya kita harus segera merapatkan barisan dan mempersiapkan antivirus bagi serangan balik ini. Siapa pun yang berminat dan bercita-cita tegaknya hukum antikorupsi harus mempersiapkan sesuatu untuk melawan virus penggerogot KPK dan pemberantasan korupsi ini. Setidaknya dengan beberapa langkah. Pertama, KPK semakin berkewajiban untuk mempertontonkan kinerja yang baik dalam pemberantasan korupsi. Ancaman ini tidak boleh menjadikan langkah KPK surut. Malah seharusnya makin memacu KPK untuk membuktikan adanya pihak-pihak yang melakukan serangan balik. Beberapa pejabat publik yang ditengarai terlibat, bahkan ditengarai jika merekalah yang meminjam dan menggunakan wajah negara untuk mengganggu KPK dan pemberantasan korupsi, harus segera diterabas. Para komisioner yang tersisa harus tetap berdiri tegak dan bekerja untuk melakukan itu. Tujuannya jelas, agar publik tahu siapa sesungguhnya yang menjadi "duri" dalam gerakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Kedua, gerakan masyarakat sipil harus semakin merapatkan barisan dengan rapalan yang sama: "cicak mampu melawan buaya". Barisan yang kita rapatkan dengan tujuan agar tercipta mobilisasi massa yang melek akan serangan balik para koruptor dapat hadir dengan wajah apa pun, termasuk hadir melalui wajah "buaya" yang bertekad melibas "cicak". Ini harus menjadi tekad bersama untuk gerakan revitalisasi pemberantasan korupsi. Menjadi simbol pengingat bagi siapa pun yang berniat menyerang balik kekuatan pemberantasan korupsi.

Ketiga, legislatif dan eksekutif beserta seluruh jajaran di bawahnya harus melakukan gerakan purifikasi sistem internal. Agar jangan sampai mudah dikecoh permainan individual yang kemudian menggunakan nama dan simbol negara untuk menjadi virus baru untuk serangan balik koruptor. Bagaimanapun rakyat merindukan wajah negara yang hadir untuk melakukan pemberantasan korupsi, bukan yang sebaliknya. Harapan yang tersisa adalah semoga virus serangan balik para koruptor ini tidak cukup kuat, andai kita semua melawannya. Semoga virus tersebut tidak cukup kuat untuk merobohkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi.

Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi FH UGM, Yogyakarta

Sumber: Koran Tempo, Selasa, 21 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts